Tanggal 11 Juli nanti, Jakarta
akan menyelenggarakan pesta demokrasi, alias Pemilihan Gubernur Periode
berikutnya. Pilkada ini akan menjadi “pesta” yang lebih semarak, khususnya oleh
jumlah pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang telah siap berlaga. Ya,
jumlah kontestan Pilgub DKI kali ini memang cukup banyak, yakni enam pasangan
calon. Selain dari incumbent (Fauzi
Bowo – Nachrowi Ramli), ada pula Joko Widodo – Basuki Tjahaja Purnama, Hidayat
Nur Wahid – Didik J Rachbini, Alex Noerdin – Nono Sampono, Hendardji Soepandji
– Ahmad Riza Patria, dan Faisal Basri – Biem Benyamin. Dua pasangan terakhir
juga unik, karena merupakan calon independen (tanpa partai pengusung).
Ini akan menjadi pilgub kedua
bagi DKI Jakarta setelah era penunjukan langsung berakhir. Sebagai pengingat,
pilgub sebelumnya dimenangkan oleh pasangan Fauzi Bowo – Prijanto. Rival
Foke—panggilan untuk Fauzi Bowo—pada waktu itu adalah Adang Daradjatun, mantan Wakapolri.
Adang adalah suami dari Nunun Nurbaeti, yang saat ini menjadi tersangka kasus
suap pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Miranda Goeltom. Entah karena
trauma dengan kepemimpinan dari kalangan militer atau terhanyut oleh sesumbar
Foke yang mengaku dapat mengatasi permasalahan banjir di Ibukota RI dengan
memamerkan gelar doktor dari Belanda dan slogan “serahkan pada ahlinya!”
tersebut, mayoritas warga DKI pun memilih pria berkumis itu sebagai pemimpin
mereka.
Saya tidak memilih Foke pada
pemilihan terdahulu. Alasannya sederhana saja: saya belum menjadi warga
Jakarta. Suatu hal yang patut disyukuri, karena itu berarti saya tidak salah
memilih. Sama halnya saya bersyukur tidak memilih SBY pada dua Pemilu terakhir.
Bagi saya, dia itu “hasil karbitan,” dan negeri seperti inilah yang dihasilkan
dari seorang pemimpin yang tak punya pengalaman dalam dunia politik. Karena
berangkat dari kemiliteran, SBY mungkin lupa, bahwa di dalam politik, tak semua
bawahan akan tunduk begitu mendengar instruksinya. Ada “tawar-menawar” di sana.
Sepertinya, tawar-menawar itulah yang menjerat SBY sehingga kepemimpinannya tak
bisa berjalan dengan maksimal. Di era diktator seperti Suharto, politik
tawar-menawar ini mungkin bisa diminimalisir, namun tidak di era reformasi.
Semua memiliki kedudukan yang setara dan bisa sewaktu-waktu saling menjatuhkan.
Kembali ke Pilgub DKI, saya pasti
akan meluangkan waktu untuk memilih calon yang saya anggap paling mumpuni dan
telah teruji dalam kepemimpinan dan dunia politik. Saya akan memilih pasangan
calon yang tak hanya tahu liku-liku birokrasi, namun juga tahu bagaimana
memakainya untuk menyejahterakan rakyat—dan bukan malah “menjual” mereka demi
mempertebal dompet sendiri. Meskipun mungkin saja orang yang saya pilih tidak
memenangkan pilkada kali ini, setidaknya saya telah memilih sesuai dengan akal
budi dan hati nurani. Kalaupun hari itu tidak libur, saya akan ambil jatah cuti
agar bisa memilih calon pemimpin Ibukota RI ini. Setidaknya, itulah kontribusi
saya bagi Jakarta. Itulah bentuk “balas jasa” saya kepada kota yang telah rela
saya tinggali ini. Semoga pasangan calon yang saya pilih benar-benar bisa
mendulang suara yang banyak untuk bisa memenangkan Pilkada DKI 2012 nanti.
Seandainya saya bukan warga
Jakarta, saya mungkin hanya bisa memberikan semangat kepada warga kota
metropolitan itu untuk tak segan memberikan suara mereka kepada pasangan calon
yang paling tepat untuk memimpinnya. Akan tetapi, saat ini saya adalah salah
satu calon pemilih dalam Pilgub DKI. Saya tidak akan sekedar memberi semangat,
tapi juga berangkat ke Tempat Pemilihan Suara untuk ikut membuat pilihan demi
perikehidupan kota Jakarta yang lebih baik di masa mendatang. Bisa dibilang,
baik-buruknya masa depan kota ini bergantung pula di pundak saya. Tentu saja,
selain lewat memberikan suara, ada banyak hal lain yang bisa saya kerjakan
sebagai wujud konstribusi saya bagi Jakarta.
Akan tetapi, bisa dikatakan pula
bahwa pemberian suara lewat pilkada seperti ini merupakan kontribusi terbesar
yang bisa saya berikan sebagai warga awam yang “numpang hidup” di kota ini.
Bahkan bagi saya, ikut memilih dalam Pilgub DKI kali ini bukanlah pilihan,
melainkan sudah menjadi tanggung jawab moral dan sosial saya sebagai salah satu
penduduk kota. Golput, alias tidak memilih, mungkin bisa dilakukan sebagai
tindakan civil disobedience, namun
tidak di dalam pilkada yang “ramai” dengan enam pasangan calon ini.
Lagipula, umat Tuhan tidak pernah
mendapat legitimasi untuk menolak berpartisipasi dalam pembangunan dan upaya
penyejahteraan rakyat, sekalipun mereka berada dalam “kota pembuangan.”
Perintah Tuhan lewat nabi Yeremia beribu tahun yang lalu pun masih relevan
hingga saat ini, “Usahakanlah kesejahteraan kota
ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab
kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu”
(Yeremia 29:7). Mari memilih, kawan, untuk Jakarta yang lebih sejahtera! J