Mesin absen/dokpri |
Di Semarang, saya tidak mengenal yang namanya mesin absen. Kebetulan, pekerjaan saya di kota lumpia tersebut tidak mensyaratkan saya untuk memasukkan kertas absensi ataupun menempelkan sidik jadi pada mesin absen. Di ibukota negara inilah, saya berkenalan dengan mesin absen. Tiap datang dan pulang kantor, saya (dan teman-teman) harus memasukkan kertas absensi saya ke dalam mesin penanda kehadiran itu. Ia akan menorehkan tanda waktu pada kertas itu, dan tanda waktu itu akan dijadikan patokan bagian keuangan untuk penggajian di akhir bulan.
Saya akui, saya adalah pribadi yang telatan (bukan teladan!), alias sering terlambat. Ini adalah salah satu kebiasaan buruk yang hingga kini masih terus saya perangi (semoga tak sampai seumur hidup). Dan, mesin absen itu bagaikan "malaikat pencatat dosa" saya dalam urusan waktu masuk kerja. Untungnya, saya punya istri seorang guru yang harus masuk pagi, sehingga saya "agak terbantu" dengan kebiasaan buruk tersebut.
Jarak tempat tinggal kami relatif "lama" dari kantor tempat saya bekerja, sekitar 1-2 jam. Saya menggunakan istilah "lama," karena kondisi lalu lintas di Jakarta yang memang tak terduga. Hanya dalam hitungan menit, jalan yang tadinya senyap bisa mendadak menjadi padat dan macet. Di kota asal saya, jarak rumah-kantor yang hanya 16 kilometer itu bisa ditempuh dalam waktu seperempat jam saja, tapi tidak di Jakarta. Di Semarang, saya tak pernah menemui angkutan umum yang begitu penuh sampai-sampai saya tidak bisa "menjejalkan diri" ke dalamnya.
Sesekali, saya tetap saja mengalami warna absen merah karena terlambat, meski hanya beberapa menit. Ia punya standar tersendiri, dan sayalah yang harus mengikuti standarnya. Jam tangan saya lah yang harus saya sesuaikan dengan jam mesin absen itu. Celakanya lagi, warna merah itu tak terhapuskan, dan tetap akan diperhitungkan sebagai kesalahan saya di masa "penghakiman" (baca: ketika perhitungan gaji), meskipun esoknya atau hari sebelumnya saya datang satu jam lebih awal. Memang begitulah aturannya. Kedatangan saya yang lebih awal tak serta merta menghapuskan pelanggaran saya karena datang terlambat.
Apa jadinya kalau perhitungan ala mesin absen itu sama seperti perhitungan dosa kita ya? Seberapa sungguh-sungguh pun usaha kita untuk "menebus" dosa kita, takkan pernah bisa "menghitamkan kembali" catatan-catatan dosa yang berwarna merah itu. Dan memang, beberapa hal di dunia, terutama berkaitan dengan hukum, berlaku seperti itu. Meskipun saya seorang yang gemar menolong orang dan bahkan memiliki kekayaan yang tak terhingga, namun jika suatu kali kedapatan mengutil, pastilah saya harus masuk bui karena perbuatan saya itu. Kebaikan-kebaikan saya tidak bisa dijadikan penyeimbang atas kesalahan saya. Paling banter, sikap baik saya hanya dijadikan sebagai faktor yang meringankan, namun hukuman tetap dijatuhkan.
Nah, bagaimana jika perhitungan dosa juga berlaku demikian? Sebaik apapun saya, hal itu takkan bisa melepaskan saya dari ancaman hukuman atas dosa-dosa yang telah saya lakukan. Dan, apakah hukuman terhadap dosa? Tentu saja neraka. Nah, sayangnya, tidak ada satu manusiapun di muka bumi ini yang tidak pernah melakukan dosa. Kebanyakan dari kita bahkan melakukannya setiap hari, entah lewat pikiran, perkataan, ataupun perbuatan kita. Jika demikian, maka umat manusia adalah mahluk-mahluk yang pasti celaka, karena tidak ada tempat lain baginya selain di neraka! Adakah harapan untuk kita? Syukurlah, jawabannya adalah: ada!
Firman Tuhan yang tertulis di dalam Alkitab dengan gamblang menawarkan suatu pengharapan yang pasti akan kelepasan dari ancaman hukuman neraka. Yesus Kristus, Firman Allah yang telah "merendahkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba, bahkan menjadi manusia" itulah jawabannya. Di dalam Kristus, tak ada dosa yang terlalu "merah" untuk "diputihkan." Semua dosa dunia telah ditanggungNya di atas kayu salib. Puji Tuhan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar