Laman

Mengedit Kesalahan Kita





Seperti yang diberitakan oleh TIME kemarin (25/6), Facebook “membolehkan” para penggunanya untuk mengedit komentar yang terlanjur mereka ketik. Di bagian kanan dari komentar kita, kita akan bisa melihat pilihan untuk mengedit ataupun menghapus komentar tersebut.

Sebenarnya meski dibilang baru, fitur ini sudah ada sejak lama dan sudah cukup sering saya gunakan. Mungkin, yang dikatakan baru adalah adanya tulisan “edited” di bawah tiap komentar yang telah diedit. Jika diklik, kita bisa melihat komentar aslinya sebelum diedit.

Bagi saya, ini juga sebenarnya fitur yang tidak begitu signifikan—untuk tidak mengatakan mubazir, mengingat toh kita bisa saja menggunakan cara “copas,” alias menyalin tulisan yang ingin kita perbaiki, menghapusnya, kemudian menempelkan (paste) tulisan yang tersalin tersebut ke dalam kolom komentar baru, kemudian kita perbaiki bagian yang perlu diperbaiki. Lalu, apa pentingnya bagi kita untuk melihat komentar asli kita atau orang lain sebelum diedit?

Mengedit kesalahan
Di dunia nyata, mungkin kita ingin sekali memiliki “fitur ajaib” seperti yang ada di Facebook tersebut. Kita mungkin telah melakukan sesuatu hal yang saat ini kita sesali dan berharap bisa memperbaikinya. Kita bahkan berharap bisa memutar waktu agar tidak melakukan kesalahan yang sama. “Andai aku bisa memutar kembali waktu yang t’lah berjalan…” begitu senandung Chrisye dalam salah satu lagunya.

Penyesalan memang selalu datang di akhir,” tulis seorang teman dalam sebuah status di Facebook, “kalau datang di awal, itu namanya pendaftaran.” Sebuah ungkapan yang lucu, tapi memang penyesalan seperti itu: selalu datang setelah kita melakukan sebuah “kesalahan.”

Kesalahan yang ingin kita perbaiki mungkin berupa tindakan, perkataan, ataupun apatisme. Salah seorang asisten pak Ciputra pernah mengatakan bahwa yang membedakan antara penyesalan orang muda dan orang tua adalah, orang muda seringkali menyesal atas apa yang telah mereka lakukan, sedangkan orang tua sebaliknya, seringkali menyesal atas apa yang tidak mereka lakukan.

Sayangnya, tidak semua kesalahan bisa kita perbaiki. Kata-kata yang terlanjur diucapkan dan didengar orang lain tak bisa ditarik. Meski ada permintaan maaf, kata-kata tersebut tak bisa kita hapus dari ingatan semua pendengar. Demikian pula dengan sikap ataupun perbuatan kita. “The wound heals, but the scar remains,” ungkap grup band Poison dalam lagunya yang berjudul Every Rose Has Its Thorn. Luka mungkin sembuh, namun bekas lukanya tetap membekas.

Layaknya fitur edit komentar Facebook di atas, kesalahan kita—meski mungkin hanya salah ketik—tak bisa disembunyikan. Maksimal yang bisa kita lakukan untuk mengedit kesalahan kita dan menghilangkan jejak kesalahan itu adalah menghapus komentar yang terlanjur ditulis lalu menuliskan komentar baru. Tapi tetap saja, layanan surat elektronik (surel) dari Facebook bekerja cepat, sehingga komentar yang telah dihapuspun tetap terkirim ke alamat surel setiap orang terkait (pemilik posting, orang-orang yang ditandai/tag, dan pemberi komentar lain).

Rekomitmen
Tentu saja saya tidak menganjurkan kita untuk membiarkan sebuah kesalahan tanpa koreksi. Yang saya ingin sampaikan adalah, pertama-tama, agar kita berpikir lebih jauh sebelum melakukan sesuatu, entah perkataan ataupun perbuatan. Jangan sampai kita menjadi orang yang gegabah dan sembrono, yang kemudian menyesali perkataan ataupun perbuatan kita. Meski berada di dunia yang serba cepat, kita tetap harus belajar untuk menahan diri, untuk meluangkan waktu barang sejenak untuk menimbang apapun yang hendak kita katakan atau lakukan.

Di sisi lain, sebagai manusia tentunya kita pernah melakukan kesalahan. Bahkan perkataan atau perbuatan yang telah kita pertimbangkan masak-masak pun bisa jadi berjalan tidak sesuai harapan kita dan menjadi kesalahan yang kita sesali. Jika kesalahan tersebut bisa diperbaiki, tentu kita bertanggung jawab untuk memperbaikinya.

Akan tetapi, bagaimana dengan kesalahan yang pernah kita lakukan dan tidak bisa kita perbaiki? Bagaimana, misalnya, jika kita secara tak sengaja menyinggung hati teman atau anggota keluarga kita? Mungkin kita bisa meminta maaf, namun tentu saja itu tak cukup. Kita tentunya harus berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Bagaimana jika ada seseorang yang meminta maaf atas kesalahan yang pernah dilakukannya terhadap kita, namun mengulang kembali kesalahan yang sama keesokan harinya? Tentu kita akan mempertanyakan permintaan maafnya itu kan?

Oleh karena itu, ada hal yang penting untuk dilakukan setelah meminta maaf, yakni rekomitmen. Kita harus berkomitmen ulang untuk tidak melakukan kesalahan yang sama. Hanya dengan itulah orang-orang bisa melihat kesungguhan permohonan maaf kita. Hanya dengan menjalani hidup dengan komitmen yang baru sajalah, kita membuktikan diri kita benar-benar telah menyesal dan berupaya memperbaiki kesalahan.

Marilah kita menjadi orang-orang yang kritis berpikir dan bijak bertindak, sehingga kita tak usah repot-repot mengedit kesalahan yang semestinya tak perlu kita lakukan. Dengan demikian, waktu dan tenaga yang mungkin akan terbuang untuk mengedit kesalahan tersebut bisa kita manfaatkan untuk mengerjakan hal-hal lainnya.

Salam kritis! Salam bijak!

Your Love Is My Battery



Your love is my battery,
So I could live my life brightly;
And your love is my coffee,
So I could live my life lively!

Your love is my river flow,
So my life wouldn’t be so hollow;
And your love is my rainbow,
So my life wouldn’t be boring so!

Kasih Adalah Kunci


manusia itu sebenarnya sadar bahwa tiap orang diciptakan berbeda-beda, namun tetap saja menginginkan agar semua orang menjadi sama seperti dirinya.

mungkin itulah perwujudan ego yang ada di dalam diri manusia, "cipratan" sifat dari Tuhan yang memang senantiasa menginginkan agar manusia meneladaniNya.

bedanya, manusia menginginkan keseragaman demi memuaskan egonya, sedangkan Tuhan menginginkan keserupaan manusia dengan Diri-Nya demi kebaikan mereka.

kunci yang membedakan adalah kasih. oleh karena kasih itulah, Allah yang sangat jauh berbeda dengan manusia rela merendahkan diri dan menjadi sama seperti ciptaan-Nya yang penuh dosa itu.

kasih adalah kunci untuk memasuki pintu perbedaan.

tanpa kasih, Yesus tak mungkin mau bergaul dengan orang berdosa. tanpa kasih, Yesus tak mungkin mau berbicara dengan perempuan Samaria. dan, bagaimana mungkin Yesus rela mengorbankan Diri-Nya, jika Dia tak memiliki kasih di dalam hati-Nya?

Hidup Itu Sekedar Mampir Minum


Suasana Katedral di Jumat pagi itu begitu teduh. Matahari masih belum begitu meninggi ketika aku melangkahkan kakiku ke dalam gedung yang letaknya berseberangan jalan dengan masjid Istiqlal itu. Belum banyak orang yang datang, tentu saja karena hari itu bukan hari Minggu.

Aku masuk lewat pintu samping. Di dalam, hanya ada dua-tiga orang yang ada di dalam. Berdoa. Aku berjalan melewati deretan kursi panjang yang banyak, mencari tempat yang cukup nyaman untuk berdoa pula. Begitu duduk, kesunyian langsung menyergapku. Bukan kesunyian yang mengerikan seperti di film-film horor, namun kesunyian yang menenangkan. Rasanya semua kebisingan yang ada di dalam kepalaku langsung terdiam, seperti sirnanya tangisan bayi begitu ia didekap ibundanya.

Akupun segera terhisap ke dalam "kesunyian bundawi," kesunyian Ilahi itu. Seluruh isi hati tertumpah tanpa ragu ataupun malu, karena aku tahu, bahwa aku sedang mengadu kepada Pribadi yang mengasihiku bahkan semenjak dosa-dosa masih mengotori jiwaku, semenjak aku masih memusuhiNya dalam keliaranku, dalam ketidaksadaranku.

Selepas berdoa, aku baru menyadari bahwa ternyata kesunyian itu tak sendiri. Ada keriuhan yang berasal dari langit-langit gereja, yang ajaibnya, bukannya memecah kesunyian, suara-suara itu justru menambah khidmat dan syahdunya suasana. Suara-suara itu berasal dari burung-burung gereja yang memuji Tuhan dengan cara mereka sendiri. Sungguh, riuh-rendah kicau mereka justru makin menenangkan jiwaku, membawaku terbang tinggi kepada hadirat Tuhanku.

Sungguh sebuah pengalaman yang tak terkatakan. Sebuah anugerah, karena tak mungkin seorang pendosa sepertiku bisa menikmati orkestra surgawi yang dibawakan oleh burung-burung gereja itu kalau Dia tak mengijinkannya.Kalau tidak, tentu aku akan melewatkannya, dan seperti kebanyakan orang, aku hanya akan menganggap kicauan burung-burung itu sebagai sebuah peristiwa yang alami, yang wajar, yang biasa.

Mungkin sebagian orang akan berkata bahwa menikmati hal-hal seperti itu hanya masalah perspektif, namun benarkah demikian? Tidak bagiku. Ada berapa banyak orang yang dilahirkan tuli sehingga tidak bisa mendengarkan suara apapun, termasuk kicauan burung-burung gereja itu? Ada berapa banyak orang yang terlalu sibuk dengan urusan-urusan hidupnya, sehingga tak pernah sempat (atau menyempatkan diri) untuk menikmati hidup itu sendiri? Ada berapa banyak orang yang hatinya terlalu bising dengan segala kekuatiran, kecurigaan, dan kebencian, sampai-sampai tak sanggup melihat indahnya kehidupan?

Benarlah apa yang dituliskan oleh Pengkhotbah, "sebab siapakah dapat makan dan merasakan kenikmatan di luar Dia?" Tanpa Tuhan, tak ada seorangpun yang dapat merasakan kenikmatan. Dunia ini hanya bisa menawarkan kenikmatan-kenikmatan imitasi yang tak ubahnya seperti air laut, melimpah, namun sama sekali tak bisa menawar dahaga. Air laut itu makin diminum justru memperbesar rasa haus kita! Ibaratnya, ribuan liter kenikmatan "air laut" yang ditawarkan dunia itu kalah nikmat dibandingkan segelas kenikmatan "air putih" yang dari Tuhan.

Apakah yang sedang kau kejar dalam hidupmu yang sekejap itu? Pastikan kamu mengejar apa yang benar-benar nikmat dan memberikan kepuasan sejati. Pastikan kamu mengejar pengenalan akan Dia yang adalah Sumber Kenikmatan itu. Dengan demikian, kamu takkan perlu menghabiskan banyak waktu, uang, dan tenaga, untuk menikmati hidup ini, seperti yang dilakukan kebanyakan yang merasa bisa hidup sendiri di luar Dia. "Urip iku mung mampir ngombe," demikian bunyi pepatah Jawa. Hidup itu sekedar mampir (sebentar untuk) minum.

Pertanyaannya, air manakah yang akan kamu minum? Air laut yang ditawarkan dunia, ataukah air putih yang ditawarkan Tuhan?