Ketika Kesempatan Emas Datang
Yesus adalah seorang pemimpin agama dengan jumlah umat yang tak bisa dipandang remeh pada masa-Nya. Tak hanya puluhan atau ratusan, pengikut-Nya ada ribuan. Setidaknya ada dua kesempatan dimana Dia membuat mujizat "penggandaan makanan" untuk mereka. Yang pertama berjumlah lima ribu orang, yang kedua empat ribu, itupun belum termasuk perempuan dan anak-anak.
Nah, suatu hari, ada seorang yang sangat kaya mendatangiNya untuk berkonsultasi masalah surga. Orang ini, sebagaimana kita ketahui bersama, adalah orang yang tak hanya kaya, namun juga taat dalam beragama. Artinya, dia siap tunduk pada otoritas guru-guru agama, termasuk Yesus, Sang Guru yang telah masyhur itu.
Sebuah "kesempatan emas" datang. Jika saja Yesus meminta orang ini untuk mengikutiNya, pasti jemaat-Nya akan terjamin kesejahteraannya dan makin bertambah. Orang kaya ini pasti siap sedia untuk mendukung pendanaan yang dibutuhkan. Gelontoran dana darinya akan sangat cukup untuk membiayai pelayanan mereka, bukan?
Akan tetapi, Yesus tidak melakukannya. Dia memang meminta orang kaya itu untuk menjual seluruh harta miliknya, namun bukan untuk dijadikan bekal dalam perjalanan mereka, melainkan untuk dibagi-bagikan kepada orang miskin. Setelah semua hartanya habis, barulah orang itu diajak untuk mengikuti Sang Guru Agung.
Wow, tunggu dulu. Apakah Yesus sudah gila? Bukankah orang kaya ini adalah calon jemaat yang sangat potensial untuk mendukung pengembangan pelayanan mereka? Mengapa Yesus justru menyuruh dia untuk menghambur-hamburkan hartanya untuk orang-orang miskin? Ada apa sebenarnya?
Di zaman sekarang, orang-orang kaya nan saleh seperti itu pasti langsung diterima sebagai "murid" yang istimewa, mendapat posisi yang spesial dalam tim pelayanan, bahkan memiliki "saham" suara yang lebih besar daripada murid-murid yang lain dalam mengambil keputusan dan menentukan arah pelayanan. Tak jarang, murid kaya seperti ini bahkan bisa mengatur apa saja yang sebaiknya dikatakan dan dilakukan oleh gurunya.
Namun Yesus tidak silau oleh harta. Ia lebih memilih satu orang miskin yang mengikuti Dia sepenuh hati daripada seratus orang kaya yang hanya memeriahkan pelayanan-Nya, namun tak pernah memberikan hati mereka kepadaNya. Prinsip-Nya tegas dan jelas, "tak seorangpun bisa mengabdi kepada dua tuan." Seseorang tak bisa mengikut Tuhan jika hatinya masih lekat pada hal-hal lain seperti harta.
Inilah yang harus diteladani oleh para pemimpin rohani di zaman ini. Ini adalah zaman ego, sebuah zaman yang mengedepankan ke-aku-an. Berbagai alternatif pun bermunculan, berlomba-lomba untuk memenuhkan kerinduan kita akan pengakuan. Jika seorang pemimpin mengecewakan, jemaat sudah punya gereja/persekutuan "cadangan." Namun kasih terhadap kelepasan jiwa-jiwa dari belenggu dosa haruslah menjadi yang terutama dibandingkan kasih terhadap pelayanan.
Yesus mengasihi orang kaya itu, dan sepertinya sangat menyayangkan ketidak sanggupan orang kaya itu dalam memenuhi "resep hidup kekal" yang Dia berikan. Sungguh bertolak belakang dengan kondisi kepemimpinan kita di masa sekarang yang lebih mengasihi organisasi daripada "organisme-organisme" pembentuknya. Asal sokongan dana terus mengalir, tak apalah seandainya jemaat-jemaat istimewa itu melakukan satu atau dua pelanggaran. Pelayanan akhirnya bergantung pada harta para jemaat yang kaya, bukan pada pemeliharan Allah yang selalu nyata. Sungguh berbahaya!
Kiranya kita (kelak) menjadi pemimpin-pemimpin yang lebih memperhatikan keselamatan dan pertumbuhan orang-orang yang kita pimpin daripada organisasi yang kita layani, bahkan meskipun "kesempatan-kesempatan emas" datang silih berganti. Tuhan memberkati.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar