Sadarkah kita, bahwa segala
sesuatu yang kita kejar di dunia ini bermuara pada satu tema: kesenangan? Kita
mengenal istilah “3-ta” yang konon menjadi sumber kebahagiaan sekaligus sumber
kejatuhan, yakni harta, tahta, dan wanita. Kebanyakan manusia hidup untuk
menghindari kesusahan dan mengejar kesenangan. Itulah sebabnya ada yang disebut
“cita-cita.” Pernahkah ada anak kecil yang bercita-cita untuk sengsara? Tentu
saja tidak. Mereka akan bercita-cita menjadi dokter atau presiden. Setelah
beranjak dewasa, sebagian dari kita mulai “realistis” dan “mengoreksi”
cita-cita kita sendiri, tapi dengan tujuan dasar yang sebenarnya tidak berubah:
kesenangan diri.
Banyak hal yang bisa menjadi
standar kesenangan kita, mulai dari memiliki keluarga yang harmonis, hingga tabungan
yang berlapis-lapis. Kita juga biasanya memiliki tujuan-tujuan jangka pendek
untuk kesenangan kita, seperti pujian atas penampilan kita hari ini atau
liburan bersama anak-anak di akhir minggu nanti. We tend to avoid pain and pursue
pleasure. Kita cenderung menghindari kesusahan dan mengejar kesenangan,
apapun bentuknya (bagi seorang altruis, kesenangannya terletak pada
keberhasilannya untuk menyenangkan orang lain, bahkan jika ia harus menderita
karenanya!).
Tapi, semua kesenangan itu hanya
sementara. 5 Oktober 2011, dunia menyaksikan seseorang yang memiliki segalanya
namun tak bisa menikmatinya lebih lama karena kehilangan hidupnya. Steve Jobs,
pendiri Apple itu, meninggal dunia di usia yang cukup muda, 56 tahun.
Kecerdasannya tak diragukan lagi, hartanya bahkan mungkin cukup untuk 70
turunan, dan namanya sudah mendunia. Dan, seperti sebuah kisah yang pernah
diceritakan oleh Yesus tentang orang
kaya yang menimbun semua kekayaannya di lumbung lalu berencana untuk
ber-“leha-leha” (baca: bersenang-senang), malam itu juga Tuhan mencabut
nyawanya, tak ada kekayaan di dunia yang bisa mengembalikan nyawanya itu.
Saya bukan ingin mengatakan bahwa
Steve Jobs adalah seperti orang kaya yang mau bersenang-senang tanpa menyadari
bahwa semua hartanya tak berguna jika ia tiada. Saya percaya Steve Jobs
memiliki tujuan hidup yang lebih baik dari sekedar bersenang-senang dengan
kekayaannya. Yang ingin saya katakan adalah bahwa apa yang dialami oleh mantan
CEO Apple Inc. itu bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua, bahwa ada hal-hal
yang lebih penting daripada sekedar mengejar kesenangan pribadi seumur hidup.
Steve Jobs “beruntung” karena memiliki warisan nama baik (oleh raja Salomo,
nama baik dikatakan lebih baik daripada emas/kekayaan). Namanya akan dikenang
oleh seluruh dunia, masuk dalam buku sejarah dunia sebagai salah satu orang
yang mempengaruhi perkembangan teknologi informatika. Bagaimana dengan kita?
Hidup bukan sekedar untuk bertahan hidup!
Kita semestinya mulai
mengevaluasi tujuan hidup kita. Jika tujuan hidup kita hanya sekedar
menghindari kesusahan dan meraih kesenangan (kita biasa menyebutnya,
kebahagiaan), maka kita tak ubahnya seperti orang kaya yang diceritakan oleh Yesus,
dan bahkan seperti binatang! Apakah yang membedakan kita dari binatang, jika
kita hanya hidup untuk… bertahan hidup? Manusia mustahil sederajat dengan
binatang, dan oleh karenanya, ia sudah seharusnya memiliki tujuan hidup yang
lebih tinggi daripada untuk menghindari kesusahan dan mengejar kesenangan.
Kecuali, tentu saja, jika ia adalah penganut Darwinisme.
Lalu seperti apakah tujuan hidup
yang lebih tinggi daripada menghindari kesusahan dan mengejar kesenangan itu? Sederhana
saja: kita harus belajar memiliki tujuan hidup yang transenden. Kita harus
mengerahkan segenap upaya kita untuk mengejar dan menerapkan nilai-nilai
transenden di dalam hidup kita. Apakah nilai-nilai yang transenden itu? Itulah
nilai-nilai ilahi, nilai-nilai Ketuhanan. Ketika tujuan hidup seseorang adalah
mewujudkan nilai-nilai Ketuhanan itu di dalam kehidupannya, maka ia akan avoid
sin and pursue sanctity. Ia akan menghindari dosa dan mengejar
kekudusan—sifat Ilahi itu.
“Jadilah kudus, sebab Aku ini kudus”
(Im. 11:45), demikianlah sabda Pencipta alam semesta kepada sebuah bangsa yang
kecil mungil di sebuah padang gurun, sekian ribu tahun yang lalu. Dari semua
sifat-Nya yang luar biasa itu (ada agama yang mengajarkan bahwa Dia memiliki 99
sifat Ilahi!), Allah hanya meminta umat pilihan-Nya itu untuk meneladani satu
sifat-Nya saja, yakni untuk menjadi kudus. Dia tidak meminta bangsa itu untuk
menjadi bangsa yang kuat dan besar untuk menaklukkan bangsa-bangsa di bawah
dominasi mereka, tidak juga menuntut mereka untuk menjadi bangsa yang kaya dan
memberikan banyak persembahan. Dia hanya meminta mereka untuk menjadi kudus,
sama seperti Dia adalah kudus. Sebuah perintah yang tidak berlebihan,
dibandingkan dengan semua pertolongan dan penyertaan-Nya bagi bangsa itu,
bukan?
Tetapi sayangnya, perintah yang
satu itupun ternyata susah mereka penuhi. Alkitab membeberkan kepada kita kisah
sebuah bangsa yang bolak-balik dihukum Tuhan mereka karena mempersekutukanNya
dengan ilah-ilah lain. Seandainyapun mereka menyembah Allah mereka, mereka
melakukannya sambil melakukan berbagai kecemaran dan kecurangan. Sebagai
konsekuensinya, bangsa kecil yang tegar tengkuk tersebut seringkali diserahkan
Tuhan ke tangan bangsa-bangsa asing. Mereka harus menderita di bawah penjajahan
berbagai bangsa karena ketidaktaatan mereka.
Bertanggung jawab, bukan merasionalisasi!
Sebagai umat yang telah ditebus
Kristus, panggilan kita sama seperti panggilan bangsa Israel: untuk hidup
kudus. Kita tidak diminta untuk menjadi “kepala”, tidak pula diminta untuk
menjadi sehat dan atau kaya. Kita hanya diminta untuk memiliki hidup yang
kudus. Kekudusanlah yang seharusnya menjadi tujuan hidup kita, bukan kenyamanan
hidup ataupun kesenangan-kesenangan pribadi. Namun sayangnya, setali tiga uang
dengan bangsa Israel, kita pun seringkali enggan untuk melakukan kehendak Tuhan
itu, yang disuarakan ulang oleh Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma, “… supaya kamu mempersembahkan tubuhmu
sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah….”
(Rm. 12:1).
Karena takut dengan
kemungkinan-kemungkinan ketidaknyamanan yang akan kita temui jika kita
“berjalan lurus,” seringkali kita menyiapkan “rencana cadangan.” Kita memilih
untuk berkompromi dengan kejahatan. Rencana cadangan kita seringkali adalah
menyiapkan beribu alasan pembenar untuk tidak berjalan lurus. Rasionalisasi
atas kejahatan yang kita kompromikan, itulah yang kemudian kita lakukan.
Tujuannya sederhana: agar kita merasa nyaman melakukannya. Inilah kemunafikan
yang sebenarnya, mengingkari hati nurani dan bahkan firman Tuhan demi
mengamankan dan menyamankan diri. Bahkan saking pandainya kita merasionalisasi,
kejahatan-kejahatan yang kita lakukan bisa nampak sebagai sebuah tindakan
heroik: demi keluarga, demi saudara, demi teman, demi kantor, demi yayasan, dan
demi-demi lainnya. Betapa menjijikkan!
Tahun 2012 konon adalah tahun
yang sangat berat untuk dijalani. Namun demikian, bukan berarti kita sebagai
anak-anak Tuhan memiliki pembenaran untuk melakukan kejahatan. Banyak yang
berpendapat bahwa kejujuran dan keadilan sudah sangat sulit didapati di negeri
ini. Mungkin di tahun ini, keduanya akan makin sulit didapati, dan tanggung
jawab itu ada di pundak kita, jika kita ikut-ikutan untuk berbuat curang dan
tidak adil. Dulu waktu kecil, ketika mendapat nilai ulangan jelek, saya akan
membela diri dengan mengatakan bahwa nilai teman-teman yang lain juga jelek,
bahkan lebih jelek. Jujur dan adilkah saya ketika mengatakan itu? Tidak, karena
saya sengaja mengabaikan nilai teman-teman yang lebih baik. Kita tentu juga
takkan puas jika memiliki anak yang membela diri seperti itu kan? Demikian pula
Bapa di surga juga takkan puas dengan “nilai jelek” kita, hanya karena
orang-orang lain nilainya lebih buruk. Itulah sebabnya, Yesus bersabda tegas, “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama
seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Mat. 5:48). Kita harus
mengejar kesempurnaan itu. Kita harus mengejar kekudusan itu. Ini bukan tugas
yang mudah, bahkan bisa dibilang takkan selesai seumur hidup, namun bukankah
Dia sudah memberikan Penolong bagi kita, yakni Roh-Nya sendiri yang bekerja
dengan kuat di dalam kita?
Tentu dalam perjalanan hidup
kita, akan selalu ada dosa yang kita lakukan. Mungin juga, akan ada makin
banyak perbuatan dosa yang tersingkap sejalan dengan pertumbuhan rohani kita.
Artinya, apa yang dulunya kita sangka bukan dosa atau hanya hal sepele (mis.
Mengumpat, menjelajah situs porno, merokok, dsb.), kemudian kita disadarkan
lewat renungan atau khotbah, bahwa itupun tidak disukai Tuhan, alias dosa. Jika
sudah demikian, yang perlu kita lakukan bukanlah menyembunyikan dosa itu atau
mencari pengkhotbah lain yang perkataannya lebih sedap didengar, melainkan
membuka diri di hadapan Tuhan, mengakuinya, dan meminta pertolongan-Nya untuk
melepaskan diri dari tabiat dosa itu. Kecuali Yesus, tidak ada satu manusiapun
yang sempurna di dunia ini, dan Dia, Sang Arsitek Jiwa (meminjam ungkapan pak
Stephen Tong), tahu itu. Itulah sebabnya, kita tak perlu berlagak sempurna di
hadapan Tuhan, juga tak perlu takut menampakkan ketidaksempurnaan kita.
Tak hanya di hadapan Tuhan, kita
juga tak perlu berlagak sempurna di hadapan jemaat-Nya. Saya selalu berpikir
bahwa gereja atau persekutuan Kristiani bukanlah perkumpulan orang-orang suci,
melainkan perkumpulan orang-orang berdosa yang disucikan oleh darah Kristus.
Kita bukan perkumpulan orang-orang kudus, tapi perkumpulan para pendosa besar
yang dikuduskan lewat Firman-Nya. Kita tak perlu takut menunjukkan
ketidaksempurnaan kita. Tentu saja, kita juga harus menunjukkan kesungguhan
untuk menjadi anak-anak Tuhan yang lebih baik. Kita harus belajar untuk
bertanggung jawab, bukan lagi mengambil sikap kekanakan dan merasionalisasi
dosa/kejahatan kita. Saya suka dengan perkataan DR. Larry Crab dalam bukunya,
“Konseling yang Efektif dan Alkitabiah,” mengenai kemunafikan. Lebih baik
munafik terhadap diri sendiri daripada munafik terhadap firman Tuhan. Orang
Kristen seharusnya menjadi orang-orang yang munafik—yang menyangkal—terhadap
dirinya sendiri, demi menghidupi firman Tuhan.
Selamat menapaki hari-hari di
tahun 2012 ini. Biarlah kiranya hidup kita menjadi hidup yang senantiasa
berkenan di hadapan Tuhan, hidup yang kudus, hidup yang lurus, dan hidup yang
benar. Tuhan memberkati kita semua. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar