Laman

Hujan Lebat Tadi Sore





Aku sudah hampir sampai di kantor sehabis makan siang dengan salah seorang kawan baik. Kawan lama juga sih, karena kami sudah berteman sejak masih "unyu-unyu" semasa SMP. Seperti pertemanan kami, hal-hal yang baik cenderung bertahan lama. Aku percaya itu. Dan kuharap banyak orang percaya hal yang sama. Percaya, bahwa kebaikan tidak pernah sirna ataupun sia-sia.

Akan tetapi, untung tak dapat kuraih, malang tak mampu kutolak. Hujan turun begitu lebat tadi sore. Titik-titik air hujan berjatuhan dengan riuhnya. Tak hanya basahnya menembus jas hujan yang kukenakan, pekatnya juga mengurangi jarak pandangku ke depan. Dingin. Tanganku mulai terasa pegal. Mau berhenti tanggung rasanya, karena jarak ke kantor tinggal sejengkal. Akupun perlahan melaju. Maklum, ibukota biasanya memang macet di kala hujan.

Hujan lebat. Ada beberapa hujan lebat yang pernah kulalui dengan sepeda motor dan masih kuingat. Pertama, waktu turun dari Kaliurang, Jogja. Waktu itu, aku nekat meluncur turun tanpa jas hujan, tentu setelah barang-barang berharga kuamankan di bawah jok. Butiran-butiran air hujan menggigiti tubuh dan wajahku. Mataku harus menyipit agar bisa memperhatikan jalanan.

Yang kedua, ketika aku dan istriku melakukan "urban trip" pertama (dan terakhir!) kami ke Jakarta. Hujan menemani kami hampir di sepanjang perjalanan malam itu. Ketika memasuki Cirebon, listrik seluruh kota ternyata sedang padam. Praktis, kami hanya mengandalkan pencahayaan dari lampu sepeda motor dan dari kendaraan-kendaraan lain yang jarang terlihat. Meski berat dan melelahkan, perjalanan itu tetap terasa indah, karena kami melewatinya bersama-sama. Kebersamaan adalah kunci untuk menikmati sebuah perjalanan.

Tentu ada pula perjalanan di tengah hujan lebat lain yang pernah kulalui, dan masih ada yang belum kuceritakan di sini. Tapi yang jelas, ada sedikit yang kupelajari dari hujan lebat sore ini. Hidup inipun terkadang mengalami hujan lebat, situasi yang tidak ideal (kecuali bagi anak-anak yang ingin bermain dengan hujan). Perjalanan kita sedikit terganggu dengan adanya titik-titik air yang membasahi tubuh dan mengurangi jarak pandang kita.

Di masa-masa hujan lebat, ada dua pilihan: mencari tempat berteduh, atau tetap melaju dengan mengurangi kecepatan. Jika kebetulan tidak membawa jas hujan, tentulah kebanyakan pengendara motor memilih untuk berteduh (kecuali yang "nekad" seperti diriku ketika di Jogja, hehehe...). Yang membawa jas hujan biasanya akan memilih untuk meneruskan perjalanan meski hanya bisa melaju pelan.

Hujan tak selamanya lebat, kawan. Ia akan reda dengan sendirinya. Mungkin saja, ia terasa lama karena kita ingin segera tiba di tujuan kita. Namun sesungguhnya, durasinya tak pernah lebih lama dari hidup kita. Dan siapa bilang hujan itu tak menyenangkan? Ia bisa jadi sesuatu yang menyenangkan, jika ada kebersamaan. Jika ada cinta.

Hidup kita mungkin sedang dilanda hujan lebat, selebat hujan yang mendera negeri ini. Namun yakinlah, bahwa hujan lebat itu pasti berubah menjadi gerimis, dan gerimis itu akan pergi juga, meninggalkan kita yang tetap bertahan. Ketika hujan itu berhenti, itulah saatnya bagi kita untuk melaju kembali: entah pulang, entah pergi.

Ketika Kesempatan Emas Datang


Yesus adalah seorang pemimpin agama dengan jumlah umat yang tak bisa dipandang remeh pada masa-Nya. Tak hanya puluhan atau ratusan, pengikut-Nya ada ribuan. Setidaknya ada dua kesempatan dimana Dia membuat mujizat "penggandaan makanan" untuk mereka. Yang pertama berjumlah lima ribu orang, yang kedua empat ribu, itupun belum termasuk perempuan dan anak-anak.

Nah, suatu hari, ada seorang yang sangat kaya mendatangiNya untuk berkonsultasi masalah surga. Orang ini, sebagaimana kita ketahui bersama, adalah orang yang tak hanya kaya, namun juga taat dalam beragama. Artinya, dia siap tunduk pada otoritas guru-guru agama, termasuk Yesus, Sang Guru yang telah masyhur itu.

Sebuah "kesempatan emas" datang. Jika saja Yesus meminta orang ini untuk mengikutiNya, pasti jemaat-Nya akan terjamin kesejahteraannya dan makin bertambah. Orang kaya ini pasti siap sedia untuk mendukung pendanaan yang dibutuhkan. Gelontoran dana darinya akan sangat cukup untuk membiayai pelayanan mereka, bukan?

Akan tetapi, Yesus tidak melakukannya. Dia memang meminta orang kaya itu untuk menjual seluruh harta miliknya, namun bukan untuk dijadikan bekal dalam perjalanan mereka, melainkan untuk dibagi-bagikan kepada orang miskin. Setelah semua hartanya habis, barulah orang itu diajak untuk mengikuti Sang Guru Agung.

Wow, tunggu dulu. Apakah Yesus sudah gila? Bukankah orang kaya ini adalah calon jemaat yang sangat potensial untuk mendukung pengembangan pelayanan mereka? Mengapa Yesus justru menyuruh dia untuk menghambur-hamburkan hartanya untuk orang-orang miskin? Ada apa sebenarnya?

Di zaman sekarang, orang-orang kaya nan saleh seperti itu pasti langsung diterima sebagai "murid" yang istimewa, mendapat posisi yang spesial dalam tim pelayanan, bahkan memiliki "saham" suara yang lebih besar daripada murid-murid yang lain dalam mengambil keputusan dan menentukan arah pelayanan. Tak jarang, murid kaya seperti ini bahkan bisa mengatur apa saja yang sebaiknya dikatakan dan dilakukan oleh gurunya.

Namun Yesus tidak silau oleh harta. Ia lebih memilih satu orang miskin yang mengikuti Dia sepenuh hati daripada seratus orang kaya yang hanya memeriahkan pelayanan-Nya, namun tak pernah memberikan hati mereka kepadaNya. Prinsip-Nya tegas dan jelas, "tak seorangpun bisa mengabdi kepada dua tuan." Seseorang tak bisa mengikut Tuhan jika hatinya masih lekat pada hal-hal lain seperti harta.

Inilah yang harus diteladani oleh para pemimpin rohani di zaman ini. Ini adalah zaman ego, sebuah zaman yang mengedepankan ke-aku-an. Berbagai alternatif pun bermunculan, berlomba-lomba untuk memenuhkan kerinduan kita akan pengakuan. Jika seorang pemimpin mengecewakan, jemaat sudah punya gereja/persekutuan "cadangan." Namun kasih terhadap kelepasan jiwa-jiwa dari belenggu dosa haruslah menjadi yang terutama dibandingkan kasih terhadap pelayanan.

Yesus mengasihi orang kaya itu, dan sepertinya sangat menyayangkan ketidak sanggupan orang kaya itu dalam memenuhi "resep hidup kekal" yang Dia berikan. Sungguh bertolak belakang dengan kondisi kepemimpinan kita di masa sekarang yang lebih mengasihi organisasi daripada "organisme-organisme" pembentuknya. Asal sokongan dana terus mengalir, tak apalah seandainya jemaat-jemaat istimewa itu melakukan satu atau dua pelanggaran. Pelayanan akhirnya bergantung pada harta para jemaat yang kaya, bukan pada pemeliharan Allah yang selalu nyata. Sungguh berbahaya!

Kiranya kita (kelak) menjadi pemimpin-pemimpin yang lebih memperhatikan keselamatan dan pertumbuhan orang-orang yang kita pimpin daripada organisasi yang kita layani, bahkan meskipun "kesempatan-kesempatan emas" datang silih berganti. Tuhan memberkati.

Apa Lagi yang Masih Kurang?


Matius 19:16-26 menarasikan sebuah kisah yang menarik kepada kita. Suatu kali, seseorang datang menemui Yesus untuk berkonsultasi. Orang ini, sama seperti kebanyakan kita, ingin masuk surga. Dia ingin tahu bagaimana caranya sampai ke sana. Di akhir narasinya, kita diberitahu bahwa ia adalah orang yang kaya, "sebab banyak hartanya."

Tak hanya kaya, orang ini ternyata juga tergolong orang yang saleh. Ketika Yesus menyebutkan beberapa daftar perbuatan saleh yang tercantum dalam kitab suci, orang ini mengaku sudah melakukan semuanya semenjak ia masih muda. Akan tetapi, sepertinya masih ada yang kurang, sehingga ia masih bertanya, "apa lagi yang masih kurang?"

Kalau hanya sekedar berlimpah harta tapi jahat hidupnya, mungkin bisa dimaklumi jika seseorang merasakan kekosongan dalam hatinya. Akan tetapi, orang ini pun adalah orang yang taat menjalankan semua perintah agamanya, bahkan bisa dibilang, tak ada satupun yang ia lewatkan. Namun ternyata ia masih merasakan kekosongan itu di dalam hatinya. Ia masih belum yakin dengan nasib jiwanya setelah mati. Apa lagi yang masih kurang?

Apalagi yang dibutuhkan oleh orang yang sudah berlimpah harta dan juga saleh ini? Apalagi yang kurang di dalam hidupnya? Ia sendiri tidak tahu. Itulah mengapa, ia bertanya kepada Sang Guru. Banyak orang yang menurut ukuran kebanyakan dikatakan sudah "sukses," namun hidupnya terasa hampa. Sama seperti orang kaya ini.

Namun demikian, jawaban Yesus jauh dari yang ia harapkan. Ia pun pergi meninggalkan Yesus dengan hati yang sedih. Sang Guru memintanya untuk menjual segala kepunyaannya, membagi-bagikan hasilnya kepada orang miskin, lalu mengikut Dia. Syarat yang tak disangka sama sekali olehnya.

Kenapa Yesus tidak menyuruhnya berpuasa saja? Atau, setidaknya langsung mengikut Dia tanpa harus menjual hartanya? Orang kaya ini sedih luar biasa mendengar syarat dari Yesus itu. Sungguh kasihan.

Teman-teman, mungkin kita tidak kaya seperti orang itu, namun sepertinya bukan itu persoalannya. Yesus pasti tahu betapa kayanya orang itu, setidaknya dari pakaian yang dikenakannya. Nah, Yesus juga tahu, bahwa ikatan terbesar yang membelenggu orang kaya adalah kekayaannya itu. Itulah sebabnya, Dia menyuruh orang kaya itu untuk melepaskan belenggu kekayaan yang selama ini mengikatnya.

"Tidak ada seorangpun yang dapat mengabdi kepada dua tuan," demikianlah salah satu sabda Sang Guru. Jika seseorang ingin hidup yang kekal, satu-satunya jalan adalah melekatkan diri kepada Sumber Hidup, yakni Allah sendiri. Dan, untuk bisa melekatkan diri kepada Allah, semua orang harus melepaskan dirinya dari belenggunya masing-masing.

Bagi orang kaya itu, mungkin saja kekayaannya yang (mungkin) dikumpulkan sekuat tenaga sejak masih muda itu adalah penghalang baginya untuk mendekat kepada Allah. Harta itu menjadi seperti "anak kandung" yang tak sanggup untuk "dikorbankan" bagi Tuhan. Apalagi, yang diminta Yesus juga sangat berat, yakni menjual segala miliknya, bukan hanya sepersepuluh atau bahkan setengah.

Bagaimana dengan kita? Hal-hal apa sajakah yang mengikat kita begitu rupa, sampai-sampai kita enggan meninggalkannya? Mungkin itu berupa kekayaan, mungkin juga hobi, dosa-dosa pribadi, dan sebagainya. Bayangkan kita datang kepada Yesus seperti orang kaya itu, menanyakan bagaimana syarat untuk memiliki kehidupan kekal. Apakah yang kira-kira akan Yesus perintahkan untuk kita "jual dan bagikan" (baca: lepaskan)?

Apakah tujuan dan mimpi terbesar kita saat ini? Apakah itu berkaitan dengan kekayaan, jabatan, dan pasangan hidup? Jika demikian, waspadalah, karena bisa jadi suatu saat nanti, ketika kesuksesan menghampiri, kita mendapati bahwa ada sesuatu yang krusial yang tak ada di hati: kasih sejati.

Sterilisasi Jalan


Dalam perjalanan pulang malam ini, aku terpaksa menghentikan kendaraan karena ada dua polisi yang menyetop arus dari arah yang kuambil. Padahal, waktu itu lampu lalu lintas menyala hijau.

Tak butuh waktu lama untuk menyadari apa yang sedang berlangsung, karena dari kejauhan, suara banyak sirine terdengar meraung-raung, lengkap dengan lampu-lampunya yang meramaikan malam. "Pasti ada orang penting yang mau lewat, tapi siapa?" Demikian pikirku.

Berbagai kendaraan dengan sirine yang dibunyikan keras-keras lewat di depan kami. Aku mengawasi nomor polisi tiap mobil yang berlalu, dan tak berapa lama lewatlah mobil sedan hitam dengan nomor plat "RI 2." Rupanya Wakil Presiden yang lewat.

Setelah iring-iringan kendaraan Wapres itu berlalu, barulah kedua polisi tadi membiarkan kami kembali melaju, menuju simpul-simpul kemacetan yang sudah menjadi bagian dari "kehidupan lalu-lintas" kami.

Berbagai pertanyaan menggelitik pun terbersit: mengapa pejabat negara hampir selalu dikawal dan jalan-jalan yang akan dilalui rombongannya "dibersihkan" terlebih dahulu? Apakah sekedar untuk menunjukkan, bahwa ada orang penting yang sedang lewat, ataukah demi keamanan dan keselamatan sang pejabat?

Sesampainya di rumah, aku makan malam bersama istri. Dalam obrolan makan malam itu, rombongan Wapres itu menjadi salah satu bahan pembicaraan. Aku teringat dengan kisah terkenal yang terjadi dua ribu tahun yang lalu, yakni tentang Yesus yang memasuki Yerusalem dengan mengendarai seekor keledai.

Yesus waktu itu bukanlah pejabat, jadi Dia tak mendapat "fasilitas" pengawalan dari negara. Bahkan "kendaraan" yang Dia naiki pun hanya berstatus pinjaman. Yesus memasuki kota Yerusalem yang ramai waktu itu hanya diiringi oleh beberapa orang "ndeso" yang direkrutNya. Tak ada kemegahan apapun. Tak ada protokoler.

Namun apa yang terjadi? Alkitab menceritakan kepada kita bahwa seluruh penduduk Yerusalem menyambut Yesus dengan meriah. Orang-orang melemparkan jubahnya ke jalan yang akan dilaluiNya. Mereka melambai-lambaikan dedaunan sambil bersorak-sorai. Jalan yang akan dilewati Guru penunggang keledai itu bersih dengan sendirinya, tanpa protokoler.

Dua ribu tahun yang lalu, rakyat yang sedang berada dalam kesesakan akibat dijajah bangsa asing mendapatkan figur penyelamat dalam diri Seorang Guru yang kontroversial dengan pengajaran dan mujizat-mujizat yang dilakukanNya. Itulah mengapa mereka berteriak, "Hosana," yang artinya "Datang dan selamatkanlah kami."

Dua ribu tahun kemudian, sebuah bangsa ribuan kilometer jauhnya sedang berada dalam kesesakan yang ironisnya diakibatkan oleh saudara-saudara sebangsanya sendiri. Hampir-hampir tak ada lagi figur yang bisa dijadikan sebagai penyelamat mereka, sampai-sampai pejabat yang mau bergaul dengan rakyat biasa--yang memang sudah seharusnya--dipuji sedemikian rupa.

Dulu, Yesus tak perlu pengawal atau protokoler untuk men-steril-kan jalanan. Sekarang, seorang Wapres membutuhkan protokoler dan pengawalan ekstra untuk memastikan tak ada masyarakat yang menghalangi jalan. Dulu, rakyat dengan sukarela menepi dan memberikan penghormatan kepada Mesias. Sekarang, rakyat (baca: aku) dengan terpaksa berhenti dan bahkan menginginkan rombongan pejabat itu segera berlalu!

Ya, mungkin ini perbandingan yang hiperbolis atau berlebihan, namun tetap layak untuk diselami. Pemimpin sejati akan mendapat simpati dan hormat dari rakyatnya tanpa paksaan. Sedangkan pemimpin semu membutuhkan banyak kekuatan (militer) untuk mendapatkan ketundukan rakyatnya. Pemimpin sejati akan memenangkan hati rakyat, sedangkan pemimpin palsu hanya akan mendapatkan rasa takut mereka. Kecuali, tentu saja, para penjahat dan penjilat. Mereka tak bisa dikategorikan sebagai "rakyat."

Di sisi lain, jika kita memang mengakui seseorang sebagai pemimpin kita, tentunya kita akan memberikan hormat dan ketundukan kita kepadanya dengan sukarela, bukan? Sikap kita kepada seseorang menentukan seberapa besar pengaruhnya terhadap hidup kita. Begitu pula halnya dengan Tuhan. Pertanyaan berikut bisa menjadi perenungan kita: Ketika Tuhan mau lewat di jalan-jalan hati kita, akankah kita dengan sukarela (dan sukacita) menepi dan memberikan penghormatan, ataukah Dia harus menggunakan protokoler untuk memaksa kita berhenti dan menepi? Apakah kita benar-benar adalah "rakyat" Tuhan, ataukah justru penjahat yang seringkali melanggar hukum-hukum-Nya dan menentang otoritas-Nya?

Mengevaluasi Tujuan Hidup Kita


Sadarkah kita, bahwa segala sesuatu yang kita kejar di dunia ini bermuara pada satu tema: kesenangan? Kita mengenal istilah “3-ta” yang konon menjadi sumber kebahagiaan sekaligus sumber kejatuhan, yakni harta, tahta, dan wanita. Kebanyakan manusia hidup untuk menghindari kesusahan dan mengejar kesenangan. Itulah sebabnya ada yang disebut “cita-cita.” Pernahkah ada anak kecil yang bercita-cita untuk sengsara? Tentu saja tidak. Mereka akan bercita-cita menjadi dokter atau presiden. Setelah beranjak dewasa, sebagian dari kita mulai “realistis” dan “mengoreksi” cita-cita kita sendiri, tapi dengan tujuan dasar yang sebenarnya tidak berubah: kesenangan diri.

Banyak hal yang bisa menjadi standar kesenangan kita, mulai dari memiliki keluarga yang harmonis, hingga tabungan yang berlapis-lapis. Kita juga biasanya memiliki tujuan-tujuan jangka pendek untuk kesenangan kita, seperti pujian atas penampilan kita hari ini atau liburan bersama anak-anak di akhir minggu nanti. We tend to avoid pain and pursue pleasure. Kita cenderung menghindari kesusahan dan mengejar kesenangan, apapun bentuknya (bagi seorang altruis, kesenangannya terletak pada keberhasilannya untuk menyenangkan orang lain, bahkan jika ia harus menderita karenanya!).

Tapi, semua kesenangan itu hanya sementara. 5 Oktober 2011, dunia menyaksikan seseorang yang memiliki segalanya namun tak bisa menikmatinya lebih lama karena kehilangan hidupnya. Steve Jobs, pendiri Apple itu, meninggal dunia di usia yang cukup muda, 56 tahun. Kecerdasannya tak diragukan lagi, hartanya bahkan mungkin cukup untuk 70 turunan, dan namanya sudah mendunia. Dan, seperti sebuah kisah yang pernah diceritakan oleh Yesus  tentang orang kaya yang menimbun semua kekayaannya di lumbung lalu berencana untuk ber-“leha-leha” (baca: bersenang-senang), malam itu juga Tuhan mencabut nyawanya, tak ada kekayaan di dunia yang bisa mengembalikan nyawanya itu.

Saya bukan ingin mengatakan bahwa Steve Jobs adalah seperti orang kaya yang mau bersenang-senang tanpa menyadari bahwa semua hartanya tak berguna jika ia tiada. Saya percaya Steve Jobs memiliki tujuan hidup yang lebih baik dari sekedar bersenang-senang dengan kekayaannya. Yang ingin saya katakan adalah bahwa apa yang dialami oleh mantan CEO Apple Inc. itu bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua, bahwa ada hal-hal yang lebih penting daripada sekedar mengejar kesenangan pribadi seumur hidup. Steve Jobs “beruntung” karena memiliki warisan nama baik (oleh raja Salomo, nama baik dikatakan lebih baik daripada emas/kekayaan). Namanya akan dikenang oleh seluruh dunia, masuk dalam buku sejarah dunia sebagai salah satu orang yang mempengaruhi perkembangan teknologi informatika. Bagaimana dengan kita?

Hidup bukan sekedar untuk bertahan hidup!
Kita semestinya mulai mengevaluasi tujuan hidup kita. Jika tujuan hidup kita hanya sekedar menghindari kesusahan dan meraih kesenangan (kita biasa menyebutnya, kebahagiaan), maka kita tak ubahnya seperti orang kaya yang diceritakan oleh Yesus, dan bahkan seperti binatang! Apakah yang membedakan kita dari binatang, jika kita hanya hidup untuk… bertahan hidup? Manusia mustahil sederajat dengan binatang, dan oleh karenanya, ia sudah seharusnya memiliki tujuan hidup yang lebih tinggi daripada untuk menghindari kesusahan dan mengejar kesenangan. Kecuali, tentu saja, jika ia adalah penganut Darwinisme.

Lalu seperti apakah tujuan hidup yang lebih tinggi daripada menghindari kesusahan dan mengejar kesenangan itu? Sederhana saja: kita harus belajar memiliki tujuan hidup yang transenden. Kita harus mengerahkan segenap upaya kita untuk mengejar dan menerapkan nilai-nilai transenden di dalam hidup kita. Apakah nilai-nilai yang transenden itu? Itulah nilai-nilai ilahi, nilai-nilai Ketuhanan. Ketika tujuan hidup seseorang adalah mewujudkan nilai-nilai Ketuhanan itu di dalam kehidupannya, maka ia akan avoid sin and pursue sanctity. Ia akan menghindari dosa dan mengejar kekudusan—sifat Ilahi itu.

“Jadilah kudus, sebab Aku ini kudus” (Im. 11:45), demikianlah sabda Pencipta alam semesta kepada sebuah bangsa yang kecil mungil di sebuah padang gurun, sekian ribu tahun yang lalu. Dari semua sifat-Nya yang luar biasa itu (ada agama yang mengajarkan bahwa Dia memiliki 99 sifat Ilahi!), Allah hanya meminta umat pilihan-Nya itu untuk meneladani satu sifat-Nya saja, yakni untuk menjadi kudus. Dia tidak meminta bangsa itu untuk menjadi bangsa yang kuat dan besar untuk menaklukkan bangsa-bangsa di bawah dominasi mereka, tidak juga menuntut mereka untuk menjadi bangsa yang kaya dan memberikan banyak persembahan. Dia hanya meminta mereka untuk menjadi kudus, sama seperti Dia adalah kudus. Sebuah perintah yang tidak berlebihan, dibandingkan dengan semua pertolongan dan penyertaan-Nya bagi bangsa itu, bukan?

Tetapi sayangnya, perintah yang satu itupun ternyata susah mereka penuhi. Alkitab membeberkan kepada kita kisah sebuah bangsa yang bolak-balik dihukum Tuhan mereka karena mempersekutukanNya dengan ilah-ilah lain. Seandainyapun mereka menyembah Allah mereka, mereka melakukannya sambil melakukan berbagai kecemaran dan kecurangan. Sebagai konsekuensinya, bangsa kecil yang tegar tengkuk tersebut seringkali diserahkan Tuhan ke tangan bangsa-bangsa asing. Mereka harus menderita di bawah penjajahan berbagai bangsa karena ketidaktaatan mereka.

Bertanggung jawab, bukan merasionalisasi!
Sebagai umat yang telah ditebus Kristus, panggilan kita sama seperti panggilan bangsa Israel: untuk hidup kudus. Kita tidak diminta untuk menjadi “kepala”, tidak pula diminta untuk menjadi sehat dan atau kaya. Kita hanya diminta untuk memiliki hidup yang kudus. Kekudusanlah yang seharusnya menjadi tujuan hidup kita, bukan kenyamanan hidup ataupun kesenangan-kesenangan pribadi. Namun sayangnya, setali tiga uang dengan bangsa Israel, kita pun seringkali enggan untuk melakukan kehendak Tuhan itu, yang disuarakan ulang oleh Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma, “… supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah….” (Rm. 12:1).

Karena takut dengan kemungkinan-kemungkinan ketidaknyamanan yang akan kita temui jika kita “berjalan lurus,” seringkali kita menyiapkan “rencana cadangan.” Kita memilih untuk berkompromi dengan kejahatan. Rencana cadangan kita seringkali adalah menyiapkan beribu alasan pembenar untuk tidak berjalan lurus. Rasionalisasi atas kejahatan yang kita kompromikan, itulah yang kemudian kita lakukan. Tujuannya sederhana: agar kita merasa nyaman melakukannya. Inilah kemunafikan yang sebenarnya, mengingkari hati nurani dan bahkan firman Tuhan demi mengamankan dan menyamankan diri. Bahkan saking pandainya kita merasionalisasi, kejahatan-kejahatan yang kita lakukan bisa nampak sebagai sebuah tindakan heroik: demi keluarga, demi saudara, demi teman, demi kantor, demi yayasan, dan demi-demi lainnya. Betapa menjijikkan!

Tahun 2012 konon adalah tahun yang sangat berat untuk dijalani. Namun demikian, bukan berarti kita sebagai anak-anak Tuhan memiliki pembenaran untuk melakukan kejahatan. Banyak yang berpendapat bahwa kejujuran dan keadilan sudah sangat sulit didapati di negeri ini. Mungkin di tahun ini, keduanya akan makin sulit didapati, dan tanggung jawab itu ada di pundak kita, jika kita ikut-ikutan untuk berbuat curang dan tidak adil. Dulu waktu kecil, ketika mendapat nilai ulangan jelek, saya akan membela diri dengan mengatakan bahwa nilai teman-teman yang lain juga jelek, bahkan lebih jelek. Jujur dan adilkah saya ketika mengatakan itu? Tidak, karena saya sengaja mengabaikan nilai teman-teman yang lebih baik. Kita tentu juga takkan puas jika memiliki anak yang membela diri seperti itu kan? Demikian pula Bapa di surga juga takkan puas dengan “nilai jelek” kita, hanya karena orang-orang lain nilainya lebih buruk. Itulah sebabnya, Yesus bersabda tegas, “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Mat. 5:48). Kita harus mengejar kesempurnaan itu. Kita harus mengejar kekudusan itu. Ini bukan tugas yang mudah, bahkan bisa dibilang takkan selesai seumur hidup, namun bukankah Dia sudah memberikan Penolong bagi kita, yakni Roh-Nya sendiri yang bekerja dengan kuat di dalam kita?

Tentu dalam perjalanan hidup kita, akan selalu ada dosa yang kita lakukan. Mungin juga, akan ada makin banyak perbuatan dosa yang tersingkap sejalan dengan pertumbuhan rohani kita. Artinya, apa yang dulunya kita sangka bukan dosa atau hanya hal sepele (mis. Mengumpat, menjelajah situs porno, merokok, dsb.), kemudian kita disadarkan lewat renungan atau khotbah, bahwa itupun tidak disukai Tuhan, alias dosa. Jika sudah demikian, yang perlu kita lakukan bukanlah menyembunyikan dosa itu atau mencari pengkhotbah lain yang perkataannya lebih sedap didengar, melainkan membuka diri di hadapan Tuhan, mengakuinya, dan meminta pertolongan-Nya untuk melepaskan diri dari tabiat dosa itu. Kecuali Yesus, tidak ada satu manusiapun yang sempurna di dunia ini, dan Dia, Sang Arsitek Jiwa (meminjam ungkapan pak Stephen Tong), tahu itu. Itulah sebabnya, kita tak perlu berlagak sempurna di hadapan Tuhan, juga tak perlu takut menampakkan ketidaksempurnaan kita.

Tak hanya di hadapan Tuhan, kita juga tak perlu berlagak sempurna di hadapan jemaat-Nya. Saya selalu berpikir bahwa gereja atau persekutuan Kristiani bukanlah perkumpulan orang-orang suci, melainkan perkumpulan orang-orang berdosa yang disucikan oleh darah Kristus. Kita bukan perkumpulan orang-orang kudus, tapi perkumpulan para pendosa besar yang dikuduskan lewat Firman-Nya. Kita tak perlu takut menunjukkan ketidaksempurnaan kita. Tentu saja, kita juga harus menunjukkan kesungguhan untuk menjadi anak-anak Tuhan yang lebih baik. Kita harus belajar untuk bertanggung jawab, bukan lagi mengambil sikap kekanakan dan merasionalisasi dosa/kejahatan kita. Saya suka dengan perkataan DR. Larry Crab dalam bukunya, “Konseling yang Efektif dan Alkitabiah,” mengenai kemunafikan. Lebih baik munafik terhadap diri sendiri daripada munafik terhadap firman Tuhan. Orang Kristen seharusnya menjadi orang-orang yang munafik—yang menyangkal—terhadap dirinya sendiri, demi menghidupi firman Tuhan.

Selamat menapaki hari-hari di tahun 2012 ini. Biarlah kiranya hidup kita menjadi hidup yang senantiasa berkenan di hadapan Tuhan, hidup yang kudus, hidup yang lurus, dan hidup yang benar. Tuhan memberkati kita semua. Amin.