Laman

The Song of Ande Ande Lumut

The song sung in the video is tittled "Ande Ande Lumut," played in Keroncong music, one of native Indonesian music style from Java. The song tells a conversation between a mother and her son, Ande Ande Lumut. There are three girls who come for a competition to marry the son, and the mother, each time a girl comes, tells her son to come down and meet the girl. 

However, hough the first two girls are beautiful as the mother describes in the song, Ande Ande Lumut doesn't want to come down. In the original story, that's because those girls has allowed a bad character named Yuyu Kangkang to kiss them in return for helping them crossing the river. 

Finally, the third girl shows up, yet the mother isn't fond of her appearance. She looks so ugly. However, Ande Ande Lumut wants to come down and marry this girl this time. She didn't let Yuyu Kangkang to kiss her and even get rid of him using her magic weapon. 

The story tells us about the importance of one's purity, that the beauty of character is considered more valuable than outward look (of course, we all want both inward and outward beauty though ^_^). In our culture, things are beautufied only in terms of religious worships, not in daily lives. We believe in the strength/beauty of characters, not of appearances. 

Indonesia is culturally a rich country, and that's one of the reasons why I love her so much! Come to Indonesia and see it for yourselves. :)

Piramida Kristus - Mampir di Atena (4)



Adalah wajar jika setiap orang memiliki kerinduan untuk memiliki hubungan yang intim dengan Allah, karena ketika diciptakan pun, manusia mengalami proses yang berbeda daripada ciptaan yang lain. Manusia, sebagaimana dikisahkan di dalam kitab Kejadian, dibentuk oleh Allah dari debu tanah, kemudian dihembusiNya dengan nafas hidup (dalam bahasa aslinya, nafas hidup=ruah, yaitu roh). Jika semua ciptaan lain dibentuk dengan sabda atau perintah, manusia dibentuk langsung oleh tangan Allah dan diberikan kehidupan langsung dari mulut-Nya. Betapa intimnya! Maka tidaklah berlebihan, jika pujangga Yunani menyebut manusia sebagai keturunan Allah juga.

Perkataan pujangga Yunani tersebut menyingkapkan kerinduan terdalam setiap manusia, yakni untuk memiliki hubungan yang paling intim dengan Tuhan. Dan apalagi hubungan yang lebih dekat daripada hubungan antara bapak dengan anaknya? Dan lagi, bukankah itu yang dijanjikan Tuhan kepada umat-Nya (lih. Hos. 1:10), yang kemudian tergenapi di dalam Kristus (lih. Yoh. 1:12, Gal. 3:26)?

Kristus yang telah mati dan bangkit itulah yang selalu menjadi pokok pemberitaan Paulus. Kita bisa membaca kemudian, bahwa kalimat-kalimat yang "panjang dan lebar" itu berujung kepada pertobatan dan kesadaran manusia akan penghakiman Allah yang akan dikerjakan oleh Dia (Yesus) yang telah dibangkitkan dari antara orang mati. Dalam suratnya kepada jemaat di Kolose, Paulus menuliskan inti dari segala kegiatan pelayanan yang ia lakukan dengan sekuat tenaga, yakni bahwa Kristuslah yang diberitakannya, bukan yang lain (Kol. 1:28). Meskipun kebangkitan dari kematian bukanlah konsep yang umum diterima di dalam pemikiran Yunani, hal itu tetap harus diberitakan. Baginya, itu bukanlah sesuatu yang bisa ditawar.

Layaknya sebuah piramida, Paulus membangun dasar argumentasinya sedapat mungkin sesuai dengan alam pemikiran para pendengarnya. Jika ia berada di hadapan umat Yahudi, ia mengisahkan perjalanan sejarah bangsa Israel lalu mengutip ayat-ayat dari Taurat, sebelum akhirnya memperkenalkan Kristus, Mesias yang mereka nantikan. Di Aeropagus, Paulus menggunakan dasar yang sedikit berbeda seperti yang telah kita lihat di atas, yakni logika umum mengenai sifat dasar Allah.

Setelah menumpukkan logika dasar yang dibutuhkan, Paulus menutup pemberitaannya dengan meletakkan "pucuk piramida," yakni Yesus Kristus. Dalam memberitakan Kabar Baik, Paulus tidak pernah melakukannya dengan setengah-setengah. Sang rasul tidak pernah lupa memberitakan pokok dari iman Kristen yang ia imani: Yesus Kristus yang telah mati dan dibangkitkan menjadi Tuhan dan Juruselamat manusia!

[bersambung]

Antara Mitologi dan Kitab Suci - Mampir di Atena (3)


Dan, pemberitaan Paulus pun berlanjut. Setelah mengingatkan kepada penduduk Atena bahwa Allah yang sejati itu "self-sufficient," sehingga tidak tinggal di dalam bangunan buatan manusia atau memerlukan sedikit pun pelayanan dari manusia, sang rasul kemudian mengisahkan kepada mereka semua mengenai sejarah atau asal-usul manusia. Ia menarasikan bagaimana Tuhan membuat seluruh umat manusia dari satu orang saja. Narasi penciptaan dari kitab Kejadian tersebut "kebetulan" mirip dengan dua mitologi besar Yunani mengenai asal mula umat manusia, yakni Pelasgus yang lahir langsung dari bumi dan Phaenon yang diciptakan oleh Prometheus dari tanah liat.

Dari manakah sang rasul itu mengetahui adanya kisah yang serupa, yang bisa dijadikan sebagai "jembatan" untuk memberitakan Injil? Kita tidak tahu secara pasti. Bisa jadi, jauh di Yerusalem sana, Paulus memang adalah seorang pemuka yang rajin menyelidiki pandangan-pandangan lain, terutama yang diceritakan oleh orang Yahudi dari daerah-daerah sekitar Atena yang datang ke Yerusalem untuk beribadah. Mungkin pula, Paulus belajar dari penduduk Atena sendiri atau sekali-dua kali ia mengikuti "kuliah umum" yang dibawakan oleh pengajar-pengajar Yunani.

Bagaimana bisa, mitologi Yunani memiliki kemiripan dengan kisah-kisah di dalam kitab suci? Tak hanya asal manusia yang dari tanah, namun juga adanya air bah untuk menghukum seluruh bumi. Dan, bukan hanya Yunani, bangsa-bangsa lain pun memiliki mitologi yang mirip dengan itu. Beberapa ahli menyatakan bahwa Musa "menyontek" kisah-kisah yang berkembang pada zamannya, dengan kata lain, mereka menyangkal validitas Alkitab sebagai kitab yang diinspirasikan oleh Allah sendiri. Sebagian orang memang berupaya 

Akan tetapi, ada yang berbeda. Allah Alkitab memiliki narasi yang lebih jelas dan "jangkauan"-Nya pun lebih panjang dibandingkan Allah yang lain. Allah Israel tak hanya menciptakan langit dan bumi kemudian membuat segala sesuatu berjalan "otomatis," melainkan terus berkarya di dalam kehidupan umat-Nya. Allah Israel tak hanya berhenti di sebuah titik sejarah mitologis, melainkan terus-menerus merenda sejarah manusia. Adapun kisah-kisah yang mirip dengan kisah Alkitab, bisa kita pahami sebagai efek dari tersebarnya keturunan Nuh ke seluruh penjuru bumi. Kisah yang diceritakan oleh masing-masing anak Nuh kepada keturunan mereka sangat mungkin mengalami distorsi sesuai dengan perkembangan kebudayaan, politik, dan ekonomi lokal--termasuk di Yunani.

Allah yang sejati, Allah yang terus berkarya dalam kehidupan itulah yang diberitakan oleh sang rasul kepada penduduk Atena. Paulus tak hanya menggambarkan kepada penduduk Atena tentang Allah yang menciptakan umat manusia dari satu manusia pertama, melainkan Allah yang juga menentukan musim-musim (yang teratur) bagi tiap kediaman manusia. Lebih lanjut, ia menggambarkan lagi, "Ia tidak jauh dari kita masing-masing. Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada" (Kis. 17:27b-28a). Ia juga mengutip perkataan pujangga Stoa, Aratus, "Sebab kita ini keturunan Allah juga." Bertolak dari situ, sang rasul memberikan pemaparan logis bahwa dengan keberadaan manusia sebagai "keturunan Allah," maka pemikiran bahwa Allah yang ilahi itu ada di dalam patung-patung buatan manusia haruslah ditinggalkan.

[bersambung]

Mengenal Allah yang Sejati - Mampir di Atena (2)

Rasul Paulus mengawali pemberitaannya dengan menunjukkan penghargaannya terhadap ketekunan orang-orang Atena dalam beribadah. "Aku melihat bahwa kalian begitu religius," demikian kata sang rasul. Paulus kemudian mengungkap bahwa saking religiusnya bangsa itu, sampai-sampai ada sebuah altar yang ditujukan kepada "Allah yang tidak dikenal." Meski memiliki atau menyembah banyak "tuhan", jauh di dalam lubuk hati orang-orang Atena terdapat sebuah keraguan. Altar kepada Allah yang tidak dikenal itu menunjukkan bahwa jiwa mereka gelisah. Gelisah karena belum bertemu, apalagi mengenal Allah yang sejati.

C.S. Lewis pernah menyatakan, "Kamu bukan memiliki jiwa. Kamu adalah jiwa. Kamu memiliki tubuh." Kita adalah jiwa-jiwa yang bersifat kekal, yang berdiam di dalam tubuh-tubuh yang fana. Oleh karenanya, semua manusia pasti memiliki "sense of eternity," atau kesadaran akan kekekalan. Manusia bukanlah hewan atau tumbuhan, yang bertindak sesuai naluri untuk hidup dan berkembang biak. Manusia juga memperhitungkan aspek kekekalan dalam tindakan-tindakan yang diambilnya. Aspek kekekalan ini bisa bermacam-macam bentuknya. Ada yang melakukan sesuatu untuk meninggalkan nama baik, demi anak-cucu (generasi selanjutnya), agar "reinkarnasi"-nya lebih baik, ataupun agar terhindar dari neraka dan masuk surga.

Selain "sense of eternity," kita juga memiliki "sense of transendence," alias kesadaran akan transendensi--bahwa ada "sesuatu" yang jauh lebih besar dan berkuasa daripada kita semua. Itu sebabnya, tiap kebudayaan di dunia selalu berkaitan dengan hal-hal yang gaib, yang misterius, yang tak terjangkau oleh panca indera. Dalam kebudayaan Barat kuno, nasib atau takdir begitu ditakuti, dianggap lebih berkuasa daripada manusia. Itu sebabnya, kita mendapati apa yang disebut dengan (drama) tragedi. Alur cerita utama dalam tragedi adalah tokoh utama yang berupaya menjauhi takdir (biasanya berupa ramalan yang buruk tentang dirinya), namun di ujung petualangannya, takdir itu tak terelakkan dan ia gagal menghindarinya--entah mati, buta, atau yang lainnya.

Paulus melanjutkan pemberitaannya dengan mengatakan sebuah kalimat yang bagi sebagian orang akan disebut sebagai "kelewat percaya diri." Ia menyatakan bahwa "Allah yang tidak dikenal" itulah yang diberitakannya, yakni Pribadi Mahakuasa yang menciptakan bumi beserta isinya. Wah, pastilah orang-orang Atena itu makin penasaran. "Pelancong" ini ternyata memiliki informasi tentang Allah yang tidak mereka kenal. Paulus pun melanjutkan pidatonya dengan menjelaskan kepada mereka, bahwa Allah yang menciptakan langit dan bumi tidak mungkin tinggal di dalam kuil-kuil buatan manusia, juga tidak memerlukan apapun dari manusia, mengingat Dialah Sumber dari segala sumber.

Paulus memperkenalkan kepada orang Atena sesosok Ilah atau Sesembahan yang mutlak, berdaulat, dan independen. Sesosok Pribadi yang memang belum pernah mereka kenal sebelumnya. Paulus tahu, bahwa selain tekun beribadah, penduduk Atena adalah orang-orang yang "berpikir," yang berfilsafat. Ia dengan cerdik mengontraskan cara ibadah mereka dan logika tentang Allah yang berdaulat. Allah yang adalah sumber segala sesuatu, tidak mungkin membutuhkan apapun dari ciptaan-Nya. Ia adalah Pribadi yang mencukupi Diri-Nya sendiri, tak terkurangi, tak tertambahkan. Oleh karenanya, menganggapNya berdiam di dalam kuil-kuil buatan manusia atau membutuhkan sesuatu dari manusia merupakan pemikiran yang keliru.

Di masa kini, pemikiran yang kurang tepat tentang Allah itu sepertinya masih lestari. Bisa jadi, itu karena "warisan" dari kepercayaan nenek moyang yang diwariskan lewat produk tradisi dan budaya (tarian, nyanyian, peribahasa, kisah kepahlawanan, dan sebagainya), sehingga tanpa sadar hal itu ikut mempengaruhi kita dalam beribadah. Contoh paling mudah adalah masih ada (semoga tidak banyak atau makin berkurang) orang Kristen yang merasa tidak yakin akan keselamatan jiwanya setelah mati kelak. Padahal, untuk memastikan bahwa semua orang yang percaya bisa memperoleh hidup yang kekal itulah, Yesus turun ke dunia dan memberikan nyawa-Nya di Golgota! Itu mirip dengan orang Atena ribuan tahun lalu yang masih ragu akan "nasib"-nya setelah mati, sampai-sampai membuat "Altar cadangan," kalau-kalau yang mereka sembah bukan tuhan yang sebenarnya.

Bagaimana dengan kita saat ini? Adakah ibadah-ibadah yang kita lakukan (seperti ke gereja, berdoa, memberikan persembahan, beramal, terjun dalam kegiatan-kegiatan pelayanan, dan sebagainya) adalah wujud dari antisipasi atas ketidakpastian hidup setelah mati? Ataukah kita melakukan itu semua sebagai cerminan "gaya hidup penghuni surga"? Adakah kita masih terus berupaya untuk "membeli" kasih karunia Allah? Adakah kita masih beribadah seperti orang Atena pada masa Paulus itu, yang tidak mengenal Allah, yang tidak memiliki "privilege" untuk mengenal Dia lewat Kristus dan Alkitab?

[bersambung]

Mampir di Atena



Dalam salah satu perjalanannya, Paulus harus menunggu rekan-rekannya di Atena, Yunani. Atena pada waktu itu adalah sebuah kota metropolitan yang sangat terkenal oleh budaya dan tradisi pagan, alias penyembahan berhala, yang sangat kental. Laporan pandangan mata yang dituliskan oleh Lukas dalam kitab Kisah Para Rasul bisa memberikan petunjuk kepada kita mengenai bagaimana kondisi kota Atena pada waktu itu.

Lukas menuliskan bagaimana Paulus begitu sedih ketika mendapati bahwa kota Atena penuh dengan patung-patung berhala (Kis. 17:16). Hati Paulus bukan hanya "sedih," melainkan "begitu sedih." Terjemahan versi King James bahkan menuliskan bahwa pemandangan di Atena itu "menggusarkan roh" Paulus. Boleh dibilang, Paulus marah! Ia tidak bisa menerima bahwa masih ada orang yang disesatkan oleh penyembahan berhala.

Jika kita berada di dalam posisi Paulus, mungkin respon kita akan jauh berbeda. Mungkin, kita akan sibuk melihat-lihat keindahan kota Atena dengan patung-patungnya yang dibuat dengan keterampilan seni yang mumpuni. Adapun ritual-ritual keagamaan yang dilakukan oleh orang-orang Atena pada waktu itu adalah hal yang biasa dan tak perlu dicampuri. Toh, kita cuma "mampir" di Atena, cuma menunggu Silas dan Timotius. Untuk apa capek-capek mencampuri urusan penduduk lokal?

Sebagian dari kita mungkin akan bersikap lain lagi. Kita hanya akan memandang semua aktivitas pagan itu dengan tatapan sinis. "Lihat betapa sesatnya mereka!" Mungkin itu yang akan kita pikirkan, sambil menepuk dada karena kita telah mengenal iman yang sejati. Atau, mungkin kita menjadi tidak tahan dengan kesesatan di Atena dan memilih untuk berpindah ke kota lain yang "mendingan."

Akan tetapi, respon hati Paulus sungguh luar biasa. Ia gusar dengan penyembahan berhala, dan ia tak mau menghabiskan waktu luangnya untuk "cuti" sembari menikmati keindahan kota Atena. Lukas mencatat, Paulus segera pergi ke tempat-tempat yang memungkinkan untuk bertukar pikiran. Di pasar, di rumah ibadah, di mana saja ada yang bisa diajak "berdebat." Pada waktu itu, lapor Lukas, penduduk Atena tidak memiliki kegiatan lain selain mendengar atau menceritakan hal-hal dan pengajaran-pengajaran baru. Tak heran, Yunani merupakan tempat lahirnya para filsuf dan pemikiran-pemikiran besar dunia.

Gentarkah Paulus dengan "nama besar" orang Yunani dengan segala pemikiran besar yang mereka hasilkan? Lukas mencatat sebaliknya. Paulus bahkan beradu pendapat dengan orang-orang dari golongan Epikuros dan Stoa, yang hingga hari ini masih diajarkan dalam pelajaran-pelajaran sejarah filsafat. Tak hanya berani beradu pendapat, Paulus bahkan melakukannya secara terbuka dan intens, sampai-sampai orang-orang Atena menjadi penasaran dan mempersilakannya untuk berbicara di Aeropagus, sebuah tempat yang dikhususkan untuk semacam kuliah atau seminar publik, untuk menceritakan lebih gamblang dan lebih luas mengenai "paham baru" yang ia usung. Sebuah kesempatan yang tak disia-siakan oleh sang rasul.

[bersambung]