Laman

Mengupas Kicauan SBY Tentang Perppu Pilkada

Pagi ini, mas PRI, alias Presiden Republik Indonesia, berkicau lagi di Twitter. Kali ini, SBY mengisahkan proses "kebulatan" Koalisi Merah Putih dalam mendukung Perppu Pilkada yang ditandatanganinya beberapa waktu lalu.
Jangan lupa ya, Pemerintah kabinet SBY lah yang mengajukan RUU Pilkada, yang kemudian membuahkan UU Pilkada, yang mengatur bahwa Kepala Daerah di tingkat Kabupaten-Kota-Provinsi dipilih oleh DPRD!
Oke, saya ingin (sok) menganalisa rentetan kicauan mas PRI pagi ini, dimulai dengan "Alhamdulillah". SBY membuat dua pernyataan yang "diam-diam menghanyutkan" di sini. Pertama, dia mengasumsikan bahwa publik mendukung Perppu Pilkada Langsung. Inilah kehebatan SBY, yakni membuat kalimat "seolah-olah". Publik sesungguhnya tidak peduli dengan keberadaan "Perppu", melainkan dengan "Pilkada Langsung" itu sendiri. Tapi, mas PRI menulis seolah-olah dia mendapatkan dukungan publik.

Berikutnya, dia dengan "cerdik" memainkan "frasa statistik" dalam kalimat kedua, yakni "sebagian kecil" masih ragu Perppu tersebut bisa lolos di DPR. Sebagian kecil? Seberapa kecil, Mas PRI? Inilah senjata keseolah-olahannya yang lain: kebenaran berdasar suara mayoritas. Seolah-olah "sebagian besar" lainnya meyakini bahwa Perppu itu pasti lolos di DPR.

Lagipula, mengapa repot-repot menjawab keraguan yang cuma sebagian kecil itu, SBY? Mas PRI kemudian mengisahkan mengenai tawar-menawar politik yang terjadi. Konon katanya, ia ditemui oleh Hatta Rajasa yang menginginkan PD bergabung dengan Koalisi Merah Putih di DPR dan MPR. SBY setuju dengan catatan, yaitu KMP menyetujui Perpu itu. BTW, masih ingat kan, bahwa Hatta Rajasa adalah besan dari SBY? Ingat ya, dalam skenario SBY, Partai Demokrat itu BUKAN bagian dari Koalisi Merah Putih. Nah, berikutnya adalah skenario bergabungnya PD dengan KMP. SBY tidak ingin partainya itu terlihat "murahan" tentunya. Kuncinya, PD harus nampak memperjuangkan rakyat sambil mengiyakan ajakan untuk bergabung ke KMP. Bagaimana caranya? PD mengambil posisi Roro Jonggrang, yang memberikan syarat-syarat untuk bisa dipersunting oleh Sangkuriang, eh, Bandung Bondowoso. Bedanya, Roro Jonggrang sesungguhnya tidak mau dinikahi oleh si Bandung Bondowoso, sehingga mengajukan persyaratan yang menurutnya mustahil dituruti.

Bukan. Bukan membuat Tangkuban Perahu, tentunya, tetapi membuat seribu candi dalam semalam.

Lain Roro Jonggrang yang dipinang oleh Bandung Bondowoso, lain pula Partai Demokrat yang dipinang oleh Koalisi Merah Putih. Yang terakhir ini sebenarnya malu-malu kucing saja. Seolah-olah harga dirinya mahal dan memperjuangkan rakyat. Coba kita lihat twit berikutnya:
WHAT? Dia bilang Pilkada Langsung (dengan Perbaikan) merupakan prioritas? Kalau benar begitu, kenapa mengajukan RUU Pilkada waktu itu? *puyeng*
Puyeng masih berlanjut di kicauan-kicauan berikutnya. Katanya, Sang Besan menyampaikan prasyaratnya ke KMP, dan mereka langsung, ehem, setuju. Setelah pengambilan suara sampai dinihari, tiba-tiba KMP setuju begitu saja dengan Perppu yang 180 derajat isinya dengan UU Pilkada? Tanpa syarat selain bergabungnya PD ke KMP? Oh iya, hingga sejauh ini, seolah-olah SBY dan partainya tidak ada hubungan dengan KMP selain Hatta Rajasa, yang menjadi "pembawa pesan"-nya ke Rapat Pimpinan KMP. Hmmm... benarkah begitu? Mari kita simak dua kicauan berikutnya: Hmmm... kenapa ya bukan Prabowo atau salah satu dari Ketum partai di KMP yang menelepon Ical yang sedang di luar negeri? Apa karena mas PRI dibayari pulsanya dari duit APBN? Pasti bukan itu alasannya lah. Yang jelas, si Roro Jonggrang lah yang sekarang sibuk menyemangati Bandung Bondowoso supaya segera menyelesaikan proyek seribu candinya.
Jadi sebenarnya siapa sih ketua atau koordinator Koalisi Merah Putih?
Akhirnya, "perjuangan" SBY demi rakyat pun menuai hasil. Dia menerima kesepakatan dan komitmen dari KMP untuk mendukung Perppu Pilkada Langsung di DPR secara hitam-putih. Demi rakyat, Roro Jonggrang "rela" bergabung dengan KMP. Kesepakatan itu pun ditandatangani oleh semua Ketum dan Sekjen, kecual PPP yang hanya Ketum. Loh, loh, loh, katanya Ical di luar negeri? Kok sudah ada tanda tangannya? Hmmm... Kalau bukan tanda tangannya dipalsu, ya mungkin saja luar negeri-nya Ketum Golkar itu tidak jauh-jauh amat. Ke Maladewa, misalnya. *ehem*

Berikutnya, mas Pri mencoba menjawab keraguan atas kesungguhan KMP. Dia percaya, KMP masih menyisakan sedikit etika untuk tidak melanggar kesepakatan mereka. "Saya percaya KMP," begitu tulisnya. "Apalagi," kicaunya lagi, "Perpu itu mewadahi kerisauan KMP terhadap hal-hal negatif dalam Pilkada Langsung." Tunggu dulu. Barangkali ada yang lupa, RUU Pilkada itu buah pemikiran dari Pemerintahan SBY, bukan KMP. Ini harus diingat betul-betul.

Lagipula, memangnya apa sih, "hal-hal negatif dalam Pilkada Langsung" itu? Kalau dibilang pemborosan, toh itu cuma di pihak peserta yang melakukan politik uang, bukan dari sisi APBD. Kalau dibilang menghasilkan Kepala Daerah yang korup, bukannya mayoritas berasal dari partai-partai, bukan calon independen? Lagipula, memangnya para Bupati, Walikota, dan Gubernur sebelum dibentuknya KPK itu bersih dari korupsi? Mas PRI bisa jawab?

Kicauan berikutnya, SBY menyinggung PDIP. Ini seperti membuka luka dalam drama Walkout ketika voting UU Pilkada. Kenapa? Karena pada waktu itu, semua partai di Koalisi Indonesia Hebat sudah menyetujui 10 syarat yang diajukan oleh Partai Demokrat agar mereka mendukung dibukanya opsi ketiga, yakni Pilkada Langsung dengan perbaikan. Persis seperti judul Perppu yang dikeluarkan belakangan. Akan tetapi, justru Fraksi PD walkout dari pengambilan suara dengan alasan tidak merasa didukung. Bagaimana, sudah super puyeng? Beberapa hari yang lalu, PD lah yang meninggalkan PDIP cs dengan Walkout, sekarang, ia membuat pernyataan seolah-olah PDIP dikhawatirkan akan menolak Perppu itu. Dan, seolah-olah dia percaya, bahwa PDIP tidak akan menolaknya.

Kicauan terakhir terkait Perppu Pilkada SBY pagi ini ditutup dengan kalimat positif. Lebih tepatnya, seolah-olah positif: Kira-kira SBY berkata, "Saya sudah menunjukkan komitmen bagi bangsa dengan membuat Perppu, sekarang tinggal DPR yang menunjukkan komitmen mereka dengan cara menyetujui Perppu itu."
Harapannya, tentu saja, agar publik "mengampuni dan melupakan" langkah Pemerintahannya yang mengajukan RUU Pilkada. Padahal, kabinetnya lah yang berinisiatif merampas suara rakyat untuk memilih Kepala Daerah mereka secara langsung!

Tapi sayangnya saya, dan saya harap "sebagian besar" sidang pembaca, menolak lupa.