Laman

Berkualitas dan Bertekun - Eksposisi Yusuf (2)

Yusuf mungkin terus bertanya-tanya, kapankah Tuhan akan merealisasikan janji-Nya. Tapi dia tidak sekedar bertanya. Yusuf mengerjakan tiap tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya dengan baik. Yusuf bertekun di dalam "penderitaan"-nya. Pada satu titik, majikannya, tuan Potifar, akhirnya menyimpulkan bahwa semua hal yang dikerjakan Yusuf diberkati Tuhan (baca: selesai tepat waktu, hasil maksimal, dst.), kemudian mengangkatnya menjadi orang kepercayaannya. Yusuf menjadi orang kedua di bawah "bos" rumah itu, dan itu artinya, semua orang harus mau melakukan semua yang diperintahkan oleh Yusuf. Marveolus!


Semua pekerjaan yang dilakukan dengan excellent dan diberkati Tuhan, pasti membuahkan hasil yang "marvelous!," seperti yang sering dikatakan si Darjit dalam serial Upin-Ipin. What we sow is what we reap. Apa yang kita tabur, itulah yang kita tuai. Prinsip sederhana ini berlaku untuk setiap hal yang dilakukan di bawah matahari. Yusuf, karena imannya kepada Allah yang telah "menjanjikan berkat" melalui mimpinya di masa kanak-kanak, melakukan semua pekerjaannya dengan luar biasa. Paradigma kita terhadap Allah yang kita sembah juga menentukan kualitas pekerjaan kita.

Berikutnya, kita harus mengingat, bahwa kesuksesan Yusuf tidak terjadi dalam waktu singkat. Yusuf setidaknya bekerja menjadi budak Potifar selama 11 tahun tanpa henti! Di masa itu, seorang budak yang sudah tidak berguna dan sering membuat keributan atau menyusahkan majikan akan dijual lagi, kalau tidak dibunuh. Ingat juga bahwa Potifar sampai-sampai bisa mengenali Yusuf dan kinerjanya, di antara puluhan bahkan mungkin ratusan budaknya yang lain. Hal itu menunjukkan bahwa kinerja Yusuf memang menonjol dan stabil selama bertahun-tahun.

Kunci keberhasilan Yusuf dalam pekerjaannya adalah komitmen terhadap kualitas dan ketekunan. Berkat Tuhan tentu saja merupakan faktor utama. Bagaimana dengan pekerjaan kita? Apakah Tuhan memberkati tugas dan tanggung jawab yang kita jalankan? Apakah kita sudah memberikan kemampuan terbaik kita dalam tugas-tugas yang diembankan ke pundak kita? Apakah kita bertekun dalam mengerjakan tanggung jawab kita? Sudahkah "Potifar" kita mengenali kualitas pekerjaan kita yang diberkati Tuhan?

"Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia."
-Kolose 3:23-

Antara Visi dan Realita - Eksposisi Kisah Yusuf (1)

Siapa yang tidak pernah mendengar tentang kisah "heroik" dari Yusuf, budak Ibrani yang menjadi Perdana Menteri Mesir? Di Alkitab, kisah ini diceritakan dalam kitab Kejadian pasal 39. Secara singkat, diceritakan bahwa anak yang malang itu dijual oleh saudara-saudaranya kepada pedagang budak, yang kemudian membawanya untuk dijual di Mesir, lalu berakhir sebagai seorang budak di rumah Potifar, seorang kepala pengawal raja Firaun.

Anak muda yang belum pernah mengenal pekerjaan tangan itu tiba-tiba harus menjadi seorang budak yang tenaganya diperas habis-habisan untuk mengerjakan apapun yang diperintahkan tuannya. Budak tidak sama seperti pembantu yang memiliki hak atas hidupnya. Nyawa si budak bergantung penuh pada sang majikan. Budak juga tak boleh mengeluhkan pekerjaannya yang berat, apalagi meminta waktu istirahat. Dalam sebagian kasus, seorang budak juga tidak boleh terlihat sedih atau letih, pokoknya tidak boleh membawa mood yang jelek bagi tuannya.

Nah, Yusuf yang bisa dibilang masih remaja, yang konon di jaman sekarang disebut sebagai "ababil," alias ABG (Anak Baru Gedè) labil, ternyata meresponi penderitaan yang dia alami dengan luar biasa. Saya membayangkan jika berada di posisinya Yusuf tersebut, pastilah saya ogah-ogahan mengerjakan tugas-tugas yang dibebankan kepada saya dan mencari cara-cara untuk melarikan diri. Tapi, apa yang dilakukan oleh Yusuf? Alkitab memberikan keterangan bahwa ternyata dia mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik, bahkan dengan sangat baik, di dalam pimpinan dan berkat Tuhan.

Kita tidak tahu apakah yang membuat Yusuf bisa memiliki respon yang luar biasa "tenang" seperti itu. Mungkin Tuhan menemuinya di dalam mimpi selama perjalanan menuju Mesir. Mungkin juga responnya itu merupakan kristalisasi pergulatan imannya sepanjang perjalanan itu. Ia bermimpi bahwa orang tua dan saudara-saudaranya akan menyembah dia, tapi realitanya justru sangat berbeda: ia dijual oleh kakak-kakaknya dan terbuang ke negeri yang lain. Pastinya, Alkitab menyaksikan bahwa Yusuf tidak mengeluh atau mencoba melarikan diri.

Bagaimana dengan kita? Mungkin sebagian kita mendapat visi dari Tuhan untuk menjadi A atau B, namun sementara ini, faktanya seolah-olah bertolak belakang. Ini adalah waktu yang sangat tepat untuk mempergumulkan kembali panggilan hidup kita di hadapan Tuhan. Benarkah Dia menginginkan aku menjadi ini atau itu? Jika benar, apa janji-Nya yang mendasari panggilan itu? Atau, mungkinkah itu hanya ambisi pribadiku saja?


Selamat bergumul!

Selamat Datang di Jaman Teks!




Berapa kali dalam sehari Anda melakukan panggilan telepon pribadi? Berapa perbandingannya dengan SMS atau BBM yang Anda kirimkan? 1:100 mungkin? Atau lebih? Ya, kita sekarang telah memasuki era teks! Milyaran teks berseliweran di sekitar kita setiap hari. Setelah koran atau media cetak, kita punya SMS, BBM, YM, FB, Twitter, dan masih banyak lagi yang menggunakan tulisan sebagai moda interaksi.

Teks atau tulisan memang menakjubkan! Bagaimana tidak, rangkaian huruf-huruf yang tadinya tak bermakna kemudian bisa memberikan informasi tertentu kepada kita. Teks, dalam dunia arkeologi, sering dijadikan sebagai penanda jaman. Masa teks paling tua yang pernah ditemukan, itulah yang disebut masa sejarah.

Teks bisa mempersatukan banyak orang, tapi juga bisa memecah belah sebuah komunitas. Revolusi Mesir kemarin konon bisa berlangsung sukses berkat berbagai “kicauan” di Twitter, sampai-sampai Pemerintah yang berkuasa waktu itu memblokir salah satu media sosial terbesar tersebut. Sebaliknya, kericuhan yang terjadi di Ambon beberapa waktu terakhir konon dipicu oleh sebuah SMS hoax. Dan masih banyak lagi.

Saya percaya, bahwa teks—bersanding dengan bahasa—adalah anugerah Tuhan yang sangat luar biasa bagi manusia. Anugerah berbeda dengan hadiah yang bisa kita dapatkan dengan usaha sendiri. Anugerah adalah hadiah yang nilainya jauh di atas kemampuan kita. Oleh karenanya, anugerah tidak semestinya disia-siakan, melainkan diolah sedemikian rupa agar menjadi berkat bagi sesama. Keselamatan kita harus dikerjakan—mengutip Filipi 2:12—dengan sungguh-sungguh agar tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain. Demikian pula dengan anugerah umum bagi semua manusia, seperti waktu dan bahasa.

Dengan demikian, kita yang sudah melek huruf ini sudah semestinya mengolah tulisan-tulisan kita agar membawa berkat bagi orang lain, mengolahnya dengan serius untuk memperkenalkan “Anugerah Ultimat” (keselamatan) kepada semua orang. Selamat datang di jaman teks. Marilah kita bersama-sama belajar untuk mengolah teks-teks kita sebaik mungkin, banyak membaca referensi tentang bagaimana mengolah teks dengan baik dan memikat pembaca, dan tentu saja: banyak menulis! Tuhan memberkati.

Mengalahkan Kejahatan dengan Kebaikan


Roma 12:21 Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!



Dalam film-film silat Mandarin jaman dulu, kebanyakan ceritanya berkisar pada tokoh utama yang ketika kecil terpaksa harus kehilangan keluarganya karena dibunuh oleh penjahat yang bengis. Anak kecil tersebut kemudian mendalami kungfu atau jurus-jurus silat tertentu sampai menjadi seorang pesilat yang tangguh, dan biasanya tujuannya hanya satu: untuk membalas dendam.


Balas dendam, ya, siapa sih yang tak ingin dendamnya dibalaskan? Ketika ada orang yang menyakiti kita atau keluarga kita, atau orang-orang yang memiliki kedekatan dengan kita, entah bagaimana, muncul perasaan jengkel, marah, dan benci kepada orang-orang yang telah berbuat zalim tersebut. Perasaan ini rasanya seperti api yang berkobar-kobar di dalam hati kita, sehingga hati kita menjadi panas setiap kali berpapasan atau bertemu atau bahkan mendengar nama si zalim itu disebut.


Tapi sebenarnya siapa sih yang dirugikan dengan adanya dendam itu? Pasti kita sendiri kan? Itulah sebabnya ia sering disebut "sakit hati." Hati yang tadinya sehat dan baik-baik saja, kemudian menjadi sakit karena perkataan atau perbuatan seseorang yang menyerang ataupun merugikan kita. Hati kita pun terluka, menjadi sakit rasanya. Dan, karena dosa, kita secara salah berpikir bahwa satu-satunya cara agar hati kita itu sembuh adalah dengan membalas dendam. Kita ingin membuat si zalim itu merasakan rasa sakit yang seperti kita alami, bahkan kalau perlu kita gandakan rasa sakit itu. Kita pikir, hati kita akan dipuaskan dan dipulihkan setelah itu, tapi faktanya tidak.


Contoh nyata adalah tawuran yang terjadi antar sekolah. Siswa sekolah A mungkin akan merasa puas ketika pada suatu kesempatan mereka berhasil memenangkan tawuran itu. Akan tetapi, siswa sekolah B pastinya tidak tinggal diam. Kelak, mereka akan membuat serangan yang lebih hebat, bahkan mengajak sekutu dari sekolah lainnya lagi. Tawuran berikutnya takkan terhindarkan, dan perdamaian itu takkan pernah tercapai. Menyakiti orang yang menyakiti kita takkan menyelesaikan masalah, tetapi justru memperpanjang durasinya.


Pada dasarnya, ketika kita membalas kejahatan dengan kejahatan, itu artinya kita sudah kalah dengan kejahatan. Itulah yang dikatakan firman Tuhan. Ketika seorang tokoh utama membunuh musuh yang telah membunuh kaum keluarganya, sebenarnya ia menjadikan diirnya sama jahat dengan si musuh. Tiap negara pasti punya aturan hukum yang akan menghukum setiap penjahat atas kejahatannya, sehingga apa yang dilakukan oleh si tokoh utama bisa dikatakan sebagai tindakan "main hakim sendiri." Lagipula, apa yang akan terjadi seandainya si musuh ternyata memiliki keturunan yang kemudian juga ingin membalas dendam atas kematian ayahnya? Pasti film-nya bisa sepanjang sinetron "Tersanjung" atau "Cinta Fitri!"


Rasul Paulus menuliskan kepada jemaat di Roma yang pada masa itu sedang mengalami penganiayaan yang hebat karena iman mereka agar tidak kalah dengan kejahatan, melainkan mengalahkan kejahatan itu dengan kebaikan. Hal ini sama dengan perintah Tuhan Yesus untuk memberikan pipi kanan kita setelah pipi kiri kita ditampar. Artinya, kita sebagai orang beriman tidak dianjurkan untuk membalas dendam, yang sama artinya dengan membalas kejahatan dengan kejahatan. Pembalasan dendam adalah bukti bahwa kita telah dikalahkan oleh Iblis yang menggoda hati kita untuk melakukan kejahatan.


Nah, bagaimana caranya agar kita dapat mengalahkan kejahatan? Firman Tuhan menyebutkan satu-satunya cara, yakni dengan kebaikan. Ada sebuah cerita tentang seorang pemungut pajak yang sangat curang bernama Zakheus, yang kemudian berubah 180 derajat menjadi seorang yang baik. Apa yang membuatnya berubah? Salah satunya adalah karena Tuhan Yesus telah menunjukkan kebaikan kepadanya dengan singgah di rumahnya. Sepanjang sejarah bangsa Israel, seorang tukang pajak dianggap pengkhianat bangsa, dan oleh karena itu sangat dijauhi karena dianggap berkomplot dengan penjajah Romawi. Jangankan seorang Guru besar seperti Tuhan Yesus, masyarakat biasa pun enggan bergaul dengannya.


Apa yang kemudian terjadi setelah Tuhan Yesus singgah di rumah Zakheus? Pertobatan! Hal itu menunjukkan bahwa kejahatan-kejahatan Zakheus telah lenyap, dikalahkan oleh kebaikan Tuhan Yesus yang mau menemui dia, yang menganggap dia berharga. Seandainya Tuhan Yesus tidak singgah di rumah Zakheus itu, mungkin dia akan tetap menjadi pemungut pajak yang curang dan memeras rakyat. Tuhan Yesus telah mengalahkan kejahatannya itu dengan kebaikan.


Bagaimana dengan kita? Adakah di antara kita yang masih suka menyimpan dendam? Kita harus belajar menanggalkan dendam itu, sakit hati itu. Sebaliknya, kita harus belajar untuk menunjukkan kebaikan kepada orang-orang yang mungkin menjahati kita. Siapa tahu, orang itu justru akan bertobat karena kita, dan bahkan menjadi sahabat terbaik kita sampai tua? Kalaupun dia tidak bertobat seperti Zakheus, paling tidak kita telah mencegah meluasnya kejahatan. Dan seperti sabda Tuhan Yesus, "Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah" (Matius 5:9), maka kita yang telah mengupayakan perdamaian dengan kebaikan kita akan menjadi orang-orang yang berbahagia, karena diakui sebagai anak-anak Allah! Selamat mengalahkan kejahatan dengan kebaikan.