Laman

Kontemplasi

Lima tahun yang lalu, kantor kami mengadakan acara kebersamaan dengan berlibur ke pulau Tidung, salah satu pulau di Kepulauan Seribu. Di Tidung, kami mengikuti berbagai aktivitas yang telah dipersiapkan oleh agen perjalanan, seperti bakar (dan makan) ikan, bersepeda keliling pulau, bersampan, bermain “Banana Boat” (1-4 orang menaiki semacam perahu karet berbentuk pisang yang ditarik dengan kapal cepat, yang melakukan manuver berbelok dengan cepat sehingga semua orang yang menaiki “kapal pisang” terlempar ke air), dan, yang paling berkesan bagi saya, snorkeling. Snorkeling adalah aktivitas “setengah menyelam” (memakai jaket apung) sambil melihat keindahan alam bawah laut yang mempesona. Dari semua aktivitas yang kami lakukan di pulau Tidung, satu-satunya yang membuat saya ingin kembali ke sana adalah snorkeling ini.

Snorkeling

Banana boat tentu seru dan menyenangkan, akan tetapi, snorkeling—setidaknya bagi saya—lebih dari sekadar menyenangkan. Snorkeling menyegarkan jiwa saya, karena melihat berbagai biota laut yang begitu indah dan agung. Serunya banana boat membuat adrenalin saya terpacu, tetapi nikmatnya snorkeling membuat hati saya terpaku. Ya, terpaku, kepada Dia, Tuhan, yang begitu sempurna menciptakan segala sesuatu—bahkan yang berada di tempat-tempat tak terlihat seperti biota bawah laut.

Saudara sekalian, kesibukan kita setiap hari barangkali dapat diibaratkan seperti bermain banana boat. Seru, menyenangkan, sekaligus menegangkan. Kita sibuk mengikuti berbagai aktivitas yang menjalin kebersamaan seperti persekutuan, pelayanan, dan sebagainya. Atau, kita mungkin menikmati serunya aktivitas elektronik, seperti bermain online game, bermedia sosial, menonton Youtube, dan semacamnya. Semuanya itu memang dapat bermanfaat dan membawa sukacita.

Akan tetapi, alangkah ruginya, apabila kita hanya “bermain banana boat” sepanjang hari, tanpa sekalipun meluangkan waktu untuk snorkeling! Kontemplasi atau waktu-waktu teduh bersama Tuhan seumpama aktivitas snorkeling. Tidak ada suara bising dari mesin kapal cepat apalagi knalpot dan klakson kendaraan di jalan raya. Tidak ada nada pesan masuk atau dering telepon. Hanya kita sendiri, mengagumi keindahan Allah. Mensyukuri anugerah-Nya, takjub akan karya tangan-Nya, terpukau oleh kekudusan-Nya, menikmati firman-Nya.

Saudara sekalian, ada teladan dari Tuhan kita yang barangkali sudah sering kita baca atau dengarkan. Saya ingin mengajak kita semua untuk menyelami firman-Nya yang tertulis dalam kitab Markus 1:21-39.

Di kampung halaman Petrus di Kapernaum, Yesus membuat mukjizat yang sangat menggemparkan, yakni mengajar dengan perkataan yang penuh kuasa dan mengusir setan tanpa berdoa ataupun membaca mantera. Fenomena yang belum pernah dijumpai itupun segera tersebar ke seluruh Galilea. Galilea pada masa Yesus adalah daerah “campuran,” yakni tempat dimana keturunan orang Yahudi yang kawin campur dengan bangsa asing tinggal (tentu saja, ada pula orang-orang Yahudi “asli” seperti Petrus).

Kabar tentang adanya Seseorang yang sanggup membuat mukjizat tentulah berita yang sangat dinanti-nantikan oleh mereka yang menderita penyakit dan kaum keluarganya. Maka tak heran, meski matahari telah terbenam, pintu rumah Petrus penuh dengan “pasien” yang antre, menanti untuk disembuhkan—dan benar-benar sembuh. Sungguh sebuah hari yang sibuk, seru, menyenangkan, sekaligus menegangkan! Kita bisa menduga apa yang terjadi selanjutnya. Apabila dua “keajaiban” di rumah ibadat bisa membuat seluruh penduduk kota datang, apalagi ditambah dengan mukjizat-mukjizat yang dilakukan Tuhan pada malam itu. Tak heran, orang-orang terus berdatangan dan mencari Yesus hingga keesokan paginya. Penyakit apalagi yang akan disembuhkanNya? Setan jenis apalagi yang akan diusirNya? Semua orang termasuk murid-murid pasti penasaran, keseruan apa yang akan mereka dapati pada hari itu. Semua orang, kecuali Yesus.

Markus mencatat, bagaimana pagi-pagi benar, ketika hari masih gelap, Yesus pergi ke tempat yang sunyi untuk berdoa. Dalam kemanusiaan-Nya, Yesus tentu juga menikmati sukacita mengusir berbagai penyakit dan roh jahat. Akan tetapi, keseruan yang memacu adrenalin tersebut tak membuatNya terhanyut. Ia tetap meluangkan waktu untuk berduaan dengan Bapa-Nya. Sang Anak tidak bisa tidak memiliki waktu-waktu khusus bersama Bapa. Dan, apa yang dilakukan Yesus ini bukanlah aktivitas untuk mengisi waktu luang, melainkan sebuah rutinitas. Ini tersirat dari betapa cepatnya para murid menemukan Dia.

Apa yang terjadi setelah para murid memberitahukan bahwa banyak orang telah menantikan kedatangan-Nya? Bukannya buru-buru kembali ke rumah Petrus, Yesus justru mengajak mereka untuk pergi memberitakan Injil ke kota-kota lain. Alasannya? “…karena untuk itu Aku telah datang." Waktu yang ditentukan Bapa bagi Yesus untuk mengajar dan membuat mukjizat di Kapernaum telah habis, dan sekarang waktunya untuk melanjutkan pemberitaan Injil ke kota-kota lain. Kita dapat meyakini, bahwa ini adalah hasil dari kontemplasi-Nya di tempat sunyi, bersama Bapa. Demikianlah Sang Guru Agung teladan kita itu mendasarkan aktivitas-Nya pada hasil kontemplasi bersama Bapa.

Bagaimana dengan kita? Berbagai tuntutan yang ada di pundak kita barangkali mengikat kita seperti tali dari kapal cepat yang mengikat banana boat yang kita tunggangi. Menyeret kita, dan acap kali, menceburkan kita ke laut kesibukan. Kita mungkin merasa bahwa waktu 24 jam sehari dan 7 hari seminggu yang ada tidaklah cukup, mengingat berbagai tugas atau rencana-rencana kita. Atau, bisa jadi kita menjadi begitu terbiasa dengan keseruan dan keramaian, sehingga waktu-waktu sendiri justru terasa menyiksa. Sesungguhnya, saat-saat seperti inilah saat yang paling tepat bagi kita untuk snorkeling.

Datanglah kepada Bapa sekarang. Sebagaimana Sang Anak tidak bisa tidak bertemu dan disegarkan oleh Bapa-Nya, demikian pula kita, anak-anak-Nya, tidak bisa tidak datang kepadaNya dalam keheningan, dalam penyerahan diri, dalam kerinduan yang tak terkatakan. Mulai saat ini, sediakanlah waktu untuk berkontemplasi. Waktu untuk melihat apa yang ada “di dalam air.” Waktu untuk menikmati keindahan, keagungan, dan kekudusan, yang takkan dapat kita temui kecuali dalam sunyi. Di dalam keheningan itulah, suara-Nya dapat dengan jelas kita dengarkan, dan sentuhan kasih-Nya nyata kita rasakan.


Lebih dari itu, Tuhan sangat menyenangi waktu-waktu pribadi bersama kita. Tuhan rindu mencurahkan isi hati-Nya bagi kita. Tuhan sangat menantikan kita datang kepadaNya, seperti bapa dari anak yang hilang. Barangkali, itu sebabnya Dia memuji Maria, yang “telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya" (Lukas 10:42).