Laman

My Grandma Passed Away Today


My grandma passed away today. This morning, I received a text from my father, telling that she had been called by God about two hours earlier. She’d been in the treatment for her cancer in her 70s, but she looked tough,as long as I remember.

My grandma was a strong lady, perhaps because she was a midwife. But I’d prefer to say that she gained her strength from the Lord. It  was her strong faith and zealous in the Lord that I most remember of my grandma. There were times when I visited her and found the house was empty because she was going out for church ministry.

I also recall how she always told me to pray a thanksgiving, not just before, but also after I had my meal—long time ago, as I was a little boy.

When I visited her in the hospital a couple of months ago, she said that it was her first time being a patient. Usually, it was her who took care of patients. To my memory, she looked so energetic, and around ten days ago when my wife and I met her, there was no sign of despair. Not at all.

On the contrary, she appeared healthy, telling us, especially my wife who’s expexting a baby, to be active so the birth process would be less painful. She was also very happy to tell us how the Lord has blessed her with health and strength.

But the Lord has all the more beautiful plan for her. Her faithfulness has been a great example for the family. Her eyes has seen the Lord’s blessing all over her life. She has had the chance to see her great grand sons. And just like Paul the apostle, she has been faithful until the end, more than ready to see her Saviour.

So long, grandma, we’ll meet again in the much better place than this.We’re gonna follow your footsteps of faith, until we see each other again.

We're pilgrims on the journey of the narrow road
And those who've gone before us line the way
Cheering on the faithful, encouraging the weary
Their lives a stirring testament to God's sustaining grace

Surrounded by so great a cloud of witnesses
Let us run the race not only for the prize
But as those who've gone before us
Let us leave to those behind us
The heritage of faithfulness passed on through godly lives

CHORUS:
Oh may all who come behind us find us faithful
May the fire of our devotion light their way
May the footprints that we leave
Lead them to believe
And the lives we live inspire them to obey

Oh may all who come behind us find us faithful

After all our hopes and dreams have come and gone
And our children sift through all we've left behind
May the clues that they discover and the memories they uncover
Become the light that leads them to the road we each must find

REPEAT CHORUS

Oh may all who come behind us find us faithful
Oh may all who come behind us find us faithful

[Steve Green – Find Us Faithful]

Aku di Dalam Aku


Tuhan, aku ini penuh dosa.
Terlalu pekat,
Tak layak Kau beri Karunia.
Dan aku penat.

Tuhan, bibirku seletih hatiku,
Terlalu sering mengucap
Janji setia kepadaMu.
Hanya bertahan sekejap.

Karena sejurus kemudian,
Aku kembali berpaling.
Engkau—lagi-lagi—kuabaikan.
Kuanggap bak anjing.

Tuhan, tinggalkanlah pendosa ini.
Untuk apa dia Kau urusi?
Demi apa dia Kau kasihi?
Demi apa Engkau rela mati?

Tuhan, Tuhan, kusebut nama-Mu
Sepanjang hari sebanyak
Aku mengkhianatiMu.
Masihkah aku layak?

Namun, Tuhan, jika Engkau bersikeras
Tak hendak tinggalkanku,
Maka tolonglah aku melepas
Aku di dalam aku.

Kakek Renta yang Menyanyi



Kawan, sudah pernahkah kuceritakan kepadamu tentang sebuah peristiwa yang membuatku malu? Tentang seorang kakek renta yang bernyanyi? Maafkan jika engkau sudah pernah mendengarnya, tapi anggap saja engkau belum pernah mendengarnya, sekali ini saja.

Peristiwa itu terjadi bertahun-tahun silam, tepatnya pada kebaktian penghiburan sepeninggal nenekku. Di gereja tempat nenekku berjemaat, memang sudah ada semacam tradisi yang baik, yakni menyelenggarakan kebaktian penghiburan di rumah anggota jemaat yang meninggal.

Kebaktian itu tentu saja bukan untuk mendoakan keselamatan jiwa nenekku, karena beliau sudah berada di dalam kasih karunia, dan kami tahu beliau sudah tenang bersama Bapa. Kebaktian penghiburan itu, Kawan, diadakan sebagai wujud solidaritas jemaat yang lain kepada keluarga yang ditinggalkan.

Di tengah-tengah berlangsungnya kebaktian, Kawan, terjadilah peristiwa itu. Pada waktu bapak pendeta memberikan kesempatan kepada jemaat yang hadir untuk memberikan kesaksian, berdirilah kakek renta yang aku tak tahu namanya hingga kini, dan mulai bernyanyi.

Tidak ada iringan musik. Kami di desa, dan jemaat memang terbiasa untuk memuji Tuhan secara acapela, kecuali di gereja. Lagu yang dinyanyikan si kakek, aku sudah tak ingat lagi. Satu-satunya hal yang kuingat, Kawan, adalah suaranya pas-pasan, kalau tidak boleh dibilang sumbang.

Semua jemaat diam mendengarkan, tak ada yang berbisik-bisik membicarakan, apalagi menertawakan. Setelah selesai menyanyikan satu lagu, kakek renta itupun duduk kembali ke tempatnya. Acara pun dilanjutkan kembali.

Mungkin peristiwa itu terdengar sepele bagimu, hanya kisah tentang seorang kakek tua yang menyanyi dengan nada sumbang. Akan tetapi, kejadian yang sederhana dan berlangsung singkat itu mengubah cara pandangku terhadap pelayanan.

Meski bukan suara yang merdu, Tuhan pasti senang sekali mendengar nyanyian kakek renta itu. Ketika aku mendengarnya bernyanyi, yang menyeruak masuk ke dalam batinku adalah rasa malu. Aku malu, karena si kakek yang mengajukan diri secara sukarela, sementara aku yang masih muda, seringkali masih harus dipaksa untuk melayani.

Aku malu, karena kakek renta itu melayani tanpa dibebani oleh standar-standar kesempurnaan buatan manusia. Di telinga manusia, mungkin suara kakek itu kurang layak diperdengarkan, akan tetapi, Tuhan lebih mendengarkan suara hati, bukankah demikian?

Ah, Kawan, aku jadi teringat sebuah kisah di negeri Israel kuno, bagaimana Tuhan justru menyuruh Samuel untuk mengurapi anak Isai yang paling bungsu sebagai raja Israel menggantikan Saul, Daud namanya. Tuhan mengingatkan hamba-Nya itu bahwa Dia tidak menilai manusia berdasarkan penampakannya, melainkan hati orang tersebut.

Itulah, Kawan, sekelumit kisah yang kemudian membuatku berubah. Sejak malam itu, aku bertekad akan menjadi seperti kakek renta tersebut. Aku takkan lagi ragu melayani Tuhan dengan apa yang aku miliki. Aku juga tak lagi merasa terbebani dengan perfeksionisme manusiawi yang justru dapat membuatku menunda-nunda dalam melayani Tuhan.

Kakek renta yang menyanyi itu, Kawan, telah dipakaiNya untuk menyadarkanku akan apa arti melayani dengan hati. Semoga kau dan aku bisa meneladani kakek renta itu, Kawan, melayani tanpa beban kesempurnaan dan dengan rela hati. Amin.