Laman

Siap(a)kah saya ini, Tuhan?

Sebagai warga negara yang baik, Anda pasti tahu siapa itu Jenderal Besar Soedirman. Bagaimana jika saya menuliskan nama John Myung? Pasti tak banyak yang tahu, karena hanya penikmat musik cadas saja yang mengenal pemain bas grup rock Dream Theater itu. Anda mungkin bertanya-tanya, mengapa ada dua tokoh yang sama sekali berbeda latar belakang, visi, maupun kemampuan saya sandingkan di dalam satu paragraf. Atau, Anda mungkin malah tak sadar dan tak peduli, hehehe.

Baiklah, daripada--setidaknya salah satu dari--sidang pembaca berlama-lama menyimpan rasa penasaran, saya akan memberikan kata kunci, mengapa kedua tokoh tersebut ada di paragraf pembukaan: 24 Januari. Ya, hari ini, dua puluh empat Januari dua ribu empat belas, almarhum Jenderal Besar Soedirman, John Myung, dan saya berulang tahun. Tentu saja, sayalah yang paling muda (salah satu cara agar selalu nampak muda adalah bersama orang-orang yang lebih tua, iya kan?), hehehe.

Pagi ini, saya diberkati oleh firman Tuhan dari Matius 7:12-23. Bagian tersebut diawali dari "Golden Rule" Tuhan yang sangat terkenal, "Apapun yang kamu inginkan orang perbuat padamu, perbuatlah demikian kepada orang lain." Bayangkan seandainya setiap orang di muka bumi ini menganut "Aturan Emas" itu. Mereka yang duduk di dalam bus dan KRL, misalnya, akan segera berdiri dan mempersilakan penumpang wanita atau yang lebih tua karena sadar, bahwa merekapun ingin diperlakukan demikian. Pejabat pemerintahan di daerah-daerah rawan bencana akan berupaya semaksimal mungkin untuk mengurangi kemungkinan bencana karena sadar, mereka pasti juga tak ingin menjadi korban bencana akibat kelalaian pemerintah. Dan seterusnya.

Akan tetapi, siapa sih yang sanggup untuk bertekun di dalam kebaikan ala Aturan Emas itu? Saya pun rasanya tak sanggup. Seperti yang tertulis dalam Amsal, "Banyak orang menyebut dirinya baik, tetapi orang yang setia, siapakah yang menemukannya?" Saya hanya sanggup sesekali saja berbuat baik kepada orang lain. Mungkin ada yang sering berbuat baik, tetapi selalu? Sanggupkah kita selalu melakukan Aturan Emas itu? Mungkin itu sebabnya, Sang Guru Agung mengibaratkan hal itu sebagai pintu yang sesak dan jalan yang sempit, yang sedikit dilalui orang.

Saya sendiri mendapati lebih sering melalui pintu yang lebar dan jalan yang luar itu. Pintu dan jalan keegoisan. Jika dipersentase, mungkin 99% isi pikiran saya adalah tentang diri sendiri dan keluarga, bukan tentang orang lain. Rasanya saya lebih sering memilih pintu dan jalan yang ditawarkan oleh nabi-nabi kawe, alias non-ori, alias palsu itu. Mereka memberitakan hal-hal yang baik tentang kita, tetapi bukan Kabar Baik. Mereka menawarkan jalan-jalan menuju sukses, kaya, memiliki anak cerdas, dan seribu satu rute yang sesungguhnya ujungnya sama: kemuliaan diri sendiri.

Saya berpikir, jangan-jangan selama ini saya juga adalah bagian dari nabi-nabi palsu, yang mengerjakan pelayanan dan segala macam kegiatan pendukung kerohanian, namun sama sekali bukan demi mengerjakan kehendak Bapa, melainkan karena saya merasa nyaman di dalamnya. Jangan-jangan, pelayanan ini sekedar pelarian saya saja? Jangan-jangan kelak ketika saya berseru, "Tuhan, Tuhan, bukankah aku telah mengerjakan ini dan itu demi nama-Mu?" Tuhan akan menghardik saya dan menjawab, "Kamu siapa? Aku tak pernah mengenalmu. Pergi dari hadapanKu!"

Hari ini, saya merenungkan kembali banyak hal yang telah saya alami, terutama sejak pertama kali saya menjadi Kristen di kelas dua SMA. Sungguh sebuah perjalanan hidup yang panjang dan berliku di dalam Tuhan. Saya mengingat kembali, bagaimana pengalaman-pengalaman bersama Tuhan membuat hidup saya makin diperlengkapi. Iman saya makin dikuatkan. Namun di sisi lain, panggilan yang makin tajam gambarannya itu menumbuhkan ketakutan tersendiri, meski pimpinan dan "pintalan demi pintalan"-Nya nampak nyata membentuk pola di dalam hidup saya. Renungan dari Our Daily Bread hari ini juga mempertajam panggilan itu. Duh, siap(a)kah saya ini, Tuhan?

Biarkan Jokowi Bekerja

Jokowi adalah fenomena. Gubernur baru Jakarta yang secara dramatis dicalonkan, bertarung, dan terpilih sebagai pemimpin baru Ibukota bersama Ahok ini nyaris tak pernah lepas dari sorotan kamera (dan mikrofon) para pewarta. Ya, Jokowi telah menjadi "media darling," dan itu bukan tanpa alasan. Secara ekonomi, pemberitaan tentang Jokowi dan Ahok memiliki potensi besar mendulang jumlah pembaca, baik secara cetak maupun daring.

Apa yang membuat Jokowi begitu disukai masyarakat? Saya pikir sudah melimpah jawabannya, tinggal di-googling saja. Yang jelas, ada satu hal yang menonjol dari ayah dua putri ini: giat bekerja.

Ya, orang-orang dan media massa mungkin menyebutnya dengan istilah yang sangat terkenal itu: "blusukan." Akan tetapi, tidak semua orang yang blusukan itu benar-benar sedang bekerja. Dalam konteks Jokowi, blusukan cuma salah satu metode (utama)nya dalam bekerja, strateginya memetakan permasalahan di lapangan.

Sejauh pengamatan di lapangan dan di dunia maya, ada satu perbedaan besar antara kondisi Ibukota sebelum dan sesudah Jokowi menjabat. Di era "pra-Jokowi," hampir semua warga Jakarta menyebut nama Foke tiap kali menemui banjir atau macet. Dalam konteks negatif tentunya. Masyarakat meminta Foke yang kala itu menjabat sebagai Gubernur untuk (lebih giat lagi) bekerja. Dalam bahasa yang lebih sederhana, ada keraguan bahwa Foke benar-benar bekerja, mengingat nyaris tak ada dampak nyata yang bisa dirasakan warga.

Hal yang berbeda sama sekali terjadi di era Jokowi. Macet dan (apalagi) banjir memang belum hilang dari daftar permasalahan Jakarta, namun setelah lebih dari satu tahun menjabat hingga saat ini, suara-suara masyarakat yang meminta pertanggung jawaban Gubernur hampir tak terdengar lagi. Mereka (dan saya) tahu, Gubernur kali ini bukan Gubernur-gubernuran, melainkan pemimpin Ibukota yang benar-benar bekerja, dan bahkan bekerja dengan giat.

Tentu saja, suara-suara sumbang selalu ada, bahkan di satu sisi, perlu ada. Ada pula kebijakan Jokowi yang saya pikir kurang tepat, seperti larangan memakai kendaraan pribadi ke kantor (atau kewajiban naik angkutan umum). Meski demikian, dukungan warga Jakarta (bahkan warga kota-kota lainnya di Indonesia!) terus mengalir kepada Jokowi. Beberapa kali saya mendapati komentar di media daring dari orang-orang di Kota X atau Provinsi Y yang menginginkan "tukar guling" kepala daerah dengan Jokowi.

Tak hanya di dalam negeri, Jokowi pun diberitakan di luar negeri. Sebuah portal berita India bahkan terang-terangan menjadikan Jokowi sebagai model Presiden India berikutnya. Malaysia pun menginginkan (sosok seperti) Jokowi. Pola kerjanya menjadi pembahasan di Universitas bergengsi di Amerika, Princeton University. Wakilnya, si Ahok, pun diwawancara Al Jazeera karena (barangkali) pertama kali di dunia, ada kepala daerah yang merekam dan mengunggah semua kegiatannya sehari-hari di Youtube Pemprov DKI. Jokowi benar-benar adalah fenomena.

Apesnya, masa jabatan Jokowi berhimpitan dengan jadwal pesta demokrasi di negeri ini: Pileg dan Pilpres 2014. Melejitnya popularitas Jokowi menjadi semacam petasan yang disulut di dekat telinga para capres yang telah mendeklarasikan diri itu. Apalagi, lembaga-lembaga survey yang bermunculan bak jamur di musim hujan itu memasukkan nama Jokowi ke dalam daftar capres--sekalipun Jokowi maupun PDIP belum pernah sekalipun bicara soal Pilpres. Ditambah pula dengan media yang dengan gegap gempita mengusung Jokowi dalam konteks Pilpres tersebut. Demi oplah dan rating Alexa tentunya.

Maka, semua mata dan telinga pun mengarah kepada Jokowi (dan PDIP). Semua ingin mendapatkan informasi dan pernyataan terbaru darinya. Jokowi lantas menjadi komoditas politik di negeri ini. Tim sukses (atau meminjam istilah wartawan istana, Tim Hore) para kandidat capres pun merasa perlu untuk "sedikit mengerem" popularitas Jokowi. Mereka tahu, jika benar terjadi Jokowi dijadikan sebagai kandidat calon presiden dari PDIP, perjuangan mereka akan mendekati sia-sia. Rakyat sudah terlanjur "kepincut" dengan Jokowi, yang dengan giatnya bekerja, menjanjikan perubahan nyata, daripada para kandidat capres yang notabene adalah "wajah-wajah lama" dalam kancah perpolitikan kita. Wajah-wajah lama yang tak begitu nyata kinerjanya.

Demikianlah Jokowi, mantan pengusaha mebel yang kemudian menjadi Walikota Solo, dan sekarang ini, Gubernur DKI Jakarta, "diberondong" dari berbagai sisi. Awak media tak henti-hentinya menanyakan kesiapannya menjadi calon presiden, pengamat-pengamat tak pernah jengah menilai Jokowi dalam konteks bangsa, dan lembaga-lembaga survey senantiasa menyertakan Jokowi sebagai salah satu kandidat capres setelah SBY, seolah-olah hasil survey mereka takkan valid tanpa ada nama Jokowi di dalamnya. Jokowi bak objek di bawah mikroskop yang sama-sama diamati.

Lantas bagaimana dengan Jokowi sendiri? Sejauh yang saya lihat, dia tak pernah ambil pusing dengan segala rumor atau perbincangan tentang kemungkinan dirinya dijadikan kandidat capres partainya. PDIP pun sejauh ini terkesan menjaga suasana kondusif saja untuk Pileg 9 April nanti. Jokowi tetap bekerja seperti biasa, bahkan lebih giat lagi. Ketika mereka yang menyerangnya dengan segala cara dan strategi mungkin sedang tertidur nyenyak, sang Gubernur ini misalnya, menyambangi dan memberikan bantuan kepada para pengungsi bencana banjir di wilayahnya. Ia tak ambil pusing dengan segala hasil survey yang melambungkan namanya. Yang jelas, ia diikuti oleh awak media, bukan mengundang mereka untuk mengikutinya.

Ya, Jokowi sejauh ini masih tetap sama, tetap giat bekerja, dan saya yakin masih bisa mempercayai ketulusan dan kerja giatnya untuk warga Jakarta. Ada sebuah pepatah lama yang mengatakan bahwa jika anda tidak bisa mengatakan sesuatu hal yang baik, ada baiknya anda diam. Saya rasa ungkapan ini tepat pula kita terapkan dalam konteks bencana banjir yang sedang melanda ibukota saat ini: Jika anda tak bisa atau tak ingin membantu Jokowi serta para relawan meringankan beban para pengungsi serta mengurai permasalahan pelik Jakarta, maka ada baiknya anda diam saja. Dan Biarkan Jokowi bekerja.

25 Kata Sandi Terburuk di 2013

Sebuah perusahaan pengembang aplikasi pengelolaan kata sandi, SplashData, merilis daftar 25 kata sandi terburuk selama tahun 2013. Daftar ini mereka dasarkan pada data berisi jutaan kata sandi yang diretas sepanjang tahun lalu. Berikut daftar 25 kata sandi paling banyak dicuri sepanjang tahun 2013. Apakah milik Anda salah satu di antaranya?

1. 123456
2. password
3. 12345678
4. qwerty
5. abc123
6. 123456789
7. 1118111
8. 1234567
9. iloveyou
10. adobe123
11. 123123
12. admin
13. 1234567890
14. letmein
15. photoshop
16. 1234
17. monkey
18. shadow
19. sunshine
20. 12345
21. password1
22. princess
23. azerty
24. trustno1
25. 000000

Nah, itu semua daftarnya. Jika ada di antaranya yang merupakan kata sandi Anda di internet, segeralah ganti dengan kata sandi yang lebih aman. Gabungan huruf, angka, dan tanda baca (misalnya, "5by-4n1") biasanya sudah cukup aman digunakan sebagai kata sandi.

Salam internet (ny)aman!

Bonus:



Sumber: TIME