Laman

Cinta Itu Sehidup, Bukan Semati

Pada masa-masa natal dan tahun baru seperti sekarang ini, salah satu tradisi di keluargaku adalah berkumpul di desa dan pergi ke "sareyan," alias pemakaman. Jangan salah sangka, kami bukannya mau meminta berkah atau pesugihan lho, melainkan sekedar membersihkan makam "leluhur" kami. Aku masih ingat, bapak dan ibu biasa "memperkenalkan" kami, anak-anak mereka, dengan nama-nama yang ada di batu nisan.

"Itu kakek buyutmu, kakeknya bapak," lalu, "yang di sebelahnya itu nenek buyutmu," dan seterusnya. Aku sih cuma manggut-manggut saja. Dari antara para "leluhur" itu, yang paling tua yang pernah kukenal selama masih hidup paling cuma dua, yang pertama kakek buyut dari keluarga bapak, yang satunya lagi nenek buyut dari keluarga ibu. Ibunya ibu dan bapaknya bapak bahkan sudah meninggal waktu aku kecil.

Nah, yang paling kuingat dari makam-makam mereka adalah, biasanya mereka dimakamkan berdampingan dengan suami/istri mereka semasa hidupnya. Dan kalau tidak salah, itu hal yang sudah lazim di seluruh dunia kan? Bahkan aku pernah baca tentang tradisi di India, yang kalau sang suami mati, istrinya juga harus menemani, alias ikut dikremasi (dibakar) bersama jenazah suaminya. Ngeri banget!

Banyak orang suka dengan istilah "cinta sehidup-semati," sampai-sampai ketika mati pun inginnya dimakamkan bersebelahan dengan makam orang yang disayanginya. Tapi pagi ini aku mendapati sebuah fakta yang mengejutkan dari kisah kematian Yakub. Sebagaimana dikisahkan oleh Alkitab, "cinta mati"-nya Yakub adalah Rahel, anak Laban, sampai-sampai bekerja tujuh tahun demi mendapat Rahel pun dirasanya seperti beberapa hari saja.

Namun yang mengherankan adalah, kitab Kejadian 49:29-33 menceritakan dengan gamblang, bagaimana Yakub berpesan agar jenazahnya dikuburkan di tanah makam yang dibeli Abraham di Kanaan (waktu itu, Yakub ada di Mesir). Di tanah itu telah dikuburkan jenazah Abraham dan Sara, Ishak dan Ribka, serta Lea, istri pertama Yakub yang tidak dicintainya sebesar cintanya kepada Rahel (ay.31-32).

Kebetulan, Rahel meninggal dan dikuburkan di Betlehem (Kej. 35:19-20), sedangkan semua orang tadi dikuburkan di Mamre. Nah, mengapa Yakub tidak meminta untuk dikuburkan bersebelahan dengan Rahel, kekasih hatinya itu? Tidak cintakah Yakub kepada Rahel? Tentu saja cinta! Sampai-sampai ia membuat tugu di atas makam Rahel. Tapi sepertinya, bagi Yakub, cinta itu "cuma" untuk orang yang hidup. Kira-kira sama seperti janji pernikahan lah, "...sampai maut memisahkan kita."

Menurutku, apa yang dilakukan Yakub itu sangat beralasan. Yesus sendiri, ketika ditanyakan tentang siapakah yang akan menjadi suami dari seorang perempuan yang menikah dengan tujuh bersaudara (maksudnya bukan bersamaan, tapi bergiliran, karena jika kakak mati tidak meninggalkan keturunan, maka adiknya wajib menikahi janda kakaknya itu untuk memberikan keturunan atas nama kakaknya) di akherat, mengatakan bahwa "pada waktu kebangkitan orang tidak kawin ataupun dikawinkan, melainkan hidup seperti malaikat di sorga" (Mat. 22:30). Jadi, dengan kata lain, cinta itu "sehidup," bukan "semati."

Lagipula, sepertinya sih ada "pesan" atau "visi" yang ingin disampaikan Yakub lewat permintaannya untuk dikuburkan satu lokasi dengan kakek (Abraham) dan bapaknya (Ishak). Mungkin saja, itu merupakan penegasan kepada keturunannya, bahwa Allahnya Abraham, Ishak, dan Yakub adalah Allah yang memegang janji-Nya, dan bahwa Yakub beserta kedua belas anaknya adalah juga bagian dari janji itu. Kelak, jika anak-anak Israel berziarah ke makam tersebut, mereka akan mengingat dan menghayati kasih setia Tuhan atas mereka.

Para "peziarah" itu (baca: Abraham-Ishak-Yakub) telah mendapatkan perhentian sebagaimana yang dijanjikan Tuhan kepada mereka. Beberapa ratus tahun kemudian, kita tahu bagaimana Allah memperkenalkan diri kepada Musa sebagai "Allah ayahmu, Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub." Frasa "Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub" inilah yang dipakai oleh Yesus untuk menunjukkan bahwa Allah bukanlah Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup.

Cinta. Kita sepertinya harus berhati-hati dengan kata ini. Tak jarang, rasa cinta yang "berlebihan" kepada seseorang membuat kita mengabaikan kepentingan orang banyak, bahkan mengabaikan kehendak Allah. Saya tidak tahu apa jadinya jika Yakub meminta untuk dikuburkan di samping makam wanita yang sangat dicintainya, mungkin Israel akan menjadi bangsa yang tidak solid, tercerai-berai. Yakub mungkin menyadari, bahwa keturunannya kelak lebih perlu melihat tanda iman dan janji Tuhan lewat makam tiga leluhur mereka (Abraham-Ishak-Yakub) daripada tanda cintanya kepada Rahel.

Ya, Abraham, Ishak, ataupun Yakub mungkin bukan teladan yang sempurna, namun pergumulan hidup bahkan kematian mereka menunjukkan kesempurnaan Allah yang tidak pernah salah memilih umat-Nya dan tidak pernah lalai terhadap janji-janji-Nya. Pemeliharaan-Nya berlangsung dari awal sampai akhir hidup mereka, dan itulah yang akan terus menjadi penguatan bagi generasi berikutnya untuk tetap beriman dan berharap kepada Allah yang sama: Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub, Allahnya orang-orang yang hidup!

Bagaimana dengan hidupku? Bagaimana dengan hidupmu? Sudahkah hidup kita mencerminkan Allah yang hidup itu, Allah yang bukan sekedar "dongeng nenek-nenek tua" itu? Pasti ada masa-masa kita jatuh, pergi menjauh, namun kesetiaan Allah itu tak pernah melepaskan kita begitu saja kan? Mereka bukan tokoh fiksi yang hebat tanpa cela, melainkan orang-orang biasa saja yang berjuang untuk taat kepada pimpinan Allah. Sesekali mereka juga jatuh, namun di akhir hidup mereka, mereka membuktikan kasih setia Tuhan yang menggenapi janji-janji-Nya.

Kiranya kita memiliki hidup yang seperti itu. Kiranya hidup (dan mati) kita merupakan cermin kuasa dan kasih Allah yang dahsyat itu. Dan kiranya generasi-generasi setelah kita kelak menziarahi makam kita dan mengingat betapa Allah itu nyata dalam hidup kita. Biarlah mereka melihat betapa kasih kita kepada Allah jauh melebihi rasa cinta kita kepada siapapun. Amin. Tuhan memberkati!

Dua Sisi Mata Uang

Bisa beli kerupuk berapa truk ya? :)
Dalam salah satu perenungan saya tentang uang, saya mengambil kesimpulan sederhana, yakni uang bisa memperkaya seseorang. Akan tetapi, sebagaimana ia memiliki dua sisi, ada pula sisi lain dari uang, yakni bisa mempermiskin kemanusiaan seseorang. Manusianya semakin kaya, namun bersamaan dengan itu, kemanusiaannya merosot.

Sila kedua dari Pancasila mengamanatkan "Kemanusiaan yang adil dan beradab." Hal itu berarti bahwa kita sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (yang adil dan beradab). Sebagai warga negara Indonesia, kita diharapkan untuk bisa menjadi manusia seutuhnya, yakni manusia yang "berperikemanusiaan."

Uang, sama seperti produk buatan manusia lainnya, adalah benda yang netral. Ia sudah memiliki kegunaannya sendiri, yakni sebagai alat transaksi. Sebagai benda yang netral, uang bisa dipakai untuk kejahatan maupun kebaikan. Dan sebagaimana benda-benda materi lainnya, uang seharusnya digunakan untuk mendukung kemanusiaan.

Akan tetapi, ada saja orang yang "melanggar batas." Mereka adalah orang-orang yang "mencintai uang," dan karena kecintaannya terhadap uang tersebut, melakukan berbagai-bagai kejahatan. Dan apakah kejahatan itu, kalau bukan pengingkaran terhadap kemanusiaan, yang notabene selalu penuh kebaikan?

Demi mendapatkan uang banyak, orang seakan-akan berlomba-lomba korupsi. Berbagai proyek diluncurkan. Nilai proyek sengaja dibuat besar, namun dengan standar kualitas pas-pasan. Harapannya, selisih anggaran bisa "dimainkan." Kontraktor pun ikut serta dalam pusaran ini. Maka bersepakatlah mereka, membuat proyek-proyek milyaran dengan kualitas ratusan juta. Siapakah yang harus menanggung resikonya? Rakyat. Manusia. Masih ingat kasus jembatan Tenggarong?

Demi mendapat "uang rokok," aparat rela "menjual" kemanusiaan mereka dan menjadi (maaf) "anjing penjaga" perusahaan-perusahaan besar, dan siap "memangsa" siapapun yang mengancam keberadaan majikan mereka. Agar dapat tetap bekerja dan memperoleh gaji, seorang karyawan rela "menjual" kemanusiaannya dan menjadi "pesuruh" perusahaan: memanipulasi angka-angka. Demi mendapatkan uang besar agar bisa menjaga penampilan, seorang mahasiswi rela "menjual" kemanusiaannya kepada pria-pria hidung belang. Manusia yang terhormat terdegradasi menjadi sekedar "boneka seks bernyawa."

"Cinta uang adalah akar segala kejahatan," demikian tulis Paulus dalam salah satu suratnya. Jika kita mencintai manusia, maka kita akan menggunakan uang untuk menolong sesama manusia. Sebaliknya, jika kita mencintai uang, maka kita akan memanfaatkan sesama kita untuk memperoleh uang lebih banyak lagi, dan lagi, dan lagi....

GKI Yasmin Bukan Lapak Kaki Lima, Bung!


Saya bahkan sudah tak sanggup lagi tersenyum dengan kekonyolan pernyataan yang disampaikan oleh Mendagri Gamawan Fauzi hari ini terkait GKI Yasmin. Bagaimana tidak? Tadi pagi tersiar berita tentang beliau yang mengatakan bahwa sudah ada “titik terang” terhadap kasus di GKI Yasmin dan diharapkan akan selesai dalam minggu depan. Waktu pernyataan tersebut saya tanyakan kepada Bona Sigalingging (jubir GKI Yasmin) lewat akun Twitternya (@bonasays), dia sendiri menyatakan tidak tahu menahu, apa yang dimaksud Mendagri dengan istilah tersebut.

Lalu muncullah berita terbaru tentang “titik terang” tersebut. Ternyata, yang beliau maksudkan adalah penawaran 3 lokasi baru untuk GKI Yasmin, yang konon ketiganya sama luasnya dengan lokasi yang ada saat ini. Ia menambahkan bahwa dalam 1-2 hari mendatang, Kemendagri akan mengundang pihak terkait seperti Kementerian Agama, GKI Yasmin, dan Pemda setempat untuk mencapai perdamaian. GKI Yasmin kemudian akan dipersilakan untuk melihat-lihat lokasi yang ditawarkan.

Pembaca yang budiman, sebagaimana sudah diketahui bersama, permasalahan di GKI Yasmin bukanlah mengenai perseteruan antara GKI Yasmin dan Pemda setempat (Pemkot Bogor), melainkan mengenai ketidaktaatan Walikota Bogor, Diani Budiarto, untuk melaksanakan amar putusan Mahkamah Agung dan rekomendasi Ombudsman RI. Alangkah aneh jika seorang pejabat setingkat Menteri bisa salah memahami apa yang sebenarnya terjadi.

Yang lebih aneh lagi adalah, kasus GKI Yasmin ini dipandang bak kasus ketertiban umum biasa, sampai-sampai muncul solusi relokasi. GKI Yasmin bukanlah pedagang kaki lima yang menggelar dagangannya di trotoar, melainkan pemilik sah dari lokasi dan bangunan yang sedang “disandera” oleh Diani Budiarto. Oleh karena itu, sangatlah absurd jika solusi yang muncul justru adalah solusi relokasi. Tayangan “Telusur” di TVOne mengenai GKI Yasmin yang bisa dilihat rekamannya di YouTube juga mengungkap, bahwa sebenarnya masyarakat setempat sama sekali tidak keberatan dengan adanya GKI Yasmin, dan bahwa massa yang setiap hari Minggu melakukan protes bukanlah berasal dari lingkungan tersebut.

Jika demikian, bukankah jelas, bahwa bukan GKI Yasmin yang mengganggu ketertiban umum, melainkan massa pendemo yang berasal dari kampung antah-berantah itu? Mengapa bukan mereka saja yang ditawarkan relokasi demo? Berikan saja sebuah lapangan yang cukup luas, dan biarkan mereka berteriak-teriak di situ sampai siang, kelelahan, dan kemudian membubarkan diri. Merelokasi pendemo, meski terdengar janggal, justru lebih bisa diterima akal sehat daripada merelokasi GKI Yasmin.

Profesionalitas Potifar - Eksposisi Yusuf (4)

Potifar? Hmmm... namanya terkenal sebagai majikan nenek moyang bangsa Israel, Yusuf. Potifar adalah Kepala Pasukan Pengawal Raja, mungkin seperti komandan Paspampres kalau di Indonesia. Yang namanya kepala pengawal raja, pasti tanggung jawabnya besar sekali. Banyak tugas yang harus dikerjakan untuk memastikan keselamatan Firaun, sang raja Mesir.

Potifar mungkin termasuk orang yang hidupnya teratur. Meski memiliki banyak budak dan bawahan, namun ia tidak bisa begitu saja mempercayai mereka. Ia mengatur rumahnya dengan seksama. Hal itu dilakukannya selama bertahun-tahun, hingga ia melihat ada salah satu budaknya yang berbeda.

Bisa ditebak, Yusuflah nama budak itu. Dibandingkan dengan budak-budak yang lain, Potifar mungkin melihat ada "aura" tersendiri di dalam diri Yusuf. Alkitab mengisahkan, bahwa Potifar melihat segala pekerjaan yang ditugaskan kepada Yusuf selalu sukses. Selain itu, Yusuf juga mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik.

Bos mana sih, yang tidak senang dengan keberadaan anak buah yang berprestasi dan selalu berhasil dalam pekerjaannya? Kalaupun ada yang tidak suka dengan keberadaan Yusuf, pastilah itu "senior"-nya atau teman-teman sesama budak yang iri dengan dia.

Potifar akhirnya mendapatkan sosok yang bisa dipercaya. Yusuf telah bekerja bertahun-tahun di rumahnya dan tidak pernah berlaku curang. Ditambah lagi, kesibukannya makin menumpuk. Oleh karena itulah, ia mengambil sebuah langkah berani, menjadikan budak Ibrani itu untuk mengepalai semua budak yang dia miliki.

Sebagai seorang prajurit yang sudah senior, apalagi dipercaya raja untuk menjadi kepala pengawal, tentulah Potifar sudah memperhitungkan segala baik-buruk kebijakannya itu. Mengapa ia tidak mempercayakan rumahnya--misalnya--kepada anak buahnya yang sama-sama orang Mesir, namun justru mengangkat seorang budak asing yang bisa berpotensi untuk menyerang dia?

Salah satu kemungkinannya adalah, Potifar merasa cukup mengenal Yusuf dan Tuhan yang ia sembah. Alkitab menyaksikan bahwa Potifar melihat sendiri bagaimana Tuhan bekerja melalui Yusuf, membuat budak itu berhasil dalam tiap pekerjaannya. Selain itu, dia pastinya melihat bahwa Yusuf bukanlah orang yang berbahaya.

Ribuan tahun yang lalu di Mesir, kita membaca bahwa seorang kepala pengawal kerajaan telah menerapkan prinsip profesionalitas dalam dunia kerja. Ia tak memandang suku bangsa atau agama untuk mempertimbangkan pengangkatan seseorang ke jenjang yang lebih tinggi. Bagi dia, yang penting orang itu haruslah profesional dan dapat dipercaya. Profesionalitas mengedepankan kualitas karakter dan kinerja daripada atribut-atribut "bawaan lahir," seperti warna kulit atau agama.

Bagaimana dengan kita? Terkadang kita terjatuh dalam bagian ini. Kita menganggap, misalnya, bahwa semua orang seiman itu bisa dipercaya, tapi itu tidak selalu terjadi. Akibatnya, kita merekrut orang-orang yang kurang berprestasi, hanya karena dia seiman atau sewarna dengan kita. Ini tidak benar. Kita harus meneladani Potifar. Dalam dunia profesi, kita semestinya mengedepankan standar profesionalisme yang baik, yakni kualitas pekerjaan dan karakter yang teruji baik atau dapat dipercaya.

Salam profesional!

Kita dan Dosa - Eksposisi Yusuf (3)

Sebagaimana diceritakan dalam Alkitab, Yusuf memiliki wajah dan penampilan yang menarik, selain karakternya yang baik dan otaknya yang cerdas. Sosok pemuda idaman pemudi, bukan? Maka, tak begitu mengejutkan jika istri Potifar kemudian menaruh hati padanya. Mungkin faktor kesepian akibat sering ditinggal "berdinas" oleh sang suami membuat istri Potifar makin menaruh hati kepada Yusuf. Apalagi, Yusuf tentulah sering berpapasan atau bertatap muka dengannya. Witing tresno jalaran soko kulino, begitulah pepatah Jawa untuk rasa cinta yang tumbuh akibat sering berinteraksi.

Sayangnya kita tahu, dan semua orang atau budaya yang mengenal lembaga pernikahan tahu, bahwa cinta istri Potifar kepada Yusuf adalah cinta terlarang. Tapi istri Potifar tidak peduli. Ia adalah istri seorang Kepala Pengawal, mungkin juga dibesarkan dalam lingkungan kerajaan atau setidaknya berasal dari keluarga bangsawan yang belum pernah mendengar kata "tidak." Ia juga tak memiliki iman kepada Tuhan kudus, sehingga standar moralnya adalah keinginannya sendiri. Berkali-kali ia menggoda Yusuf untuk mau tidur dengannya, dan makin ditolak, ia pun makin "penasaran."

Hingga hari itu tiba. Pagi itu, semua orang di rumah sedang pergi ke luar. Yusuf datang seperti biasa untuk mengerjakan tugasnya. Kesempatan emas, demikian pikir wanita itu. Diapun bersiap-siap, berdandan dan menghias kamar tidurnya. Rasa penasarannya telah mencapai puncak. Nafsunya menggelegak. Sayangnya, sekali lagi, ia ditolak! Pemuda rupawan itu bukannya mengiyakan, malah kabur, meninggalkan baju yang tadi ia pegang erat. Kerinduannya berubah menjadi amarah yang bergejolak, dan ia pun berteriak!

Sambil membawa baju Yusuf sebagai "barang bukti," ia menceritakan kebohongan tentang pemuda yang tadinya diinginkannya dengan sangat. Skenario palsu pun dibuat. Yusuf--orang yang tidak bersalah--dikisahkannya sebagai penjahat. Hasilnya kita tahu, Yusuf segera ditangkap dan dimasukkan ke dalam tahanan. Tak ada pengadilan, tak ada kesempatan untuk membuat pembelaan. Hal yang wajar, mengingat statusnya sebagai budak belian.

Setelah itu, kita tidak mendapat informasi lagi tentang kehidupan istri Potifar. Tapi itu bukan hal yang penting. Yang perlu kita pelajari dari kisah istri Potifar ini adalah bahwa keinginan jahat yang dituruti akan membuahkan dosa, dan bahwa dosa itu tak hanya merugikan diri sendiri, namun orang lain juga. Jika kita tidak terbiasa untuk "mengerem" keinginan-keinginan daging kita, bisa jadi kita akan menjadi seperti istri Potifar. Kita bisa jadi memanfaatkan posisi dan kedudukan kita untuk menjatuhkan orang-orang yang tidak kita sukai--entah ke dalam dosa (perzinahan, dalam kasus istri Potifar), ataupun ke dalam penjara (kesusahan).

Satu hal kecil lagi, kira-kira bagaimana ya perasaan istri Potifar itu ketika si budak yang difitnahnya kemudian menjadi tangan kanan Firaun, raja Mesir, yang notabene adalah bos dari suaminya? Pasti dia takut sekali kalau-kalau kejahatannya diungkap oleh Yusuf! Tapi untungnya, Yusuf tidak mempermasalahkan hal itu. Nah, bagaimana nasibnya, seandainya Yusuf adalah orang yang pendendam? Hmmm....

Mesin Absen


Mesin absen/dokpri




Di Semarang, saya tidak mengenal yang namanya mesin absen. Kebetulan, pekerjaan saya di kota lumpia tersebut tidak mensyaratkan saya untuk memasukkan kertas absensi ataupun menempelkan sidik jadi pada mesin absen. Di ibukota negara inilah, saya berkenalan dengan mesin absen. Tiap datang dan pulang kantor, saya (dan teman-teman) harus memasukkan kertas absensi saya ke dalam mesin penanda kehadiran itu. Ia akan menorehkan tanda waktu pada kertas itu, dan tanda waktu itu akan dijadikan patokan bagian keuangan untuk penggajian di akhir bulan.

Saya akui, saya adalah pribadi yang telatan (bukan teladan!), alias sering terlambat. Ini adalah salah satu kebiasaan buruk yang hingga kini masih terus saya perangi (semoga tak sampai seumur hidup). Dan, mesin absen itu bagaikan "malaikat pencatat dosa" saya dalam urusan waktu masuk kerja. Untungnya, saya punya istri seorang guru yang harus masuk pagi, sehingga saya "agak terbantu" dengan kebiasaan buruk tersebut.

Jarak tempat tinggal kami relatif "lama" dari kantor tempat saya bekerja, sekitar 1-2 jam. Saya menggunakan istilah "lama," karena kondisi lalu lintas di Jakarta yang memang tak terduga. Hanya dalam hitungan menit, jalan yang tadinya senyap bisa mendadak menjadi padat dan macet. Di kota asal saya, jarak rumah-kantor yang hanya 16 kilometer itu bisa ditempuh dalam waktu seperempat jam saja, tapi tidak di Jakarta. Di Semarang, saya tak pernah menemui angkutan umum yang begitu penuh sampai-sampai saya tidak bisa "menjejalkan diri" ke dalamnya.

Sesekali, saya tetap saja mengalami warna absen merah karena terlambat, meski hanya beberapa menit. Ia punya standar tersendiri, dan sayalah yang harus mengikuti standarnya. Jam tangan saya lah yang harus saya sesuaikan dengan jam mesin absen itu. Celakanya lagi, warna merah itu tak terhapuskan, dan tetap akan diperhitungkan sebagai kesalahan saya di masa "penghakiman" (baca: ketika perhitungan gaji), meskipun esoknya atau hari sebelumnya saya datang satu jam lebih awal. Memang begitulah aturannya. Kedatangan saya yang lebih awal tak serta merta menghapuskan pelanggaran saya karena datang terlambat.

Apa jadinya kalau perhitungan ala mesin absen itu sama seperti perhitungan dosa kita ya? Seberapa sungguh-sungguh pun usaha kita untuk "menebus" dosa kita, takkan pernah bisa "menghitamkan kembali" catatan-catatan dosa yang berwarna merah itu. Dan memang, beberapa hal di dunia, terutama berkaitan dengan hukum, berlaku seperti itu. Meskipun saya seorang yang gemar menolong orang dan bahkan memiliki kekayaan yang tak terhingga, namun jika suatu kali kedapatan mengutil, pastilah saya harus masuk bui karena perbuatan saya itu. Kebaikan-kebaikan saya tidak bisa dijadikan penyeimbang atas kesalahan saya. Paling banter, sikap baik saya hanya dijadikan sebagai faktor yang meringankan, namun hukuman tetap dijatuhkan.

Nah, bagaimana jika perhitungan dosa juga berlaku demikian? Sebaik apapun saya, hal itu takkan bisa melepaskan saya dari ancaman hukuman atas dosa-dosa yang telah saya lakukan. Dan, apakah hukuman terhadap dosa? Tentu saja neraka. Nah, sayangnya, tidak ada satu manusiapun di muka bumi ini yang tidak pernah melakukan dosa. Kebanyakan dari kita bahkan melakukannya setiap hari, entah lewat pikiran, perkataan, ataupun perbuatan kita. Jika demikian, maka umat manusia adalah mahluk-mahluk yang pasti celaka, karena tidak ada tempat lain baginya selain di neraka! Adakah harapan untuk kita? Syukurlah, jawabannya adalah: ada!

Firman Tuhan yang tertulis di dalam Alkitab dengan gamblang menawarkan suatu pengharapan yang pasti akan kelepasan dari ancaman hukuman neraka. Yesus Kristus, Firman Allah yang telah "merendahkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba, bahkan menjadi manusia" itulah jawabannya. Di dalam Kristus, tak ada dosa yang terlalu "merah" untuk "diputihkan." Semua dosa dunia telah ditanggungNya di atas kayu salib. Puji Tuhan!

Mengasihi dengan Tulus





Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik.
(Roma 12:9)


Dunia ini penuh dengan kepalsuan, dan itu hal yang wajar. Mengapa? Karena dunia ini sedang di bawah kuasa Iblis, bapa semua pendusta. Banyak orang yang hidup di dalam kepura-puraan. Para politisi yang sedang berkampanye berpura-pura memperhatikan rakyat dengan harapan agar dia memenangkan pemilu. Perusahaan-perusahaan besar berpura-pura mempedulikan masyarakat miskin dengan harapan agar mereka mendapat citra yang baik di mata publik. Tak sedikit orang juga yang berpura-pura mencintai pasangannya dengan harapan agar pasangannya tersebut mau memberikan apa yang ia inginkan. Demikianlah, banyak orang di dunia ini memanipulasi kebaikan dan kasih sayang untuk memenuhkan ambisi atau keinginan pribadinya saja.

Padahal, kepura-puraan itu sangat berbahaya! Kebanyakan kasus krisis ekonomi di berbagai negara diakibatkan oleh para pelaku ekonomi yang tidak jujur. Mereka membuat analisa-analisa palsu, misalnya menaksir sebuah bangunan bernilai satu milyar menjadi dua milyar. Akibatnya, bank-bank mengeluarkan pinjaman yang nilainya terlalu besar. Ketika terjadi krisis, siapakah yang menderita? Semua orang yang tidak tahu-menahu tentang hal itu. Di Amerika, banyak orang yang tiba-tiba harus kehilangan rumah hanya karena kecurangan-kecurangan itu! Kepura-puraan tidak pernah menghasilkan sesuatu yang baik, bagi “pelaku” ataupun “korban.”

Tapi ada Satu Pribadi yang tidak pernah berpura-pura. Tuhan Yesus tidak berpura-pura lahir sebagai manusia, atau berpura-pura mati untuk menanggung dosa seluruh dunia. Coba bayangkan, apa yang terjadi seandainya kematian Yesus di kayu salib dan kebangkitan-Nya hanya sebuah “sandiwara tentang kasih”? Pastilah kita menjadi orang-orang yang paling malang di seluruh dunia, karena telah mengikuti seorang penipu! Tapi syukurlah, berbagai dokumen sejarah telah membuktikan bahwa kelahiran, pelayanan, kematian, dan kebangkitan Kristus sungguh-sungguh terjadi. Puji Tuhan!

Lalu bagaimana seharusnya sikap kita sebagai murid-murid-Nya? Kita juga harus mencontoh teladan yang telah diberikan oleh Sang Guru Agung kita itu. Kita wajib untuk mengasihi sesama kita dengan jujur dan tulus, tanpa kepura-puraan. Ayat kita tadi menegaskan bahwa kasih yang pura-pura itu adalah perbuatan yang jahat. Jadi, marilah kita menjauhi apa yang jahat dan melakukan apa yang baik. Marilah kita, sebagai murid-murid-Nya, belajar untuk saling mengasihi dengan tulus. Amin.

Berkualitas dan Bertekun - Eksposisi Yusuf (2)

Yusuf mungkin terus bertanya-tanya, kapankah Tuhan akan merealisasikan janji-Nya. Tapi dia tidak sekedar bertanya. Yusuf mengerjakan tiap tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya dengan baik. Yusuf bertekun di dalam "penderitaan"-nya. Pada satu titik, majikannya, tuan Potifar, akhirnya menyimpulkan bahwa semua hal yang dikerjakan Yusuf diberkati Tuhan (baca: selesai tepat waktu, hasil maksimal, dst.), kemudian mengangkatnya menjadi orang kepercayaannya. Yusuf menjadi orang kedua di bawah "bos" rumah itu, dan itu artinya, semua orang harus mau melakukan semua yang diperintahkan oleh Yusuf. Marveolus!


Semua pekerjaan yang dilakukan dengan excellent dan diberkati Tuhan, pasti membuahkan hasil yang "marvelous!," seperti yang sering dikatakan si Darjit dalam serial Upin-Ipin. What we sow is what we reap. Apa yang kita tabur, itulah yang kita tuai. Prinsip sederhana ini berlaku untuk setiap hal yang dilakukan di bawah matahari. Yusuf, karena imannya kepada Allah yang telah "menjanjikan berkat" melalui mimpinya di masa kanak-kanak, melakukan semua pekerjaannya dengan luar biasa. Paradigma kita terhadap Allah yang kita sembah juga menentukan kualitas pekerjaan kita.

Berikutnya, kita harus mengingat, bahwa kesuksesan Yusuf tidak terjadi dalam waktu singkat. Yusuf setidaknya bekerja menjadi budak Potifar selama 11 tahun tanpa henti! Di masa itu, seorang budak yang sudah tidak berguna dan sering membuat keributan atau menyusahkan majikan akan dijual lagi, kalau tidak dibunuh. Ingat juga bahwa Potifar sampai-sampai bisa mengenali Yusuf dan kinerjanya, di antara puluhan bahkan mungkin ratusan budaknya yang lain. Hal itu menunjukkan bahwa kinerja Yusuf memang menonjol dan stabil selama bertahun-tahun.

Kunci keberhasilan Yusuf dalam pekerjaannya adalah komitmen terhadap kualitas dan ketekunan. Berkat Tuhan tentu saja merupakan faktor utama. Bagaimana dengan pekerjaan kita? Apakah Tuhan memberkati tugas dan tanggung jawab yang kita jalankan? Apakah kita sudah memberikan kemampuan terbaik kita dalam tugas-tugas yang diembankan ke pundak kita? Apakah kita bertekun dalam mengerjakan tanggung jawab kita? Sudahkah "Potifar" kita mengenali kualitas pekerjaan kita yang diberkati Tuhan?

"Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia."
-Kolose 3:23-

Antara Visi dan Realita - Eksposisi Kisah Yusuf (1)

Siapa yang tidak pernah mendengar tentang kisah "heroik" dari Yusuf, budak Ibrani yang menjadi Perdana Menteri Mesir? Di Alkitab, kisah ini diceritakan dalam kitab Kejadian pasal 39. Secara singkat, diceritakan bahwa anak yang malang itu dijual oleh saudara-saudaranya kepada pedagang budak, yang kemudian membawanya untuk dijual di Mesir, lalu berakhir sebagai seorang budak di rumah Potifar, seorang kepala pengawal raja Firaun.

Anak muda yang belum pernah mengenal pekerjaan tangan itu tiba-tiba harus menjadi seorang budak yang tenaganya diperas habis-habisan untuk mengerjakan apapun yang diperintahkan tuannya. Budak tidak sama seperti pembantu yang memiliki hak atas hidupnya. Nyawa si budak bergantung penuh pada sang majikan. Budak juga tak boleh mengeluhkan pekerjaannya yang berat, apalagi meminta waktu istirahat. Dalam sebagian kasus, seorang budak juga tidak boleh terlihat sedih atau letih, pokoknya tidak boleh membawa mood yang jelek bagi tuannya.

Nah, Yusuf yang bisa dibilang masih remaja, yang konon di jaman sekarang disebut sebagai "ababil," alias ABG (Anak Baru Gedè) labil, ternyata meresponi penderitaan yang dia alami dengan luar biasa. Saya membayangkan jika berada di posisinya Yusuf tersebut, pastilah saya ogah-ogahan mengerjakan tugas-tugas yang dibebankan kepada saya dan mencari cara-cara untuk melarikan diri. Tapi, apa yang dilakukan oleh Yusuf? Alkitab memberikan keterangan bahwa ternyata dia mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik, bahkan dengan sangat baik, di dalam pimpinan dan berkat Tuhan.

Kita tidak tahu apakah yang membuat Yusuf bisa memiliki respon yang luar biasa "tenang" seperti itu. Mungkin Tuhan menemuinya di dalam mimpi selama perjalanan menuju Mesir. Mungkin juga responnya itu merupakan kristalisasi pergulatan imannya sepanjang perjalanan itu. Ia bermimpi bahwa orang tua dan saudara-saudaranya akan menyembah dia, tapi realitanya justru sangat berbeda: ia dijual oleh kakak-kakaknya dan terbuang ke negeri yang lain. Pastinya, Alkitab menyaksikan bahwa Yusuf tidak mengeluh atau mencoba melarikan diri.

Bagaimana dengan kita? Mungkin sebagian kita mendapat visi dari Tuhan untuk menjadi A atau B, namun sementara ini, faktanya seolah-olah bertolak belakang. Ini adalah waktu yang sangat tepat untuk mempergumulkan kembali panggilan hidup kita di hadapan Tuhan. Benarkah Dia menginginkan aku menjadi ini atau itu? Jika benar, apa janji-Nya yang mendasari panggilan itu? Atau, mungkinkah itu hanya ambisi pribadiku saja?


Selamat bergumul!

Selamat Datang di Jaman Teks!




Berapa kali dalam sehari Anda melakukan panggilan telepon pribadi? Berapa perbandingannya dengan SMS atau BBM yang Anda kirimkan? 1:100 mungkin? Atau lebih? Ya, kita sekarang telah memasuki era teks! Milyaran teks berseliweran di sekitar kita setiap hari. Setelah koran atau media cetak, kita punya SMS, BBM, YM, FB, Twitter, dan masih banyak lagi yang menggunakan tulisan sebagai moda interaksi.

Teks atau tulisan memang menakjubkan! Bagaimana tidak, rangkaian huruf-huruf yang tadinya tak bermakna kemudian bisa memberikan informasi tertentu kepada kita. Teks, dalam dunia arkeologi, sering dijadikan sebagai penanda jaman. Masa teks paling tua yang pernah ditemukan, itulah yang disebut masa sejarah.

Teks bisa mempersatukan banyak orang, tapi juga bisa memecah belah sebuah komunitas. Revolusi Mesir kemarin konon bisa berlangsung sukses berkat berbagai “kicauan” di Twitter, sampai-sampai Pemerintah yang berkuasa waktu itu memblokir salah satu media sosial terbesar tersebut. Sebaliknya, kericuhan yang terjadi di Ambon beberapa waktu terakhir konon dipicu oleh sebuah SMS hoax. Dan masih banyak lagi.

Saya percaya, bahwa teks—bersanding dengan bahasa—adalah anugerah Tuhan yang sangat luar biasa bagi manusia. Anugerah berbeda dengan hadiah yang bisa kita dapatkan dengan usaha sendiri. Anugerah adalah hadiah yang nilainya jauh di atas kemampuan kita. Oleh karenanya, anugerah tidak semestinya disia-siakan, melainkan diolah sedemikian rupa agar menjadi berkat bagi sesama. Keselamatan kita harus dikerjakan—mengutip Filipi 2:12—dengan sungguh-sungguh agar tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain. Demikian pula dengan anugerah umum bagi semua manusia, seperti waktu dan bahasa.

Dengan demikian, kita yang sudah melek huruf ini sudah semestinya mengolah tulisan-tulisan kita agar membawa berkat bagi orang lain, mengolahnya dengan serius untuk memperkenalkan “Anugerah Ultimat” (keselamatan) kepada semua orang. Selamat datang di jaman teks. Marilah kita bersama-sama belajar untuk mengolah teks-teks kita sebaik mungkin, banyak membaca referensi tentang bagaimana mengolah teks dengan baik dan memikat pembaca, dan tentu saja: banyak menulis! Tuhan memberkati.

Mengalahkan Kejahatan dengan Kebaikan


Roma 12:21 Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!



Dalam film-film silat Mandarin jaman dulu, kebanyakan ceritanya berkisar pada tokoh utama yang ketika kecil terpaksa harus kehilangan keluarganya karena dibunuh oleh penjahat yang bengis. Anak kecil tersebut kemudian mendalami kungfu atau jurus-jurus silat tertentu sampai menjadi seorang pesilat yang tangguh, dan biasanya tujuannya hanya satu: untuk membalas dendam.


Balas dendam, ya, siapa sih yang tak ingin dendamnya dibalaskan? Ketika ada orang yang menyakiti kita atau keluarga kita, atau orang-orang yang memiliki kedekatan dengan kita, entah bagaimana, muncul perasaan jengkel, marah, dan benci kepada orang-orang yang telah berbuat zalim tersebut. Perasaan ini rasanya seperti api yang berkobar-kobar di dalam hati kita, sehingga hati kita menjadi panas setiap kali berpapasan atau bertemu atau bahkan mendengar nama si zalim itu disebut.


Tapi sebenarnya siapa sih yang dirugikan dengan adanya dendam itu? Pasti kita sendiri kan? Itulah sebabnya ia sering disebut "sakit hati." Hati yang tadinya sehat dan baik-baik saja, kemudian menjadi sakit karena perkataan atau perbuatan seseorang yang menyerang ataupun merugikan kita. Hati kita pun terluka, menjadi sakit rasanya. Dan, karena dosa, kita secara salah berpikir bahwa satu-satunya cara agar hati kita itu sembuh adalah dengan membalas dendam. Kita ingin membuat si zalim itu merasakan rasa sakit yang seperti kita alami, bahkan kalau perlu kita gandakan rasa sakit itu. Kita pikir, hati kita akan dipuaskan dan dipulihkan setelah itu, tapi faktanya tidak.


Contoh nyata adalah tawuran yang terjadi antar sekolah. Siswa sekolah A mungkin akan merasa puas ketika pada suatu kesempatan mereka berhasil memenangkan tawuran itu. Akan tetapi, siswa sekolah B pastinya tidak tinggal diam. Kelak, mereka akan membuat serangan yang lebih hebat, bahkan mengajak sekutu dari sekolah lainnya lagi. Tawuran berikutnya takkan terhindarkan, dan perdamaian itu takkan pernah tercapai. Menyakiti orang yang menyakiti kita takkan menyelesaikan masalah, tetapi justru memperpanjang durasinya.


Pada dasarnya, ketika kita membalas kejahatan dengan kejahatan, itu artinya kita sudah kalah dengan kejahatan. Itulah yang dikatakan firman Tuhan. Ketika seorang tokoh utama membunuh musuh yang telah membunuh kaum keluarganya, sebenarnya ia menjadikan diirnya sama jahat dengan si musuh. Tiap negara pasti punya aturan hukum yang akan menghukum setiap penjahat atas kejahatannya, sehingga apa yang dilakukan oleh si tokoh utama bisa dikatakan sebagai tindakan "main hakim sendiri." Lagipula, apa yang akan terjadi seandainya si musuh ternyata memiliki keturunan yang kemudian juga ingin membalas dendam atas kematian ayahnya? Pasti film-nya bisa sepanjang sinetron "Tersanjung" atau "Cinta Fitri!"


Rasul Paulus menuliskan kepada jemaat di Roma yang pada masa itu sedang mengalami penganiayaan yang hebat karena iman mereka agar tidak kalah dengan kejahatan, melainkan mengalahkan kejahatan itu dengan kebaikan. Hal ini sama dengan perintah Tuhan Yesus untuk memberikan pipi kanan kita setelah pipi kiri kita ditampar. Artinya, kita sebagai orang beriman tidak dianjurkan untuk membalas dendam, yang sama artinya dengan membalas kejahatan dengan kejahatan. Pembalasan dendam adalah bukti bahwa kita telah dikalahkan oleh Iblis yang menggoda hati kita untuk melakukan kejahatan.


Nah, bagaimana caranya agar kita dapat mengalahkan kejahatan? Firman Tuhan menyebutkan satu-satunya cara, yakni dengan kebaikan. Ada sebuah cerita tentang seorang pemungut pajak yang sangat curang bernama Zakheus, yang kemudian berubah 180 derajat menjadi seorang yang baik. Apa yang membuatnya berubah? Salah satunya adalah karena Tuhan Yesus telah menunjukkan kebaikan kepadanya dengan singgah di rumahnya. Sepanjang sejarah bangsa Israel, seorang tukang pajak dianggap pengkhianat bangsa, dan oleh karena itu sangat dijauhi karena dianggap berkomplot dengan penjajah Romawi. Jangankan seorang Guru besar seperti Tuhan Yesus, masyarakat biasa pun enggan bergaul dengannya.


Apa yang kemudian terjadi setelah Tuhan Yesus singgah di rumah Zakheus? Pertobatan! Hal itu menunjukkan bahwa kejahatan-kejahatan Zakheus telah lenyap, dikalahkan oleh kebaikan Tuhan Yesus yang mau menemui dia, yang menganggap dia berharga. Seandainya Tuhan Yesus tidak singgah di rumah Zakheus itu, mungkin dia akan tetap menjadi pemungut pajak yang curang dan memeras rakyat. Tuhan Yesus telah mengalahkan kejahatannya itu dengan kebaikan.


Bagaimana dengan kita? Adakah di antara kita yang masih suka menyimpan dendam? Kita harus belajar menanggalkan dendam itu, sakit hati itu. Sebaliknya, kita harus belajar untuk menunjukkan kebaikan kepada orang-orang yang mungkin menjahati kita. Siapa tahu, orang itu justru akan bertobat karena kita, dan bahkan menjadi sahabat terbaik kita sampai tua? Kalaupun dia tidak bertobat seperti Zakheus, paling tidak kita telah mencegah meluasnya kejahatan. Dan seperti sabda Tuhan Yesus, "Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah" (Matius 5:9), maka kita yang telah mengupayakan perdamaian dengan kebaikan kita akan menjadi orang-orang yang berbahagia, karena diakui sebagai anak-anak Allah! Selamat mengalahkan kejahatan dengan kebaikan.

Membangun Kepercayaan Diri dalam Menulis

KITA mungkin ingin sekali mengungkapkan apa yang ada di dalam pikiran kita, namun entah mengapa tak sanggup menggelontorkannya ke dalam sebuah tulisan. Sebagian dari kita bahkan merasa minder alias tidak percaya diri ketika diminta untuk menulis. Kita sudah pernah mencoba sebelumnya, dan ternyata tidak begitu sukses. Atau, kita sama sekali belum pernah mencobanya karena telah berpikir bahwa kita takkan bisa melakukannya.

Kebanyakan di antara kita yang minder untuk menulis biasanya sudah memiliki “standar” sendiri untuk sebuah tulisan yang bagus. Mungkin itu tulisan seorang budayawan, sastrawan, atau bahkan tulisan seorang teman. Kita merasa bahwa kita tak bisa menulis sehebat mereka. Nah, itu salah satu masalahnya. Kita terlanjur meletakkan batu pijakan yang terlalu tinggi untuk kita sendiri, sehingga untuk langkah pertama saja rasanya berat sekali. Padahal, tiap penulis punya keunikannya sendiri-sendiri, termasuk kita.

Kita mungkin terlalu mengagumi tokoh penulis tertentu yang di mata kita begitu piawai dalam merajut kata demi kata dan kalimat demi kalimat menjadi sebuah kesatuan tulisan yang menarik untuk dibaca. Akibatnya, kita tak hanya terinspirasi, melainkan juga terbebani secara tidak sadar untuk menghasilkan kualitas tulisan yang paling tidak setara dengan tulisan-tulisan sang idola. Kita mulai menulis, tapi lebih sering kita menghapusnya. Kita ingin menggambar sebuah lukisan Monalisa yang benar-benar seperti aslinya. Dan, itu mustahil dilakukan.

Langkah pertama yang perlu dilakukan agar kita percaya diri dalam menulis adalah mengganti batu pijakan itu. Kita harus bisa dan mau menurunkan standar kita sendiri. Dan, standar mendasar dalam sebuah tulisan adalah “keterbacaan,” hanya itu saja. Selama orang lain bisa membacanya, dalam artian memahami apa yang hendak kita sampaikan, itu sudah cukup. Masalah gaya bahasa, plot, dan berbagai pengembangan lain bisa kita pelajari sambil jalan.

Yang berikutnya, kita harus menyadari bahwa tiap orang dibekali dengan bakat yang unik, termasuk dalam menulis. Ada orang yang bisa menuliskan kata-kata yang puitis namun lemah dalam penyampaian ide lewat artikel, ada pula sebaliknya. Ada orang yang kuat dalam deskripsi atau penggambaran suasana, sifat, bentuk, atau ruang tertentu, dan ada pula yang kuat dalam hal penyampaian narasi atau urutan kejadian tertentu.

Mungkin kita bukanlah tipe penulis yang “resmi” seperti tertera pada kolom-kolom opini di surat kabar. Bukan masalah besar. Mungkin juga kita bukan tipe penulis yang bisa berpanjang-panjang dalam penulisan. Itu juga bukan dosa. Penulis-penulis besar pun punya karakteristik mereka sendiri. Bahkan, dalam aspek tertentu, yang membedakan kita dengan para penulis besar itu hanyalah upaya “ekstra” yang mereka lakukan, antara lain meneliti dan membandingkan berbagai informasi dan merangkainya dalam sebuah tulisan, atau mengirimkannya ke berbagai penerbit dan media massa!

Jadi, tak ada alasan untuk tidak menulis, kecuali kita memang tidak menganggapnya penting atau malas berusaha. Saya tetap percaya bahwa semua orang yang bisa membaca, sejatinya adalah para penulis, atau setidaknya, calon penulis besar!

Dosa dan Pahala, Apa Satuannya?

Alkisah ada seorang kaya nan saleh yang berkonsultasi dengan Sang Guru tentang memperoleh hidup yang kekal. Meski ia kaya dan tak pernah absen beribadah, tetap saja ada kekhawatiran di dalam hatinya: benarkah aku pasti masuk surga?

Seperti orang kaya itu, demikian pula sebagian dari kita bertanya-tanya dalam hatinya, sudah layakkah mereka untuk memasuki surga-Nya. Mengapa pertanyaan itu tak pernah lepas menggelayut di dalam hati mereka? Jawabannya kupikir cuma satu: karena DOSA dan PAHALA tidak ada satuannya. Dosa dan pahala tak bisa kita hitung seperti layaknya kita menghitung berat atau jarak.

Konsep tentang hidup kekal yang ada di pikiran kebanyakan orang adalah konsep "timbangan." Artinya, kelak di akhirat, semua kebaikan dan kejahatan yang dilakukan manusia akan ditimbang-timbang. Jika ternyata kebaikannya lebih berat, maka orang tersebut layak masuk surga. Namun jika tidak, maka nerakalah tempat hunian kekalnya.

Kegelisahan yang Berulang
Nah, masalahnya adalah, manusia tidak pernah tahu berapa ukuran atau satuan yang dipakai oleh surga dalam menghitung dosa dan pahala. Kita tak pernah punya "tabel konversi"-nya. Tuhan dan malaikat tak pernah memberitahukannya. Berapa poin dosa untuk membunuh? Berapa poin pahala untuk menyelamatkan orang dari upaya pembunuhan? Apakah satu poin dosa sama dengan satu poin pahala? Atau jangan-jangan, satu poin dosa harus ditebus dengan 10.000 poin pahala? Kita tidak akan pernah tahu.

Semua kitab suci dan nabi hanya memberitahukan kepada kita tentang bagaimana harus berbuat baik, atau bahwa semua orang bertanggung jawab atas nasibnya sendiri-sendiri ketika di akhirat nanti, jadi kita harus berhati-hati menjalani hidup di dunia. Itulah sebabnya, kegelisahan yang sama terus ada, dan terus akan berulang. Tapi tidak untukku.

Sebuah Kepastian
Aku sudah mendapat tempat yang pasti di surga nanti, bahkan tanpa perlu mengumpulkan poin-poin pahala. Mengapa bisa begitu? Karena dosa-dosaku yang tak terukur itu telah dibayar, bukan dengan kebaikan ataupun pahala yang kukumpulkan, tapi dengan SATU KEBAIKAN yang dilakukan oleh Tuhan bagiku dan bagi semua orang: mengorbankan diri dan mati di kayu salib. Jadi, SATU DOSA yang kita warisi dari jaman Adam telah dibayar lunas oleh SATU PAHALA yang dikerjakan oleh Tuhan yang menjadi manusia (bukan manusia yang menjadi Tuhan lho!), yakni Yesus Kristus dari Nazaret.

Sekarang, aku (dan semua orang yang percaya kepadaNya) tak perlu repot-repot memikirkan akan ke mana setelah mati, memikirkan sudah berapa banyak pahala yang dikumpulkan dan apakah pahala-pahala itu cukup untuk mengimbangi dosa-dosa yang dilakukan. Tentu saja hal ini bukan berarti semua orang yang percaya kepadaNya bebas untuk berbuat dosa. Syarat untuk menerima anugerah-Nya itu adalah pertobatan, dan pertobatan itu berarti upaya terus-menerus untuk melawan dosa.

Perlu Komunitas
Sebagai manusia yang berdaging, orang yang percaya tidak bebas dari kemungkinan untuk berbuat dosa. Segala perbuatan dosa akan terus mengintai, bahkan akan semakin gencar melakukannya. Ia akan mencari saat-saat di mana orang percaya itu lengah dan berdiri tanpa penjagaan, untuk kemudian menerkamnya. Menggodanya dengan godaan dosa yang sangat mengasyikkan. Itulah sebabnya, orang yang percaya membutuhkan komunitas.

Dengan bergabung bersama dalam sebuah komunitas yang saling menjaga dan saling membangun, orang-orang percaya akan sanggup mengalahkan godaan dosa. Jika si A lengah, si B bisa mendoakan atau mengingatkan si A untuk kembali berwaspada. Ruang gerak dosa makin kecil, dipersempit. Sebagaimana halnya dengan peperangan secara fisik, peperangan secara rohani pun baru bisa dimenangkan dengan sinergi alias kerjasama yang baik.

Lalu Bagaimana?
Nah, bagaimana denganmu? Apakah kamu sudah yakin kelak pasti masuk surga? Jika belum, berkonsultasilah dengan Sang Guru dari Nazaret itu. Yesus Kristus nama-Nya. Terimalah KEBAIKAN yang Ia tawarkan untukmu dan untuk seluruh dunia itu, agar lunas terbayar dosamu, agar ringan langkahmu dalam menjalani hari-hari. Kalau kamu punya utang yang begitu besar sampai-sampai memeras keringat seumur hidup pun takkan bisa melunasinya, lalu tiba-tiba ada pengusaha super kaya yang tulus menawarkan sumbangan untuk pelunasan utangmu itu, akankah kamu menolaknya?

Jika kamu telah bersedia menerima KEBAIKAN itu, sudahkah kamu bergabung dengan komunitas orang-orang yang sama-sama telah menerima dan menikmatinya? Jika belum, inilah waktu yang tepat. Carilah komunitas orang percaya yang mendukung pertumbuhanmu, yang berjaga di kala kamu lengah. Bertumbuh, dan teruslah bertumbuh makin mengenal Dia. Tuhan memberkati!