Laman

Ahok Against All Odds


Jakarta's new deputy governor has recently made more smiling faces amongst his citizens. As a matter of fact, the joy has been widening to the whole nation.

There are two videos uploaded to Youtube which show the meeting between mr. Basuki (also known as Ahok) with his subordinary officials from transportation and public works agencies. The recorded meetings clearly how Ahok strictly ordered his subordinates to cut off their budgets up to 25 percents.




He surely knows how corrupt the officials are, how they're used to misuse their authority to gain personal advantages. And now their new leader is "unfortunately" disagree with such fraud.

"Never be on the (outsorced) consultants' side. Be on your office's side!" Said Ahok with an assertive tone. It's been widely known that corrupt officials are collaborating with naughty consultants to rob the budget.

Ahok is surely against all odds.

As one of his voters, I'm very glad to know that I did vote for the right candidates. Both Jokowi (the governor) and Basuki, I believe, are the best leaders Jakarta has ever had. We even never found such leaders in the country!

I wish their leadership pattern would affect the rest of the leaders in Indonesia. We ought to pray that God would send us more serving leaders like them, who always put in mind that they're serving the people, and because of that, there's never a chance for them to gain personal advantages.

Meanwhile, let's support Jokowi dan Basuki to bring us "Jakarta Baru". The new Jakarta.

And perhaps, as most of us wish so, Indonesia Baru. :)

Merangkul Kearifan Lokal - Mampir di Atena (5)



Sekejap mampirnya Paulus di Atena ini memang sangat tepat menggambarkan sebuah pelayanan pengabaran Injil yang kontekstual, artinya, yang merangkul kearifan lokal. Paulus tidak serta-merta mengacungkan telunjuknya kepada orang-orang di Atena sembari berteriak bahwa mereka semua adalah orang-orang kafir. Selain tidak etis secara sosial, tindakan ekstrem seperti itu hanya akan menjadi blunder bagi berita yang ia bawa, sebaik apapun itu. Penolakan bukan saja hanya akan datang dari penduduk Atena, melainkan juga dari rekan-rekan sepelayanannya.

Meskipun kita baca bahwa penyembahan berhala yang ada di Atena membuat Paulus sangat bersedih dan bahkan gusar, ia tak lantas menolak mentah-mentah semua "produk budaya" bangsa pagan itu. Memang, penyembahan berhala haruslah ditinggalkan karena tidak sesuai dengan iman Kristen, akan tetapi kita membaca bahwa Paulus tidak segan mengutip pernyataan pujangga Yunani yang selaras dengan kitab suci. Di sinilah perlunya pimpinan Roh Kudus agar hikmat Tuhan sendirilah yang memimpin kita dalam memilih dan memilah, manakah dari produk-produk tradisi dan budaya yang masih bisa dipertahankan dan manakah yang harus ditinggalkan karena tak bersesuaian dengan kitab suci.

Tanpa pimpinan dan hikmat dari Roh Kudus, kita bisa terjatuh pada sikap ekstrem, yakni menolak sama sekali semua produk budaya setempat, mencapnya sebagai budaya yang tidak alkitabiah, lalu berupaya menggantinya dengan produk budaya kita yang kita anggap lebih rohani, alias lebih berkenan di hadapan Tuhan. Sebaliknya, kita juga bisa tanpa sadar terperangkap ke dalam sikap ekstrem lainnya, yakni mengaminkan begitu saja semua tradisi dan kebudayaan setempat dengan alasan bahwa Tuhan juga berkarya di kebudayaan-kebudayaan masyarakat pagan. Memang benar bahwa Tuhan pastinya punya andil dalam tiap kebudayaan, namun bukan berarti bahwa semua produk budaya berasal dari Tuhan, bukan?

Roh Kudus akan menolong kita, pertama-tama untuk memiliki sikap yang tepat dalam menghadapi tradisi atau kebudayaan "lain", dan setelah itu, untuk memilah mana saja produk budaya yang bisa diterima--entah mentah-mentah ataupun dengan sedikit perubahan di sana-sini--dan mana saja tradisi dan budaya yang, karena tak bersesuaian dengan firman Tuhan, harus ditolak. Tradisi suku di pedalaman Papua yang membuang anak yang buruk rupa ketika lahir , misalnya, haruslah diupayakan agar tidak dilestarikan, alias dihentikan/dihapuskan. Demikian pula, misalnya, dengan kebiasaan berpesta yang berlebihan yang telah menjadi tradisi di sebagian kebudayaan negeri ini.

Setiap daerah pasti memiliki kearifan lokalnya sendiri yang bisa dirangkul sebagai jalan masuk untuk memperkenalkan kebenaran. Jika rasul Paulus menggunakan kutipan pujangga setempat yang dihormati untuk menjembatani jurang komunikasinya dengan penduduk Atena, lantas apa ya kira-kira kearifan lokal di tempat kita masing-masing, yang bisa digunakan untuk memperkenalkan Kabar Baik itu kepada para orang-orang di sekitar kita?

The Song of Ande Ande Lumut

The song sung in the video is tittled "Ande Ande Lumut," played in Keroncong music, one of native Indonesian music style from Java. The song tells a conversation between a mother and her son, Ande Ande Lumut. There are three girls who come for a competition to marry the son, and the mother, each time a girl comes, tells her son to come down and meet the girl. 

However, hough the first two girls are beautiful as the mother describes in the song, Ande Ande Lumut doesn't want to come down. In the original story, that's because those girls has allowed a bad character named Yuyu Kangkang to kiss them in return for helping them crossing the river. 

Finally, the third girl shows up, yet the mother isn't fond of her appearance. She looks so ugly. However, Ande Ande Lumut wants to come down and marry this girl this time. She didn't let Yuyu Kangkang to kiss her and even get rid of him using her magic weapon. 

The story tells us about the importance of one's purity, that the beauty of character is considered more valuable than outward look (of course, we all want both inward and outward beauty though ^_^). In our culture, things are beautufied only in terms of religious worships, not in daily lives. We believe in the strength/beauty of characters, not of appearances. 

Indonesia is culturally a rich country, and that's one of the reasons why I love her so much! Come to Indonesia and see it for yourselves. :)

Piramida Kristus - Mampir di Atena (4)



Adalah wajar jika setiap orang memiliki kerinduan untuk memiliki hubungan yang intim dengan Allah, karena ketika diciptakan pun, manusia mengalami proses yang berbeda daripada ciptaan yang lain. Manusia, sebagaimana dikisahkan di dalam kitab Kejadian, dibentuk oleh Allah dari debu tanah, kemudian dihembusiNya dengan nafas hidup (dalam bahasa aslinya, nafas hidup=ruah, yaitu roh). Jika semua ciptaan lain dibentuk dengan sabda atau perintah, manusia dibentuk langsung oleh tangan Allah dan diberikan kehidupan langsung dari mulut-Nya. Betapa intimnya! Maka tidaklah berlebihan, jika pujangga Yunani menyebut manusia sebagai keturunan Allah juga.

Perkataan pujangga Yunani tersebut menyingkapkan kerinduan terdalam setiap manusia, yakni untuk memiliki hubungan yang paling intim dengan Tuhan. Dan apalagi hubungan yang lebih dekat daripada hubungan antara bapak dengan anaknya? Dan lagi, bukankah itu yang dijanjikan Tuhan kepada umat-Nya (lih. Hos. 1:10), yang kemudian tergenapi di dalam Kristus (lih. Yoh. 1:12, Gal. 3:26)?

Kristus yang telah mati dan bangkit itulah yang selalu menjadi pokok pemberitaan Paulus. Kita bisa membaca kemudian, bahwa kalimat-kalimat yang "panjang dan lebar" itu berujung kepada pertobatan dan kesadaran manusia akan penghakiman Allah yang akan dikerjakan oleh Dia (Yesus) yang telah dibangkitkan dari antara orang mati. Dalam suratnya kepada jemaat di Kolose, Paulus menuliskan inti dari segala kegiatan pelayanan yang ia lakukan dengan sekuat tenaga, yakni bahwa Kristuslah yang diberitakannya, bukan yang lain (Kol. 1:28). Meskipun kebangkitan dari kematian bukanlah konsep yang umum diterima di dalam pemikiran Yunani, hal itu tetap harus diberitakan. Baginya, itu bukanlah sesuatu yang bisa ditawar.

Layaknya sebuah piramida, Paulus membangun dasar argumentasinya sedapat mungkin sesuai dengan alam pemikiran para pendengarnya. Jika ia berada di hadapan umat Yahudi, ia mengisahkan perjalanan sejarah bangsa Israel lalu mengutip ayat-ayat dari Taurat, sebelum akhirnya memperkenalkan Kristus, Mesias yang mereka nantikan. Di Aeropagus, Paulus menggunakan dasar yang sedikit berbeda seperti yang telah kita lihat di atas, yakni logika umum mengenai sifat dasar Allah.

Setelah menumpukkan logika dasar yang dibutuhkan, Paulus menutup pemberitaannya dengan meletakkan "pucuk piramida," yakni Yesus Kristus. Dalam memberitakan Kabar Baik, Paulus tidak pernah melakukannya dengan setengah-setengah. Sang rasul tidak pernah lupa memberitakan pokok dari iman Kristen yang ia imani: Yesus Kristus yang telah mati dan dibangkitkan menjadi Tuhan dan Juruselamat manusia!

[bersambung]

Antara Mitologi dan Kitab Suci - Mampir di Atena (3)


Dan, pemberitaan Paulus pun berlanjut. Setelah mengingatkan kepada penduduk Atena bahwa Allah yang sejati itu "self-sufficient," sehingga tidak tinggal di dalam bangunan buatan manusia atau memerlukan sedikit pun pelayanan dari manusia, sang rasul kemudian mengisahkan kepada mereka semua mengenai sejarah atau asal-usul manusia. Ia menarasikan bagaimana Tuhan membuat seluruh umat manusia dari satu orang saja. Narasi penciptaan dari kitab Kejadian tersebut "kebetulan" mirip dengan dua mitologi besar Yunani mengenai asal mula umat manusia, yakni Pelasgus yang lahir langsung dari bumi dan Phaenon yang diciptakan oleh Prometheus dari tanah liat.

Dari manakah sang rasul itu mengetahui adanya kisah yang serupa, yang bisa dijadikan sebagai "jembatan" untuk memberitakan Injil? Kita tidak tahu secara pasti. Bisa jadi, jauh di Yerusalem sana, Paulus memang adalah seorang pemuka yang rajin menyelidiki pandangan-pandangan lain, terutama yang diceritakan oleh orang Yahudi dari daerah-daerah sekitar Atena yang datang ke Yerusalem untuk beribadah. Mungkin pula, Paulus belajar dari penduduk Atena sendiri atau sekali-dua kali ia mengikuti "kuliah umum" yang dibawakan oleh pengajar-pengajar Yunani.

Bagaimana bisa, mitologi Yunani memiliki kemiripan dengan kisah-kisah di dalam kitab suci? Tak hanya asal manusia yang dari tanah, namun juga adanya air bah untuk menghukum seluruh bumi. Dan, bukan hanya Yunani, bangsa-bangsa lain pun memiliki mitologi yang mirip dengan itu. Beberapa ahli menyatakan bahwa Musa "menyontek" kisah-kisah yang berkembang pada zamannya, dengan kata lain, mereka menyangkal validitas Alkitab sebagai kitab yang diinspirasikan oleh Allah sendiri. Sebagian orang memang berupaya 

Akan tetapi, ada yang berbeda. Allah Alkitab memiliki narasi yang lebih jelas dan "jangkauan"-Nya pun lebih panjang dibandingkan Allah yang lain. Allah Israel tak hanya menciptakan langit dan bumi kemudian membuat segala sesuatu berjalan "otomatis," melainkan terus berkarya di dalam kehidupan umat-Nya. Allah Israel tak hanya berhenti di sebuah titik sejarah mitologis, melainkan terus-menerus merenda sejarah manusia. Adapun kisah-kisah yang mirip dengan kisah Alkitab, bisa kita pahami sebagai efek dari tersebarnya keturunan Nuh ke seluruh penjuru bumi. Kisah yang diceritakan oleh masing-masing anak Nuh kepada keturunan mereka sangat mungkin mengalami distorsi sesuai dengan perkembangan kebudayaan, politik, dan ekonomi lokal--termasuk di Yunani.

Allah yang sejati, Allah yang terus berkarya dalam kehidupan itulah yang diberitakan oleh sang rasul kepada penduduk Atena. Paulus tak hanya menggambarkan kepada penduduk Atena tentang Allah yang menciptakan umat manusia dari satu manusia pertama, melainkan Allah yang juga menentukan musim-musim (yang teratur) bagi tiap kediaman manusia. Lebih lanjut, ia menggambarkan lagi, "Ia tidak jauh dari kita masing-masing. Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada" (Kis. 17:27b-28a). Ia juga mengutip perkataan pujangga Stoa, Aratus, "Sebab kita ini keturunan Allah juga." Bertolak dari situ, sang rasul memberikan pemaparan logis bahwa dengan keberadaan manusia sebagai "keturunan Allah," maka pemikiran bahwa Allah yang ilahi itu ada di dalam patung-patung buatan manusia haruslah ditinggalkan.

[bersambung]

Mengenal Allah yang Sejati - Mampir di Atena (2)

Rasul Paulus mengawali pemberitaannya dengan menunjukkan penghargaannya terhadap ketekunan orang-orang Atena dalam beribadah. "Aku melihat bahwa kalian begitu religius," demikian kata sang rasul. Paulus kemudian mengungkap bahwa saking religiusnya bangsa itu, sampai-sampai ada sebuah altar yang ditujukan kepada "Allah yang tidak dikenal." Meski memiliki atau menyembah banyak "tuhan", jauh di dalam lubuk hati orang-orang Atena terdapat sebuah keraguan. Altar kepada Allah yang tidak dikenal itu menunjukkan bahwa jiwa mereka gelisah. Gelisah karena belum bertemu, apalagi mengenal Allah yang sejati.

C.S. Lewis pernah menyatakan, "Kamu bukan memiliki jiwa. Kamu adalah jiwa. Kamu memiliki tubuh." Kita adalah jiwa-jiwa yang bersifat kekal, yang berdiam di dalam tubuh-tubuh yang fana. Oleh karenanya, semua manusia pasti memiliki "sense of eternity," atau kesadaran akan kekekalan. Manusia bukanlah hewan atau tumbuhan, yang bertindak sesuai naluri untuk hidup dan berkembang biak. Manusia juga memperhitungkan aspek kekekalan dalam tindakan-tindakan yang diambilnya. Aspek kekekalan ini bisa bermacam-macam bentuknya. Ada yang melakukan sesuatu untuk meninggalkan nama baik, demi anak-cucu (generasi selanjutnya), agar "reinkarnasi"-nya lebih baik, ataupun agar terhindar dari neraka dan masuk surga.

Selain "sense of eternity," kita juga memiliki "sense of transendence," alias kesadaran akan transendensi--bahwa ada "sesuatu" yang jauh lebih besar dan berkuasa daripada kita semua. Itu sebabnya, tiap kebudayaan di dunia selalu berkaitan dengan hal-hal yang gaib, yang misterius, yang tak terjangkau oleh panca indera. Dalam kebudayaan Barat kuno, nasib atau takdir begitu ditakuti, dianggap lebih berkuasa daripada manusia. Itu sebabnya, kita mendapati apa yang disebut dengan (drama) tragedi. Alur cerita utama dalam tragedi adalah tokoh utama yang berupaya menjauhi takdir (biasanya berupa ramalan yang buruk tentang dirinya), namun di ujung petualangannya, takdir itu tak terelakkan dan ia gagal menghindarinya--entah mati, buta, atau yang lainnya.

Paulus melanjutkan pemberitaannya dengan mengatakan sebuah kalimat yang bagi sebagian orang akan disebut sebagai "kelewat percaya diri." Ia menyatakan bahwa "Allah yang tidak dikenal" itulah yang diberitakannya, yakni Pribadi Mahakuasa yang menciptakan bumi beserta isinya. Wah, pastilah orang-orang Atena itu makin penasaran. "Pelancong" ini ternyata memiliki informasi tentang Allah yang tidak mereka kenal. Paulus pun melanjutkan pidatonya dengan menjelaskan kepada mereka, bahwa Allah yang menciptakan langit dan bumi tidak mungkin tinggal di dalam kuil-kuil buatan manusia, juga tidak memerlukan apapun dari manusia, mengingat Dialah Sumber dari segala sumber.

Paulus memperkenalkan kepada orang Atena sesosok Ilah atau Sesembahan yang mutlak, berdaulat, dan independen. Sesosok Pribadi yang memang belum pernah mereka kenal sebelumnya. Paulus tahu, bahwa selain tekun beribadah, penduduk Atena adalah orang-orang yang "berpikir," yang berfilsafat. Ia dengan cerdik mengontraskan cara ibadah mereka dan logika tentang Allah yang berdaulat. Allah yang adalah sumber segala sesuatu, tidak mungkin membutuhkan apapun dari ciptaan-Nya. Ia adalah Pribadi yang mencukupi Diri-Nya sendiri, tak terkurangi, tak tertambahkan. Oleh karenanya, menganggapNya berdiam di dalam kuil-kuil buatan manusia atau membutuhkan sesuatu dari manusia merupakan pemikiran yang keliru.

Di masa kini, pemikiran yang kurang tepat tentang Allah itu sepertinya masih lestari. Bisa jadi, itu karena "warisan" dari kepercayaan nenek moyang yang diwariskan lewat produk tradisi dan budaya (tarian, nyanyian, peribahasa, kisah kepahlawanan, dan sebagainya), sehingga tanpa sadar hal itu ikut mempengaruhi kita dalam beribadah. Contoh paling mudah adalah masih ada (semoga tidak banyak atau makin berkurang) orang Kristen yang merasa tidak yakin akan keselamatan jiwanya setelah mati kelak. Padahal, untuk memastikan bahwa semua orang yang percaya bisa memperoleh hidup yang kekal itulah, Yesus turun ke dunia dan memberikan nyawa-Nya di Golgota! Itu mirip dengan orang Atena ribuan tahun lalu yang masih ragu akan "nasib"-nya setelah mati, sampai-sampai membuat "Altar cadangan," kalau-kalau yang mereka sembah bukan tuhan yang sebenarnya.

Bagaimana dengan kita saat ini? Adakah ibadah-ibadah yang kita lakukan (seperti ke gereja, berdoa, memberikan persembahan, beramal, terjun dalam kegiatan-kegiatan pelayanan, dan sebagainya) adalah wujud dari antisipasi atas ketidakpastian hidup setelah mati? Ataukah kita melakukan itu semua sebagai cerminan "gaya hidup penghuni surga"? Adakah kita masih terus berupaya untuk "membeli" kasih karunia Allah? Adakah kita masih beribadah seperti orang Atena pada masa Paulus itu, yang tidak mengenal Allah, yang tidak memiliki "privilege" untuk mengenal Dia lewat Kristus dan Alkitab?

[bersambung]

Mampir di Atena



Dalam salah satu perjalanannya, Paulus harus menunggu rekan-rekannya di Atena, Yunani. Atena pada waktu itu adalah sebuah kota metropolitan yang sangat terkenal oleh budaya dan tradisi pagan, alias penyembahan berhala, yang sangat kental. Laporan pandangan mata yang dituliskan oleh Lukas dalam kitab Kisah Para Rasul bisa memberikan petunjuk kepada kita mengenai bagaimana kondisi kota Atena pada waktu itu.

Lukas menuliskan bagaimana Paulus begitu sedih ketika mendapati bahwa kota Atena penuh dengan patung-patung berhala (Kis. 17:16). Hati Paulus bukan hanya "sedih," melainkan "begitu sedih." Terjemahan versi King James bahkan menuliskan bahwa pemandangan di Atena itu "menggusarkan roh" Paulus. Boleh dibilang, Paulus marah! Ia tidak bisa menerima bahwa masih ada orang yang disesatkan oleh penyembahan berhala.

Jika kita berada di dalam posisi Paulus, mungkin respon kita akan jauh berbeda. Mungkin, kita akan sibuk melihat-lihat keindahan kota Atena dengan patung-patungnya yang dibuat dengan keterampilan seni yang mumpuni. Adapun ritual-ritual keagamaan yang dilakukan oleh orang-orang Atena pada waktu itu adalah hal yang biasa dan tak perlu dicampuri. Toh, kita cuma "mampir" di Atena, cuma menunggu Silas dan Timotius. Untuk apa capek-capek mencampuri urusan penduduk lokal?

Sebagian dari kita mungkin akan bersikap lain lagi. Kita hanya akan memandang semua aktivitas pagan itu dengan tatapan sinis. "Lihat betapa sesatnya mereka!" Mungkin itu yang akan kita pikirkan, sambil menepuk dada karena kita telah mengenal iman yang sejati. Atau, mungkin kita menjadi tidak tahan dengan kesesatan di Atena dan memilih untuk berpindah ke kota lain yang "mendingan."

Akan tetapi, respon hati Paulus sungguh luar biasa. Ia gusar dengan penyembahan berhala, dan ia tak mau menghabiskan waktu luangnya untuk "cuti" sembari menikmati keindahan kota Atena. Lukas mencatat, Paulus segera pergi ke tempat-tempat yang memungkinkan untuk bertukar pikiran. Di pasar, di rumah ibadah, di mana saja ada yang bisa diajak "berdebat." Pada waktu itu, lapor Lukas, penduduk Atena tidak memiliki kegiatan lain selain mendengar atau menceritakan hal-hal dan pengajaran-pengajaran baru. Tak heran, Yunani merupakan tempat lahirnya para filsuf dan pemikiran-pemikiran besar dunia.

Gentarkah Paulus dengan "nama besar" orang Yunani dengan segala pemikiran besar yang mereka hasilkan? Lukas mencatat sebaliknya. Paulus bahkan beradu pendapat dengan orang-orang dari golongan Epikuros dan Stoa, yang hingga hari ini masih diajarkan dalam pelajaran-pelajaran sejarah filsafat. Tak hanya berani beradu pendapat, Paulus bahkan melakukannya secara terbuka dan intens, sampai-sampai orang-orang Atena menjadi penasaran dan mempersilakannya untuk berbicara di Aeropagus, sebuah tempat yang dikhususkan untuk semacam kuliah atau seminar publik, untuk menceritakan lebih gamblang dan lebih luas mengenai "paham baru" yang ia usung. Sebuah kesempatan yang tak disia-siakan oleh sang rasul.

[bersambung]


My Grandma Passed Away Today


My grandma passed away today. This morning, I received a text from my father, telling that she had been called by God about two hours earlier. She’d been in the treatment for her cancer in her 70s, but she looked tough,as long as I remember.

My grandma was a strong lady, perhaps because she was a midwife. But I’d prefer to say that she gained her strength from the Lord. It  was her strong faith and zealous in the Lord that I most remember of my grandma. There were times when I visited her and found the house was empty because she was going out for church ministry.

I also recall how she always told me to pray a thanksgiving, not just before, but also after I had my meal—long time ago, as I was a little boy.

When I visited her in the hospital a couple of months ago, she said that it was her first time being a patient. Usually, it was her who took care of patients. To my memory, she looked so energetic, and around ten days ago when my wife and I met her, there was no sign of despair. Not at all.

On the contrary, she appeared healthy, telling us, especially my wife who’s expexting a baby, to be active so the birth process would be less painful. She was also very happy to tell us how the Lord has blessed her with health and strength.

But the Lord has all the more beautiful plan for her. Her faithfulness has been a great example for the family. Her eyes has seen the Lord’s blessing all over her life. She has had the chance to see her great grand sons. And just like Paul the apostle, she has been faithful until the end, more than ready to see her Saviour.

So long, grandma, we’ll meet again in the much better place than this.We’re gonna follow your footsteps of faith, until we see each other again.

We're pilgrims on the journey of the narrow road
And those who've gone before us line the way
Cheering on the faithful, encouraging the weary
Their lives a stirring testament to God's sustaining grace

Surrounded by so great a cloud of witnesses
Let us run the race not only for the prize
But as those who've gone before us
Let us leave to those behind us
The heritage of faithfulness passed on through godly lives

CHORUS:
Oh may all who come behind us find us faithful
May the fire of our devotion light their way
May the footprints that we leave
Lead them to believe
And the lives we live inspire them to obey

Oh may all who come behind us find us faithful

After all our hopes and dreams have come and gone
And our children sift through all we've left behind
May the clues that they discover and the memories they uncover
Become the light that leads them to the road we each must find

REPEAT CHORUS

Oh may all who come behind us find us faithful
Oh may all who come behind us find us faithful

[Steve Green – Find Us Faithful]

Aku di Dalam Aku


Tuhan, aku ini penuh dosa.
Terlalu pekat,
Tak layak Kau beri Karunia.
Dan aku penat.

Tuhan, bibirku seletih hatiku,
Terlalu sering mengucap
Janji setia kepadaMu.
Hanya bertahan sekejap.

Karena sejurus kemudian,
Aku kembali berpaling.
Engkau—lagi-lagi—kuabaikan.
Kuanggap bak anjing.

Tuhan, tinggalkanlah pendosa ini.
Untuk apa dia Kau urusi?
Demi apa dia Kau kasihi?
Demi apa Engkau rela mati?

Tuhan, Tuhan, kusebut nama-Mu
Sepanjang hari sebanyak
Aku mengkhianatiMu.
Masihkah aku layak?

Namun, Tuhan, jika Engkau bersikeras
Tak hendak tinggalkanku,
Maka tolonglah aku melepas
Aku di dalam aku.

Kakek Renta yang Menyanyi



Kawan, sudah pernahkah kuceritakan kepadamu tentang sebuah peristiwa yang membuatku malu? Tentang seorang kakek renta yang bernyanyi? Maafkan jika engkau sudah pernah mendengarnya, tapi anggap saja engkau belum pernah mendengarnya, sekali ini saja.

Peristiwa itu terjadi bertahun-tahun silam, tepatnya pada kebaktian penghiburan sepeninggal nenekku. Di gereja tempat nenekku berjemaat, memang sudah ada semacam tradisi yang baik, yakni menyelenggarakan kebaktian penghiburan di rumah anggota jemaat yang meninggal.

Kebaktian itu tentu saja bukan untuk mendoakan keselamatan jiwa nenekku, karena beliau sudah berada di dalam kasih karunia, dan kami tahu beliau sudah tenang bersama Bapa. Kebaktian penghiburan itu, Kawan, diadakan sebagai wujud solidaritas jemaat yang lain kepada keluarga yang ditinggalkan.

Di tengah-tengah berlangsungnya kebaktian, Kawan, terjadilah peristiwa itu. Pada waktu bapak pendeta memberikan kesempatan kepada jemaat yang hadir untuk memberikan kesaksian, berdirilah kakek renta yang aku tak tahu namanya hingga kini, dan mulai bernyanyi.

Tidak ada iringan musik. Kami di desa, dan jemaat memang terbiasa untuk memuji Tuhan secara acapela, kecuali di gereja. Lagu yang dinyanyikan si kakek, aku sudah tak ingat lagi. Satu-satunya hal yang kuingat, Kawan, adalah suaranya pas-pasan, kalau tidak boleh dibilang sumbang.

Semua jemaat diam mendengarkan, tak ada yang berbisik-bisik membicarakan, apalagi menertawakan. Setelah selesai menyanyikan satu lagu, kakek renta itupun duduk kembali ke tempatnya. Acara pun dilanjutkan kembali.

Mungkin peristiwa itu terdengar sepele bagimu, hanya kisah tentang seorang kakek tua yang menyanyi dengan nada sumbang. Akan tetapi, kejadian yang sederhana dan berlangsung singkat itu mengubah cara pandangku terhadap pelayanan.

Meski bukan suara yang merdu, Tuhan pasti senang sekali mendengar nyanyian kakek renta itu. Ketika aku mendengarnya bernyanyi, yang menyeruak masuk ke dalam batinku adalah rasa malu. Aku malu, karena si kakek yang mengajukan diri secara sukarela, sementara aku yang masih muda, seringkali masih harus dipaksa untuk melayani.

Aku malu, karena kakek renta itu melayani tanpa dibebani oleh standar-standar kesempurnaan buatan manusia. Di telinga manusia, mungkin suara kakek itu kurang layak diperdengarkan, akan tetapi, Tuhan lebih mendengarkan suara hati, bukankah demikian?

Ah, Kawan, aku jadi teringat sebuah kisah di negeri Israel kuno, bagaimana Tuhan justru menyuruh Samuel untuk mengurapi anak Isai yang paling bungsu sebagai raja Israel menggantikan Saul, Daud namanya. Tuhan mengingatkan hamba-Nya itu bahwa Dia tidak menilai manusia berdasarkan penampakannya, melainkan hati orang tersebut.

Itulah, Kawan, sekelumit kisah yang kemudian membuatku berubah. Sejak malam itu, aku bertekad akan menjadi seperti kakek renta tersebut. Aku takkan lagi ragu melayani Tuhan dengan apa yang aku miliki. Aku juga tak lagi merasa terbebani dengan perfeksionisme manusiawi yang justru dapat membuatku menunda-nunda dalam melayani Tuhan.

Kakek renta yang menyanyi itu, Kawan, telah dipakaiNya untuk menyadarkanku akan apa arti melayani dengan hati. Semoga kau dan aku bisa meneladani kakek renta itu, Kawan, melayani tanpa beban kesempurnaan dan dengan rela hati. Amin.

Mengedit Kesalahan Kita





Seperti yang diberitakan oleh TIME kemarin (25/6), Facebook “membolehkan” para penggunanya untuk mengedit komentar yang terlanjur mereka ketik. Di bagian kanan dari komentar kita, kita akan bisa melihat pilihan untuk mengedit ataupun menghapus komentar tersebut.

Sebenarnya meski dibilang baru, fitur ini sudah ada sejak lama dan sudah cukup sering saya gunakan. Mungkin, yang dikatakan baru adalah adanya tulisan “edited” di bawah tiap komentar yang telah diedit. Jika diklik, kita bisa melihat komentar aslinya sebelum diedit.

Bagi saya, ini juga sebenarnya fitur yang tidak begitu signifikan—untuk tidak mengatakan mubazir, mengingat toh kita bisa saja menggunakan cara “copas,” alias menyalin tulisan yang ingin kita perbaiki, menghapusnya, kemudian menempelkan (paste) tulisan yang tersalin tersebut ke dalam kolom komentar baru, kemudian kita perbaiki bagian yang perlu diperbaiki. Lalu, apa pentingnya bagi kita untuk melihat komentar asli kita atau orang lain sebelum diedit?

Mengedit kesalahan
Di dunia nyata, mungkin kita ingin sekali memiliki “fitur ajaib” seperti yang ada di Facebook tersebut. Kita mungkin telah melakukan sesuatu hal yang saat ini kita sesali dan berharap bisa memperbaikinya. Kita bahkan berharap bisa memutar waktu agar tidak melakukan kesalahan yang sama. “Andai aku bisa memutar kembali waktu yang t’lah berjalan…” begitu senandung Chrisye dalam salah satu lagunya.

Penyesalan memang selalu datang di akhir,” tulis seorang teman dalam sebuah status di Facebook, “kalau datang di awal, itu namanya pendaftaran.” Sebuah ungkapan yang lucu, tapi memang penyesalan seperti itu: selalu datang setelah kita melakukan sebuah “kesalahan.”

Kesalahan yang ingin kita perbaiki mungkin berupa tindakan, perkataan, ataupun apatisme. Salah seorang asisten pak Ciputra pernah mengatakan bahwa yang membedakan antara penyesalan orang muda dan orang tua adalah, orang muda seringkali menyesal atas apa yang telah mereka lakukan, sedangkan orang tua sebaliknya, seringkali menyesal atas apa yang tidak mereka lakukan.

Sayangnya, tidak semua kesalahan bisa kita perbaiki. Kata-kata yang terlanjur diucapkan dan didengar orang lain tak bisa ditarik. Meski ada permintaan maaf, kata-kata tersebut tak bisa kita hapus dari ingatan semua pendengar. Demikian pula dengan sikap ataupun perbuatan kita. “The wound heals, but the scar remains,” ungkap grup band Poison dalam lagunya yang berjudul Every Rose Has Its Thorn. Luka mungkin sembuh, namun bekas lukanya tetap membekas.

Layaknya fitur edit komentar Facebook di atas, kesalahan kita—meski mungkin hanya salah ketik—tak bisa disembunyikan. Maksimal yang bisa kita lakukan untuk mengedit kesalahan kita dan menghilangkan jejak kesalahan itu adalah menghapus komentar yang terlanjur ditulis lalu menuliskan komentar baru. Tapi tetap saja, layanan surat elektronik (surel) dari Facebook bekerja cepat, sehingga komentar yang telah dihapuspun tetap terkirim ke alamat surel setiap orang terkait (pemilik posting, orang-orang yang ditandai/tag, dan pemberi komentar lain).

Rekomitmen
Tentu saja saya tidak menganjurkan kita untuk membiarkan sebuah kesalahan tanpa koreksi. Yang saya ingin sampaikan adalah, pertama-tama, agar kita berpikir lebih jauh sebelum melakukan sesuatu, entah perkataan ataupun perbuatan. Jangan sampai kita menjadi orang yang gegabah dan sembrono, yang kemudian menyesali perkataan ataupun perbuatan kita. Meski berada di dunia yang serba cepat, kita tetap harus belajar untuk menahan diri, untuk meluangkan waktu barang sejenak untuk menimbang apapun yang hendak kita katakan atau lakukan.

Di sisi lain, sebagai manusia tentunya kita pernah melakukan kesalahan. Bahkan perkataan atau perbuatan yang telah kita pertimbangkan masak-masak pun bisa jadi berjalan tidak sesuai harapan kita dan menjadi kesalahan yang kita sesali. Jika kesalahan tersebut bisa diperbaiki, tentu kita bertanggung jawab untuk memperbaikinya.

Akan tetapi, bagaimana dengan kesalahan yang pernah kita lakukan dan tidak bisa kita perbaiki? Bagaimana, misalnya, jika kita secara tak sengaja menyinggung hati teman atau anggota keluarga kita? Mungkin kita bisa meminta maaf, namun tentu saja itu tak cukup. Kita tentunya harus berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Bagaimana jika ada seseorang yang meminta maaf atas kesalahan yang pernah dilakukannya terhadap kita, namun mengulang kembali kesalahan yang sama keesokan harinya? Tentu kita akan mempertanyakan permintaan maafnya itu kan?

Oleh karena itu, ada hal yang penting untuk dilakukan setelah meminta maaf, yakni rekomitmen. Kita harus berkomitmen ulang untuk tidak melakukan kesalahan yang sama. Hanya dengan itulah orang-orang bisa melihat kesungguhan permohonan maaf kita. Hanya dengan menjalani hidup dengan komitmen yang baru sajalah, kita membuktikan diri kita benar-benar telah menyesal dan berupaya memperbaiki kesalahan.

Marilah kita menjadi orang-orang yang kritis berpikir dan bijak bertindak, sehingga kita tak usah repot-repot mengedit kesalahan yang semestinya tak perlu kita lakukan. Dengan demikian, waktu dan tenaga yang mungkin akan terbuang untuk mengedit kesalahan tersebut bisa kita manfaatkan untuk mengerjakan hal-hal lainnya.

Salam kritis! Salam bijak!

Your Love Is My Battery



Your love is my battery,
So I could live my life brightly;
And your love is my coffee,
So I could live my life lively!

Your love is my river flow,
So my life wouldn’t be so hollow;
And your love is my rainbow,
So my life wouldn’t be boring so!

Kasih Adalah Kunci


manusia itu sebenarnya sadar bahwa tiap orang diciptakan berbeda-beda, namun tetap saja menginginkan agar semua orang menjadi sama seperti dirinya.

mungkin itulah perwujudan ego yang ada di dalam diri manusia, "cipratan" sifat dari Tuhan yang memang senantiasa menginginkan agar manusia meneladaniNya.

bedanya, manusia menginginkan keseragaman demi memuaskan egonya, sedangkan Tuhan menginginkan keserupaan manusia dengan Diri-Nya demi kebaikan mereka.

kunci yang membedakan adalah kasih. oleh karena kasih itulah, Allah yang sangat jauh berbeda dengan manusia rela merendahkan diri dan menjadi sama seperti ciptaan-Nya yang penuh dosa itu.

kasih adalah kunci untuk memasuki pintu perbedaan.

tanpa kasih, Yesus tak mungkin mau bergaul dengan orang berdosa. tanpa kasih, Yesus tak mungkin mau berbicara dengan perempuan Samaria. dan, bagaimana mungkin Yesus rela mengorbankan Diri-Nya, jika Dia tak memiliki kasih di dalam hati-Nya?

Hidup Itu Sekedar Mampir Minum


Suasana Katedral di Jumat pagi itu begitu teduh. Matahari masih belum begitu meninggi ketika aku melangkahkan kakiku ke dalam gedung yang letaknya berseberangan jalan dengan masjid Istiqlal itu. Belum banyak orang yang datang, tentu saja karena hari itu bukan hari Minggu.

Aku masuk lewat pintu samping. Di dalam, hanya ada dua-tiga orang yang ada di dalam. Berdoa. Aku berjalan melewati deretan kursi panjang yang banyak, mencari tempat yang cukup nyaman untuk berdoa pula. Begitu duduk, kesunyian langsung menyergapku. Bukan kesunyian yang mengerikan seperti di film-film horor, namun kesunyian yang menenangkan. Rasanya semua kebisingan yang ada di dalam kepalaku langsung terdiam, seperti sirnanya tangisan bayi begitu ia didekap ibundanya.

Akupun segera terhisap ke dalam "kesunyian bundawi," kesunyian Ilahi itu. Seluruh isi hati tertumpah tanpa ragu ataupun malu, karena aku tahu, bahwa aku sedang mengadu kepada Pribadi yang mengasihiku bahkan semenjak dosa-dosa masih mengotori jiwaku, semenjak aku masih memusuhiNya dalam keliaranku, dalam ketidaksadaranku.

Selepas berdoa, aku baru menyadari bahwa ternyata kesunyian itu tak sendiri. Ada keriuhan yang berasal dari langit-langit gereja, yang ajaibnya, bukannya memecah kesunyian, suara-suara itu justru menambah khidmat dan syahdunya suasana. Suara-suara itu berasal dari burung-burung gereja yang memuji Tuhan dengan cara mereka sendiri. Sungguh, riuh-rendah kicau mereka justru makin menenangkan jiwaku, membawaku terbang tinggi kepada hadirat Tuhanku.

Sungguh sebuah pengalaman yang tak terkatakan. Sebuah anugerah, karena tak mungkin seorang pendosa sepertiku bisa menikmati orkestra surgawi yang dibawakan oleh burung-burung gereja itu kalau Dia tak mengijinkannya.Kalau tidak, tentu aku akan melewatkannya, dan seperti kebanyakan orang, aku hanya akan menganggap kicauan burung-burung itu sebagai sebuah peristiwa yang alami, yang wajar, yang biasa.

Mungkin sebagian orang akan berkata bahwa menikmati hal-hal seperti itu hanya masalah perspektif, namun benarkah demikian? Tidak bagiku. Ada berapa banyak orang yang dilahirkan tuli sehingga tidak bisa mendengarkan suara apapun, termasuk kicauan burung-burung gereja itu? Ada berapa banyak orang yang terlalu sibuk dengan urusan-urusan hidupnya, sehingga tak pernah sempat (atau menyempatkan diri) untuk menikmati hidup itu sendiri? Ada berapa banyak orang yang hatinya terlalu bising dengan segala kekuatiran, kecurigaan, dan kebencian, sampai-sampai tak sanggup melihat indahnya kehidupan?

Benarlah apa yang dituliskan oleh Pengkhotbah, "sebab siapakah dapat makan dan merasakan kenikmatan di luar Dia?" Tanpa Tuhan, tak ada seorangpun yang dapat merasakan kenikmatan. Dunia ini hanya bisa menawarkan kenikmatan-kenikmatan imitasi yang tak ubahnya seperti air laut, melimpah, namun sama sekali tak bisa menawar dahaga. Air laut itu makin diminum justru memperbesar rasa haus kita! Ibaratnya, ribuan liter kenikmatan "air laut" yang ditawarkan dunia itu kalah nikmat dibandingkan segelas kenikmatan "air putih" yang dari Tuhan.

Apakah yang sedang kau kejar dalam hidupmu yang sekejap itu? Pastikan kamu mengejar apa yang benar-benar nikmat dan memberikan kepuasan sejati. Pastikan kamu mengejar pengenalan akan Dia yang adalah Sumber Kenikmatan itu. Dengan demikian, kamu takkan perlu menghabiskan banyak waktu, uang, dan tenaga, untuk menikmati hidup ini, seperti yang dilakukan kebanyakan yang merasa bisa hidup sendiri di luar Dia. "Urip iku mung mampir ngombe," demikian bunyi pepatah Jawa. Hidup itu sekedar mampir (sebentar untuk) minum.

Pertanyaannya, air manakah yang akan kamu minum? Air laut yang ditawarkan dunia, ataukah air putih yang ditawarkan Tuhan?

Pilgub DKI: Memilih Untuk Jakarta yang Lebih Sejahtera!


 Tanggal 11 Juli nanti, Jakarta akan menyelenggarakan pesta demokrasi, alias Pemilihan Gubernur Periode berikutnya. Pilkada ini akan menjadi “pesta” yang lebih semarak, khususnya oleh jumlah pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang telah siap berlaga. Ya, jumlah kontestan Pilgub DKI kali ini memang cukup banyak, yakni enam pasangan calon. Selain dari incumbent (Fauzi Bowo – Nachrowi Ramli), ada pula Joko Widodo – Basuki Tjahaja Purnama, Hidayat Nur Wahid – Didik J Rachbini, Alex Noerdin – Nono Sampono, Hendardji Soepandji – Ahmad Riza Patria, dan Faisal Basri – Biem Benyamin. Dua pasangan terakhir juga unik, karena merupakan calon independen (tanpa partai pengusung).

Ini akan menjadi pilgub kedua bagi DKI Jakarta setelah era penunjukan langsung berakhir. Sebagai pengingat, pilgub sebelumnya dimenangkan oleh pasangan Fauzi Bowo – Prijanto. Rival Foke—panggilan untuk Fauzi Bowo—pada waktu itu adalah Adang Daradjatun, mantan Wakapolri. Adang adalah suami dari Nunun Nurbaeti, yang saat ini menjadi tersangka kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Miranda Goeltom. Entah karena trauma dengan kepemimpinan dari kalangan militer atau terhanyut oleh sesumbar Foke yang mengaku dapat mengatasi permasalahan banjir di Ibukota RI dengan memamerkan gelar doktor dari Belanda dan slogan “serahkan pada ahlinya!” tersebut, mayoritas warga DKI pun memilih pria berkumis itu sebagai pemimpin mereka.

Saya tidak memilih Foke pada pemilihan terdahulu. Alasannya sederhana saja: saya belum menjadi warga Jakarta. Suatu hal yang patut disyukuri, karena itu berarti saya tidak salah memilih. Sama halnya saya bersyukur tidak memilih SBY pada dua Pemilu terakhir. Bagi saya, dia itu “hasil karbitan,” dan negeri seperti inilah yang dihasilkan dari seorang pemimpin yang tak punya pengalaman dalam dunia politik. Karena berangkat dari kemiliteran, SBY mungkin lupa, bahwa di dalam politik, tak semua bawahan akan tunduk begitu mendengar instruksinya. Ada “tawar-menawar” di sana. Sepertinya, tawar-menawar itulah yang menjerat SBY sehingga kepemimpinannya tak bisa berjalan dengan maksimal. Di era diktator seperti Suharto, politik tawar-menawar ini mungkin bisa diminimalisir, namun tidak di era reformasi. Semua memiliki kedudukan yang setara dan bisa sewaktu-waktu saling menjatuhkan.

Kembali ke Pilgub DKI, saya pasti akan meluangkan waktu untuk memilih calon yang saya anggap paling mumpuni dan telah teruji dalam kepemimpinan dan dunia politik. Saya akan memilih pasangan calon yang tak hanya tahu liku-liku birokrasi, namun juga tahu bagaimana memakainya untuk menyejahterakan rakyat—dan bukan malah “menjual” mereka demi mempertebal dompet sendiri. Meskipun mungkin saja orang yang saya pilih tidak memenangkan pilkada kali ini, setidaknya saya telah memilih sesuai dengan akal budi dan hati nurani. Kalaupun hari itu tidak libur, saya akan ambil jatah cuti agar bisa memilih calon pemimpin Ibukota RI ini. Setidaknya, itulah kontribusi saya bagi Jakarta. Itulah bentuk “balas jasa” saya kepada kota yang telah rela saya tinggali ini. Semoga pasangan calon yang saya pilih benar-benar bisa mendulang suara yang banyak untuk bisa memenangkan Pilkada DKI 2012 nanti.

Seandainya saya bukan warga Jakarta, saya mungkin hanya bisa memberikan semangat kepada warga kota metropolitan itu untuk tak segan memberikan suara mereka kepada pasangan calon yang paling tepat untuk memimpinnya. Akan tetapi, saat ini saya adalah salah satu calon pemilih dalam Pilgub DKI. Saya tidak akan sekedar memberi semangat, tapi juga berangkat ke Tempat Pemilihan Suara untuk ikut membuat pilihan demi perikehidupan kota Jakarta yang lebih baik di masa mendatang. Bisa dibilang, baik-buruknya masa depan kota ini bergantung pula di pundak saya. Tentu saja, selain lewat memberikan suara, ada banyak hal lain yang bisa saya kerjakan sebagai wujud konstribusi saya bagi Jakarta. 

Akan tetapi, bisa dikatakan pula bahwa pemberian suara lewat pilkada seperti ini merupakan kontribusi terbesar yang bisa saya berikan sebagai warga awam yang “numpang hidup” di kota ini. Bahkan bagi saya, ikut memilih dalam Pilgub DKI kali ini bukanlah pilihan, melainkan sudah menjadi tanggung jawab moral dan sosial saya sebagai salah satu penduduk kota. Golput, alias tidak memilih, mungkin bisa dilakukan sebagai tindakan civil disobedience, namun tidak di dalam pilkada yang “ramai” dengan enam pasangan calon ini.

Lagipula, umat Tuhan tidak pernah mendapat legitimasi untuk menolak berpartisipasi dalam pembangunan dan upaya penyejahteraan rakyat, sekalipun mereka berada dalam “kota pembuangan.” Perintah Tuhan lewat nabi Yeremia beribu tahun yang lalu pun masih relevan hingga saat ini, “Usahakanlah  kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu” (Yeremia 29:7). Mari memilih, kawan, untuk Jakarta yang lebih sejahtera! J

No Pic = Hoax? Belum Tentu…


Ungkapan di atas sudah jamak di berbagai jejaring sosial. Karena mekanisme jejaring sosial dikelola secara massal oleh akun-akun yang tidak saling mengenal, maka jika ada sebuah informasi atau pernyataan yang sukar dipercaya atau tanpa sumber yang jelas, akun yang menyampaikan informasi ataupun pernyataan tersebut biasanya diminta untuk menunjukkan bukti berupa rekaman gambar ataupun video.

Misalnya, jika saya menceritakan sebuah informasi mengenai keberadaan mahluk luar angkasa ataupun mahluk gaib, maka beban pembuktian ada pada diri saya. Jika saya tidak bisa memberikan rekaman gambar ataupun video untuk membuktikan pernyataan saya, maka informasi yang saya sampaikan tidak akan sepenuhnya dipercayai. Komentator yang skeptis biasanya akan langsung menulis, no pic = hoax, yang kurang lebih bermakna bahwa tanpa gambar, informasi saya dianggap sebagai berita bohong (hoax).

Akan tetapi, di era yang penuh persaingan ini, nampaknya kita sebagai “warga” jejaring sosial perlu menyadari bahwa tak selamanya rekaman gambar atau video itu menjamin kebenaran sebuah informasi ataupun pernyataan seseorang. Di zaman komputer, orang bisa merekayasa gambar dan bahkan video agar sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan. Gambar atau video bisa sekaligus digunakan sebagai alat bukti dan alat fitnah. Yang kedua ini yang berbahaya, karena bukankah fitnah lebih kejam daripada pembunuhan? Dalam pembunuhan, korban adalah korban; artinya, ia berada dalam posisi yang mengundang simpati publik.

Sangat berbeda dengan fitnah, karena hal itu adalah pembunuhan terhadap karakter seseorang. Publik digiring untuk memiliki persepsi yang berbeda 180 derajat terhadap korban, dan tentunya bukan sebagai pahlawan, melainkan sebagai orang jahat. Setidaknya, jika korban fitnah adalah orang jahat, maka fitnahan itu melipatgandakannya, sehingga dia nampak “amat sangat jahat sekali.” Nah, di sini, beban pembuktian justru berada pada sang korban untuk membuktikan bahwa rekaman gambar ataupun video yang dituduhkan kepadanya itu sesungguhnya adalah tidak benar.

Berikut ini ada dua contoh gambar yang menyudutkan pihak tertentu dan sempat menimbulkan kehebohan di dunia jejaring sosial, namun di kemudian hari baru ketahuan bahwa itu adalah gambar rekayasa. Gambar pertama adalah gambar tagihan restoran yang menampakkan jumlah tagihan dan tips yang sangat kecil, dengan tambahan tulisan tangan, “cari kerja sungguhan.” Sedangkan gambar kedua menampakkan sesosok anak kecil yang membawa kertas dan sedang diinjak oleh seorang serdadu lengkap dengan senapan otomatis.


Gambar yang pertama berkaitan dengan sentimen “99 persen” yang beredar di Wall Street hingga ke berbagai bagian dunia, termasuk Indonesia (beberapa waktu lalu, ada gerakan menduduki gedung Bursa Efek Jakarta). Gerakan 99% ini ditujukan kepada para pialang di bursa saham yang dituding sebagai pemicu kemerosotan ekonomi di AS dan negara-negara Eropa. Gambar tersebut tentunya menimbulkan kebencian yang makin mendalam terhadap kaum “1 persen” yang sedang “difitnah” tersebut. Namun tak lama kemudian, muncul bukti bahwa ternyata jumlah tagihan, tips, dan tulisan tangan tersebut hanyalah hoax semata. Situs pengunggahnya pun buru-buru “gulung tikar” begitu kebenaran gambar tersebut terbongkar.


Sementara itu, gambar kedua diunggah sebagai fitnahan terhadap tentara Israel. Tentara Israel digambarkan sebagai sosok yang “super” kejam dan tidak berperikemanusiaan. Siapapun yang melihat gambar itu sekilas pandang pasti akan memikirkan hal yang sama. Namun beberapa waktu kemudian, gambar sebenarnya dari foto itu pun terungkap. Ternyata gambar itu berasal dari semacam pawai atau festival, dan peristiwa penginjakan itu hanyalah sebuah aksi teatrikal.


Kita berada di zaman sarat informasi. Jutaan informasi tiap hari seakan-akan berebut untuk memasuki kepala kita, dan semuanya itu tanpa ada penyaring yang jelas. Kedewasaan dan kewaspadaan kitalah penyaringnya. Oleh karena itu, adalah penting bagi kita untuk memiliki sikap skeptis terhadap semua informasi yang kita terima. Skeptis ini berarti tidak mudah percaya kepada satu sumber, kecuali ada sumber sahih lain yang mengkonfirmasi atau menyanggahnya. Ini memang bukan hal yang mudah, tapi mau tidak mau harus kita lakukan. Karena jika tidak, kita bisa terjebak dalam agenda pihak-pihak yang belum tentu bermaksud baik. Ujilah segala sesuatu dan peganglah apa yang baik, demikian nasehat seorang bijak yang hidup sekitar dua ribu tahun yang lalu. Nasehat yang masih relevan hingga saat ini. Salam skeptis!

Instagram Kehidupan


Lingkungan kumuh yang diperindah dengan Instagram

Jika anda belum tahu apa itu Instagram, dia adalah sebuah aplikasi olah gambar yang paling banyak digunakan oleh pengguna media sosial saat ini. Dengan aplikasi ini, gambar-gambar yang tertangkap oleh kamera ponsel kita bisa "didandani" sedemikian rupa sehingga nampak indah. Dan, penggunanya tak butuh keahlian khusus untuk itu.

Pada dasarnya, Instagram menambahkan efek-efek tertentu pada gambar objek yang tertangkap kamera kita untuk kemudian dipamerkan kepada khalayak ramai (teman-teman di Facebook, pengikut di Twitter, dsb.).

Dalam kehidupan sehari-hari, kitapun memiliki "Instagram" masing-masing. Sebagai manusia yang diciptakan oleh Tuhan yang Mahaindah, kita tentu juga memiliki ketertarikan pada keindahan. Kita tak begitu suka dengan hal-hal yang tidak sedang dipandang dan berusaha menjauhi atau membuatnya menjadi enak dilihat. Kita kemudian menciptakan "Instagram-instagram kehidupan" untuk mewujudkannya.

Tak butuh waktu lama bagi kita untuk tenggelam dalam efek-efek yang sesungguhnya sama sekali berbeda dari objek. Kita kemudian mengejar berbagai sensasi, bukannya esensi. Kita mencoba untuk menghibur diri sendiri dengan berbagai perkataan yang menyejukkan hati. Sadar ataupun tidak, kita belajar untuk mengingkari realitas yang sebenarnya dan terseret ke dalam realitas rekaan yang membuat kita lebih nyaman.

Kita mendambakan hidup yang indah dan penuh romantika, sementara kita sendiri sadar bahwa kondisi dunia yang kita diami ini (sangat) jauh dari harapan ideal itu. Alih-alih belajar untuk merangkul manis-pahit kehidupan, kebanyakan kita lebih suka memakai "Instagram kehidupan". Kita mungkin sadar bahwa itu hanya membantu kita untuk mengingkari realitas dan bukan mengubahnya, namun kita seolah telah kehilangan daya dan terlanjur merasa nyaman dengannya.

Di luar, kita nampak sebagai pribadi yang menyenangkan, tegar, dan patut menjadi teladan. Akan tetapi, orang-orang tidak tahu betapa sering kita menangisi kemalangan hidup kita ketika kita sedang sendirian. Orang mungkin melihat kita sebagai sosok yang alim dan beriman teguh, namun apakah mereka tahu bagaimana keseharian hidup kita, terutama ketika berada seorang diri?

Kita punya banyak koleksi kata-kata mutiara (termasuk ayat-ayat dari kitab suci) yang bisa kita kutip setiap saat untuk mengundang decak kagum orang lain, kita menyimpan ribuan senyum dan tawa di dalam bibir kita agar orang lain mengagumi ketegaran kita dalam menjalani hidup. Akan tetapi, adakah itu semua keluar dari dalam hati ataukah sekedar "Instagram kehidupan," hanya kita dan Tuhan sendiri yang tahu.

Instagram memang aplikasi yang sangat bagus, namun bukan berarti harus digunakan tiap kali kita memotret sebuah objek. Ada kalanya kita harus melepaskan kamera itu dan memandang dunia ini dengan mata yang dikaruniakan Tuhan kepada kita. Memang ada kalanya, orang-orang hanya perlu memandang hasil Instagram-nya saja, namun bukan berarti semua gambar yang kita tampilkan di hadapan publik harus seindah hasil olahan Instagram.

Bagaimanapun juga, kenyataan itulah yang lebih mendasar dan semestinya lebih bernilai, karena tanpanya, Instagram tak bisa berbuat apa-apa.

Distrust and Policy


When there's distrust, there's rejection/antaranews

In a relationship, distrust costs both sides expensively. This also happens in a country. When people distrust their leaders, any policy would fail to take into action, simply because the people would reject it in the first hand. People don’t believe that their leaders would bring the plan of the policy into realization.

Distrust will be followed by people’s rejection, which makes any of leaders’ policy illegitimate. Thus, the government must “buy back” people’s trust, which can be achieved whether in “smooth way” or “hard way.”

Some situations allow the government to make “bargains” with the “heads of the clans” who reject the policy. Of course, those bargains will cost them something. If this method succeeds, the heads of the clans will tell their people to support the policy.

However, in some other situations, the government feels the must to take the “hard way.” Hundreds to millions of soldiers are geared up on the street. The protesters must be treated in “proper way” according to military standard. This will not only cost a large amount of money, but (might) also death casualty.

The only way for the government to gain public trust is to have an “open policy.” Any policy or planning made by the government must be disclosed to public. The reason behind the policy and the numbers it contains must be revealed publicly. Any opposing argument must be accepted as consideration to make the policy better.

But, that “open policy” won’t prevail if the government distrusts the people. Sadly, this “negative attitude” is found in our government today. The Indonesian government seems to take “negative step” toward any argument that looks “dangerous” to the policy. Any opposing argument is treated as an attempt to weaken the government. Progress is never made when there’s distrust.

So, what we have here in Indonesia is a “doubled” distrust. The public distrust the government, and the government, on the contrary, distrusts its people. This kind of distrust surely costs the country very expensively. Therefore, this country urgently requires two things: trust and sincerity, both from the public and from the government.

The question is, who will start first?

Hujan Lebat Tadi Sore





Aku sudah hampir sampai di kantor sehabis makan siang dengan salah seorang kawan baik. Kawan lama juga sih, karena kami sudah berteman sejak masih "unyu-unyu" semasa SMP. Seperti pertemanan kami, hal-hal yang baik cenderung bertahan lama. Aku percaya itu. Dan kuharap banyak orang percaya hal yang sama. Percaya, bahwa kebaikan tidak pernah sirna ataupun sia-sia.

Akan tetapi, untung tak dapat kuraih, malang tak mampu kutolak. Hujan turun begitu lebat tadi sore. Titik-titik air hujan berjatuhan dengan riuhnya. Tak hanya basahnya menembus jas hujan yang kukenakan, pekatnya juga mengurangi jarak pandangku ke depan. Dingin. Tanganku mulai terasa pegal. Mau berhenti tanggung rasanya, karena jarak ke kantor tinggal sejengkal. Akupun perlahan melaju. Maklum, ibukota biasanya memang macet di kala hujan.

Hujan lebat. Ada beberapa hujan lebat yang pernah kulalui dengan sepeda motor dan masih kuingat. Pertama, waktu turun dari Kaliurang, Jogja. Waktu itu, aku nekat meluncur turun tanpa jas hujan, tentu setelah barang-barang berharga kuamankan di bawah jok. Butiran-butiran air hujan menggigiti tubuh dan wajahku. Mataku harus menyipit agar bisa memperhatikan jalanan.

Yang kedua, ketika aku dan istriku melakukan "urban trip" pertama (dan terakhir!) kami ke Jakarta. Hujan menemani kami hampir di sepanjang perjalanan malam itu. Ketika memasuki Cirebon, listrik seluruh kota ternyata sedang padam. Praktis, kami hanya mengandalkan pencahayaan dari lampu sepeda motor dan dari kendaraan-kendaraan lain yang jarang terlihat. Meski berat dan melelahkan, perjalanan itu tetap terasa indah, karena kami melewatinya bersama-sama. Kebersamaan adalah kunci untuk menikmati sebuah perjalanan.

Tentu ada pula perjalanan di tengah hujan lebat lain yang pernah kulalui, dan masih ada yang belum kuceritakan di sini. Tapi yang jelas, ada sedikit yang kupelajari dari hujan lebat sore ini. Hidup inipun terkadang mengalami hujan lebat, situasi yang tidak ideal (kecuali bagi anak-anak yang ingin bermain dengan hujan). Perjalanan kita sedikit terganggu dengan adanya titik-titik air yang membasahi tubuh dan mengurangi jarak pandang kita.

Di masa-masa hujan lebat, ada dua pilihan: mencari tempat berteduh, atau tetap melaju dengan mengurangi kecepatan. Jika kebetulan tidak membawa jas hujan, tentulah kebanyakan pengendara motor memilih untuk berteduh (kecuali yang "nekad" seperti diriku ketika di Jogja, hehehe...). Yang membawa jas hujan biasanya akan memilih untuk meneruskan perjalanan meski hanya bisa melaju pelan.

Hujan tak selamanya lebat, kawan. Ia akan reda dengan sendirinya. Mungkin saja, ia terasa lama karena kita ingin segera tiba di tujuan kita. Namun sesungguhnya, durasinya tak pernah lebih lama dari hidup kita. Dan siapa bilang hujan itu tak menyenangkan? Ia bisa jadi sesuatu yang menyenangkan, jika ada kebersamaan. Jika ada cinta.

Hidup kita mungkin sedang dilanda hujan lebat, selebat hujan yang mendera negeri ini. Namun yakinlah, bahwa hujan lebat itu pasti berubah menjadi gerimis, dan gerimis itu akan pergi juga, meninggalkan kita yang tetap bertahan. Ketika hujan itu berhenti, itulah saatnya bagi kita untuk melaju kembali: entah pulang, entah pergi.

Ketika Kesempatan Emas Datang


Yesus adalah seorang pemimpin agama dengan jumlah umat yang tak bisa dipandang remeh pada masa-Nya. Tak hanya puluhan atau ratusan, pengikut-Nya ada ribuan. Setidaknya ada dua kesempatan dimana Dia membuat mujizat "penggandaan makanan" untuk mereka. Yang pertama berjumlah lima ribu orang, yang kedua empat ribu, itupun belum termasuk perempuan dan anak-anak.

Nah, suatu hari, ada seorang yang sangat kaya mendatangiNya untuk berkonsultasi masalah surga. Orang ini, sebagaimana kita ketahui bersama, adalah orang yang tak hanya kaya, namun juga taat dalam beragama. Artinya, dia siap tunduk pada otoritas guru-guru agama, termasuk Yesus, Sang Guru yang telah masyhur itu.

Sebuah "kesempatan emas" datang. Jika saja Yesus meminta orang ini untuk mengikutiNya, pasti jemaat-Nya akan terjamin kesejahteraannya dan makin bertambah. Orang kaya ini pasti siap sedia untuk mendukung pendanaan yang dibutuhkan. Gelontoran dana darinya akan sangat cukup untuk membiayai pelayanan mereka, bukan?

Akan tetapi, Yesus tidak melakukannya. Dia memang meminta orang kaya itu untuk menjual seluruh harta miliknya, namun bukan untuk dijadikan bekal dalam perjalanan mereka, melainkan untuk dibagi-bagikan kepada orang miskin. Setelah semua hartanya habis, barulah orang itu diajak untuk mengikuti Sang Guru Agung.

Wow, tunggu dulu. Apakah Yesus sudah gila? Bukankah orang kaya ini adalah calon jemaat yang sangat potensial untuk mendukung pengembangan pelayanan mereka? Mengapa Yesus justru menyuruh dia untuk menghambur-hamburkan hartanya untuk orang-orang miskin? Ada apa sebenarnya?

Di zaman sekarang, orang-orang kaya nan saleh seperti itu pasti langsung diterima sebagai "murid" yang istimewa, mendapat posisi yang spesial dalam tim pelayanan, bahkan memiliki "saham" suara yang lebih besar daripada murid-murid yang lain dalam mengambil keputusan dan menentukan arah pelayanan. Tak jarang, murid kaya seperti ini bahkan bisa mengatur apa saja yang sebaiknya dikatakan dan dilakukan oleh gurunya.

Namun Yesus tidak silau oleh harta. Ia lebih memilih satu orang miskin yang mengikuti Dia sepenuh hati daripada seratus orang kaya yang hanya memeriahkan pelayanan-Nya, namun tak pernah memberikan hati mereka kepadaNya. Prinsip-Nya tegas dan jelas, "tak seorangpun bisa mengabdi kepada dua tuan." Seseorang tak bisa mengikut Tuhan jika hatinya masih lekat pada hal-hal lain seperti harta.

Inilah yang harus diteladani oleh para pemimpin rohani di zaman ini. Ini adalah zaman ego, sebuah zaman yang mengedepankan ke-aku-an. Berbagai alternatif pun bermunculan, berlomba-lomba untuk memenuhkan kerinduan kita akan pengakuan. Jika seorang pemimpin mengecewakan, jemaat sudah punya gereja/persekutuan "cadangan." Namun kasih terhadap kelepasan jiwa-jiwa dari belenggu dosa haruslah menjadi yang terutama dibandingkan kasih terhadap pelayanan.

Yesus mengasihi orang kaya itu, dan sepertinya sangat menyayangkan ketidak sanggupan orang kaya itu dalam memenuhi "resep hidup kekal" yang Dia berikan. Sungguh bertolak belakang dengan kondisi kepemimpinan kita di masa sekarang yang lebih mengasihi organisasi daripada "organisme-organisme" pembentuknya. Asal sokongan dana terus mengalir, tak apalah seandainya jemaat-jemaat istimewa itu melakukan satu atau dua pelanggaran. Pelayanan akhirnya bergantung pada harta para jemaat yang kaya, bukan pada pemeliharan Allah yang selalu nyata. Sungguh berbahaya!

Kiranya kita (kelak) menjadi pemimpin-pemimpin yang lebih memperhatikan keselamatan dan pertumbuhan orang-orang yang kita pimpin daripada organisasi yang kita layani, bahkan meskipun "kesempatan-kesempatan emas" datang silih berganti. Tuhan memberkati.

Apa Lagi yang Masih Kurang?


Matius 19:16-26 menarasikan sebuah kisah yang menarik kepada kita. Suatu kali, seseorang datang menemui Yesus untuk berkonsultasi. Orang ini, sama seperti kebanyakan kita, ingin masuk surga. Dia ingin tahu bagaimana caranya sampai ke sana. Di akhir narasinya, kita diberitahu bahwa ia adalah orang yang kaya, "sebab banyak hartanya."

Tak hanya kaya, orang ini ternyata juga tergolong orang yang saleh. Ketika Yesus menyebutkan beberapa daftar perbuatan saleh yang tercantum dalam kitab suci, orang ini mengaku sudah melakukan semuanya semenjak ia masih muda. Akan tetapi, sepertinya masih ada yang kurang, sehingga ia masih bertanya, "apa lagi yang masih kurang?"

Kalau hanya sekedar berlimpah harta tapi jahat hidupnya, mungkin bisa dimaklumi jika seseorang merasakan kekosongan dalam hatinya. Akan tetapi, orang ini pun adalah orang yang taat menjalankan semua perintah agamanya, bahkan bisa dibilang, tak ada satupun yang ia lewatkan. Namun ternyata ia masih merasakan kekosongan itu di dalam hatinya. Ia masih belum yakin dengan nasib jiwanya setelah mati. Apa lagi yang masih kurang?

Apalagi yang dibutuhkan oleh orang yang sudah berlimpah harta dan juga saleh ini? Apalagi yang kurang di dalam hidupnya? Ia sendiri tidak tahu. Itulah mengapa, ia bertanya kepada Sang Guru. Banyak orang yang menurut ukuran kebanyakan dikatakan sudah "sukses," namun hidupnya terasa hampa. Sama seperti orang kaya ini.

Namun demikian, jawaban Yesus jauh dari yang ia harapkan. Ia pun pergi meninggalkan Yesus dengan hati yang sedih. Sang Guru memintanya untuk menjual segala kepunyaannya, membagi-bagikan hasilnya kepada orang miskin, lalu mengikut Dia. Syarat yang tak disangka sama sekali olehnya.

Kenapa Yesus tidak menyuruhnya berpuasa saja? Atau, setidaknya langsung mengikut Dia tanpa harus menjual hartanya? Orang kaya ini sedih luar biasa mendengar syarat dari Yesus itu. Sungguh kasihan.

Teman-teman, mungkin kita tidak kaya seperti orang itu, namun sepertinya bukan itu persoalannya. Yesus pasti tahu betapa kayanya orang itu, setidaknya dari pakaian yang dikenakannya. Nah, Yesus juga tahu, bahwa ikatan terbesar yang membelenggu orang kaya adalah kekayaannya itu. Itulah sebabnya, Dia menyuruh orang kaya itu untuk melepaskan belenggu kekayaan yang selama ini mengikatnya.

"Tidak ada seorangpun yang dapat mengabdi kepada dua tuan," demikianlah salah satu sabda Sang Guru. Jika seseorang ingin hidup yang kekal, satu-satunya jalan adalah melekatkan diri kepada Sumber Hidup, yakni Allah sendiri. Dan, untuk bisa melekatkan diri kepada Allah, semua orang harus melepaskan dirinya dari belenggunya masing-masing.

Bagi orang kaya itu, mungkin saja kekayaannya yang (mungkin) dikumpulkan sekuat tenaga sejak masih muda itu adalah penghalang baginya untuk mendekat kepada Allah. Harta itu menjadi seperti "anak kandung" yang tak sanggup untuk "dikorbankan" bagi Tuhan. Apalagi, yang diminta Yesus juga sangat berat, yakni menjual segala miliknya, bukan hanya sepersepuluh atau bahkan setengah.

Bagaimana dengan kita? Hal-hal apa sajakah yang mengikat kita begitu rupa, sampai-sampai kita enggan meninggalkannya? Mungkin itu berupa kekayaan, mungkin juga hobi, dosa-dosa pribadi, dan sebagainya. Bayangkan kita datang kepada Yesus seperti orang kaya itu, menanyakan bagaimana syarat untuk memiliki kehidupan kekal. Apakah yang kira-kira akan Yesus perintahkan untuk kita "jual dan bagikan" (baca: lepaskan)?

Apakah tujuan dan mimpi terbesar kita saat ini? Apakah itu berkaitan dengan kekayaan, jabatan, dan pasangan hidup? Jika demikian, waspadalah, karena bisa jadi suatu saat nanti, ketika kesuksesan menghampiri, kita mendapati bahwa ada sesuatu yang krusial yang tak ada di hati: kasih sejati.

Sterilisasi Jalan


Dalam perjalanan pulang malam ini, aku terpaksa menghentikan kendaraan karena ada dua polisi yang menyetop arus dari arah yang kuambil. Padahal, waktu itu lampu lalu lintas menyala hijau.

Tak butuh waktu lama untuk menyadari apa yang sedang berlangsung, karena dari kejauhan, suara banyak sirine terdengar meraung-raung, lengkap dengan lampu-lampunya yang meramaikan malam. "Pasti ada orang penting yang mau lewat, tapi siapa?" Demikian pikirku.

Berbagai kendaraan dengan sirine yang dibunyikan keras-keras lewat di depan kami. Aku mengawasi nomor polisi tiap mobil yang berlalu, dan tak berapa lama lewatlah mobil sedan hitam dengan nomor plat "RI 2." Rupanya Wakil Presiden yang lewat.

Setelah iring-iringan kendaraan Wapres itu berlalu, barulah kedua polisi tadi membiarkan kami kembali melaju, menuju simpul-simpul kemacetan yang sudah menjadi bagian dari "kehidupan lalu-lintas" kami.

Berbagai pertanyaan menggelitik pun terbersit: mengapa pejabat negara hampir selalu dikawal dan jalan-jalan yang akan dilalui rombongannya "dibersihkan" terlebih dahulu? Apakah sekedar untuk menunjukkan, bahwa ada orang penting yang sedang lewat, ataukah demi keamanan dan keselamatan sang pejabat?

Sesampainya di rumah, aku makan malam bersama istri. Dalam obrolan makan malam itu, rombongan Wapres itu menjadi salah satu bahan pembicaraan. Aku teringat dengan kisah terkenal yang terjadi dua ribu tahun yang lalu, yakni tentang Yesus yang memasuki Yerusalem dengan mengendarai seekor keledai.

Yesus waktu itu bukanlah pejabat, jadi Dia tak mendapat "fasilitas" pengawalan dari negara. Bahkan "kendaraan" yang Dia naiki pun hanya berstatus pinjaman. Yesus memasuki kota Yerusalem yang ramai waktu itu hanya diiringi oleh beberapa orang "ndeso" yang direkrutNya. Tak ada kemegahan apapun. Tak ada protokoler.

Namun apa yang terjadi? Alkitab menceritakan kepada kita bahwa seluruh penduduk Yerusalem menyambut Yesus dengan meriah. Orang-orang melemparkan jubahnya ke jalan yang akan dilaluiNya. Mereka melambai-lambaikan dedaunan sambil bersorak-sorai. Jalan yang akan dilewati Guru penunggang keledai itu bersih dengan sendirinya, tanpa protokoler.

Dua ribu tahun yang lalu, rakyat yang sedang berada dalam kesesakan akibat dijajah bangsa asing mendapatkan figur penyelamat dalam diri Seorang Guru yang kontroversial dengan pengajaran dan mujizat-mujizat yang dilakukanNya. Itulah mengapa mereka berteriak, "Hosana," yang artinya "Datang dan selamatkanlah kami."

Dua ribu tahun kemudian, sebuah bangsa ribuan kilometer jauhnya sedang berada dalam kesesakan yang ironisnya diakibatkan oleh saudara-saudara sebangsanya sendiri. Hampir-hampir tak ada lagi figur yang bisa dijadikan sebagai penyelamat mereka, sampai-sampai pejabat yang mau bergaul dengan rakyat biasa--yang memang sudah seharusnya--dipuji sedemikian rupa.

Dulu, Yesus tak perlu pengawal atau protokoler untuk men-steril-kan jalanan. Sekarang, seorang Wapres membutuhkan protokoler dan pengawalan ekstra untuk memastikan tak ada masyarakat yang menghalangi jalan. Dulu, rakyat dengan sukarela menepi dan memberikan penghormatan kepada Mesias. Sekarang, rakyat (baca: aku) dengan terpaksa berhenti dan bahkan menginginkan rombongan pejabat itu segera berlalu!

Ya, mungkin ini perbandingan yang hiperbolis atau berlebihan, namun tetap layak untuk diselami. Pemimpin sejati akan mendapat simpati dan hormat dari rakyatnya tanpa paksaan. Sedangkan pemimpin semu membutuhkan banyak kekuatan (militer) untuk mendapatkan ketundukan rakyatnya. Pemimpin sejati akan memenangkan hati rakyat, sedangkan pemimpin palsu hanya akan mendapatkan rasa takut mereka. Kecuali, tentu saja, para penjahat dan penjilat. Mereka tak bisa dikategorikan sebagai "rakyat."

Di sisi lain, jika kita memang mengakui seseorang sebagai pemimpin kita, tentunya kita akan memberikan hormat dan ketundukan kita kepadanya dengan sukarela, bukan? Sikap kita kepada seseorang menentukan seberapa besar pengaruhnya terhadap hidup kita. Begitu pula halnya dengan Tuhan. Pertanyaan berikut bisa menjadi perenungan kita: Ketika Tuhan mau lewat di jalan-jalan hati kita, akankah kita dengan sukarela (dan sukacita) menepi dan memberikan penghormatan, ataukah Dia harus menggunakan protokoler untuk memaksa kita berhenti dan menepi? Apakah kita benar-benar adalah "rakyat" Tuhan, ataukah justru penjahat yang seringkali melanggar hukum-hukum-Nya dan menentang otoritas-Nya?

Mengevaluasi Tujuan Hidup Kita


Sadarkah kita, bahwa segala sesuatu yang kita kejar di dunia ini bermuara pada satu tema: kesenangan? Kita mengenal istilah “3-ta” yang konon menjadi sumber kebahagiaan sekaligus sumber kejatuhan, yakni harta, tahta, dan wanita. Kebanyakan manusia hidup untuk menghindari kesusahan dan mengejar kesenangan. Itulah sebabnya ada yang disebut “cita-cita.” Pernahkah ada anak kecil yang bercita-cita untuk sengsara? Tentu saja tidak. Mereka akan bercita-cita menjadi dokter atau presiden. Setelah beranjak dewasa, sebagian dari kita mulai “realistis” dan “mengoreksi” cita-cita kita sendiri, tapi dengan tujuan dasar yang sebenarnya tidak berubah: kesenangan diri.

Banyak hal yang bisa menjadi standar kesenangan kita, mulai dari memiliki keluarga yang harmonis, hingga tabungan yang berlapis-lapis. Kita juga biasanya memiliki tujuan-tujuan jangka pendek untuk kesenangan kita, seperti pujian atas penampilan kita hari ini atau liburan bersama anak-anak di akhir minggu nanti. We tend to avoid pain and pursue pleasure. Kita cenderung menghindari kesusahan dan mengejar kesenangan, apapun bentuknya (bagi seorang altruis, kesenangannya terletak pada keberhasilannya untuk menyenangkan orang lain, bahkan jika ia harus menderita karenanya!).

Tapi, semua kesenangan itu hanya sementara. 5 Oktober 2011, dunia menyaksikan seseorang yang memiliki segalanya namun tak bisa menikmatinya lebih lama karena kehilangan hidupnya. Steve Jobs, pendiri Apple itu, meninggal dunia di usia yang cukup muda, 56 tahun. Kecerdasannya tak diragukan lagi, hartanya bahkan mungkin cukup untuk 70 turunan, dan namanya sudah mendunia. Dan, seperti sebuah kisah yang pernah diceritakan oleh Yesus  tentang orang kaya yang menimbun semua kekayaannya di lumbung lalu berencana untuk ber-“leha-leha” (baca: bersenang-senang), malam itu juga Tuhan mencabut nyawanya, tak ada kekayaan di dunia yang bisa mengembalikan nyawanya itu.

Saya bukan ingin mengatakan bahwa Steve Jobs adalah seperti orang kaya yang mau bersenang-senang tanpa menyadari bahwa semua hartanya tak berguna jika ia tiada. Saya percaya Steve Jobs memiliki tujuan hidup yang lebih baik dari sekedar bersenang-senang dengan kekayaannya. Yang ingin saya katakan adalah bahwa apa yang dialami oleh mantan CEO Apple Inc. itu bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua, bahwa ada hal-hal yang lebih penting daripada sekedar mengejar kesenangan pribadi seumur hidup. Steve Jobs “beruntung” karena memiliki warisan nama baik (oleh raja Salomo, nama baik dikatakan lebih baik daripada emas/kekayaan). Namanya akan dikenang oleh seluruh dunia, masuk dalam buku sejarah dunia sebagai salah satu orang yang mempengaruhi perkembangan teknologi informatika. Bagaimana dengan kita?

Hidup bukan sekedar untuk bertahan hidup!
Kita semestinya mulai mengevaluasi tujuan hidup kita. Jika tujuan hidup kita hanya sekedar menghindari kesusahan dan meraih kesenangan (kita biasa menyebutnya, kebahagiaan), maka kita tak ubahnya seperti orang kaya yang diceritakan oleh Yesus, dan bahkan seperti binatang! Apakah yang membedakan kita dari binatang, jika kita hanya hidup untuk… bertahan hidup? Manusia mustahil sederajat dengan binatang, dan oleh karenanya, ia sudah seharusnya memiliki tujuan hidup yang lebih tinggi daripada untuk menghindari kesusahan dan mengejar kesenangan. Kecuali, tentu saja, jika ia adalah penganut Darwinisme.

Lalu seperti apakah tujuan hidup yang lebih tinggi daripada menghindari kesusahan dan mengejar kesenangan itu? Sederhana saja: kita harus belajar memiliki tujuan hidup yang transenden. Kita harus mengerahkan segenap upaya kita untuk mengejar dan menerapkan nilai-nilai transenden di dalam hidup kita. Apakah nilai-nilai yang transenden itu? Itulah nilai-nilai ilahi, nilai-nilai Ketuhanan. Ketika tujuan hidup seseorang adalah mewujudkan nilai-nilai Ketuhanan itu di dalam kehidupannya, maka ia akan avoid sin and pursue sanctity. Ia akan menghindari dosa dan mengejar kekudusan—sifat Ilahi itu.

“Jadilah kudus, sebab Aku ini kudus” (Im. 11:45), demikianlah sabda Pencipta alam semesta kepada sebuah bangsa yang kecil mungil di sebuah padang gurun, sekian ribu tahun yang lalu. Dari semua sifat-Nya yang luar biasa itu (ada agama yang mengajarkan bahwa Dia memiliki 99 sifat Ilahi!), Allah hanya meminta umat pilihan-Nya itu untuk meneladani satu sifat-Nya saja, yakni untuk menjadi kudus. Dia tidak meminta bangsa itu untuk menjadi bangsa yang kuat dan besar untuk menaklukkan bangsa-bangsa di bawah dominasi mereka, tidak juga menuntut mereka untuk menjadi bangsa yang kaya dan memberikan banyak persembahan. Dia hanya meminta mereka untuk menjadi kudus, sama seperti Dia adalah kudus. Sebuah perintah yang tidak berlebihan, dibandingkan dengan semua pertolongan dan penyertaan-Nya bagi bangsa itu, bukan?

Tetapi sayangnya, perintah yang satu itupun ternyata susah mereka penuhi. Alkitab membeberkan kepada kita kisah sebuah bangsa yang bolak-balik dihukum Tuhan mereka karena mempersekutukanNya dengan ilah-ilah lain. Seandainyapun mereka menyembah Allah mereka, mereka melakukannya sambil melakukan berbagai kecemaran dan kecurangan. Sebagai konsekuensinya, bangsa kecil yang tegar tengkuk tersebut seringkali diserahkan Tuhan ke tangan bangsa-bangsa asing. Mereka harus menderita di bawah penjajahan berbagai bangsa karena ketidaktaatan mereka.

Bertanggung jawab, bukan merasionalisasi!
Sebagai umat yang telah ditebus Kristus, panggilan kita sama seperti panggilan bangsa Israel: untuk hidup kudus. Kita tidak diminta untuk menjadi “kepala”, tidak pula diminta untuk menjadi sehat dan atau kaya. Kita hanya diminta untuk memiliki hidup yang kudus. Kekudusanlah yang seharusnya menjadi tujuan hidup kita, bukan kenyamanan hidup ataupun kesenangan-kesenangan pribadi. Namun sayangnya, setali tiga uang dengan bangsa Israel, kita pun seringkali enggan untuk melakukan kehendak Tuhan itu, yang disuarakan ulang oleh Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma, “… supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah….” (Rm. 12:1).

Karena takut dengan kemungkinan-kemungkinan ketidaknyamanan yang akan kita temui jika kita “berjalan lurus,” seringkali kita menyiapkan “rencana cadangan.” Kita memilih untuk berkompromi dengan kejahatan. Rencana cadangan kita seringkali adalah menyiapkan beribu alasan pembenar untuk tidak berjalan lurus. Rasionalisasi atas kejahatan yang kita kompromikan, itulah yang kemudian kita lakukan. Tujuannya sederhana: agar kita merasa nyaman melakukannya. Inilah kemunafikan yang sebenarnya, mengingkari hati nurani dan bahkan firman Tuhan demi mengamankan dan menyamankan diri. Bahkan saking pandainya kita merasionalisasi, kejahatan-kejahatan yang kita lakukan bisa nampak sebagai sebuah tindakan heroik: demi keluarga, demi saudara, demi teman, demi kantor, demi yayasan, dan demi-demi lainnya. Betapa menjijikkan!

Tahun 2012 konon adalah tahun yang sangat berat untuk dijalani. Namun demikian, bukan berarti kita sebagai anak-anak Tuhan memiliki pembenaran untuk melakukan kejahatan. Banyak yang berpendapat bahwa kejujuran dan keadilan sudah sangat sulit didapati di negeri ini. Mungkin di tahun ini, keduanya akan makin sulit didapati, dan tanggung jawab itu ada di pundak kita, jika kita ikut-ikutan untuk berbuat curang dan tidak adil. Dulu waktu kecil, ketika mendapat nilai ulangan jelek, saya akan membela diri dengan mengatakan bahwa nilai teman-teman yang lain juga jelek, bahkan lebih jelek. Jujur dan adilkah saya ketika mengatakan itu? Tidak, karena saya sengaja mengabaikan nilai teman-teman yang lebih baik. Kita tentu juga takkan puas jika memiliki anak yang membela diri seperti itu kan? Demikian pula Bapa di surga juga takkan puas dengan “nilai jelek” kita, hanya karena orang-orang lain nilainya lebih buruk. Itulah sebabnya, Yesus bersabda tegas, “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Mat. 5:48). Kita harus mengejar kesempurnaan itu. Kita harus mengejar kekudusan itu. Ini bukan tugas yang mudah, bahkan bisa dibilang takkan selesai seumur hidup, namun bukankah Dia sudah memberikan Penolong bagi kita, yakni Roh-Nya sendiri yang bekerja dengan kuat di dalam kita?

Tentu dalam perjalanan hidup kita, akan selalu ada dosa yang kita lakukan. Mungin juga, akan ada makin banyak perbuatan dosa yang tersingkap sejalan dengan pertumbuhan rohani kita. Artinya, apa yang dulunya kita sangka bukan dosa atau hanya hal sepele (mis. Mengumpat, menjelajah situs porno, merokok, dsb.), kemudian kita disadarkan lewat renungan atau khotbah, bahwa itupun tidak disukai Tuhan, alias dosa. Jika sudah demikian, yang perlu kita lakukan bukanlah menyembunyikan dosa itu atau mencari pengkhotbah lain yang perkataannya lebih sedap didengar, melainkan membuka diri di hadapan Tuhan, mengakuinya, dan meminta pertolongan-Nya untuk melepaskan diri dari tabiat dosa itu. Kecuali Yesus, tidak ada satu manusiapun yang sempurna di dunia ini, dan Dia, Sang Arsitek Jiwa (meminjam ungkapan pak Stephen Tong), tahu itu. Itulah sebabnya, kita tak perlu berlagak sempurna di hadapan Tuhan, juga tak perlu takut menampakkan ketidaksempurnaan kita.

Tak hanya di hadapan Tuhan, kita juga tak perlu berlagak sempurna di hadapan jemaat-Nya. Saya selalu berpikir bahwa gereja atau persekutuan Kristiani bukanlah perkumpulan orang-orang suci, melainkan perkumpulan orang-orang berdosa yang disucikan oleh darah Kristus. Kita bukan perkumpulan orang-orang kudus, tapi perkumpulan para pendosa besar yang dikuduskan lewat Firman-Nya. Kita tak perlu takut menunjukkan ketidaksempurnaan kita. Tentu saja, kita juga harus menunjukkan kesungguhan untuk menjadi anak-anak Tuhan yang lebih baik. Kita harus belajar untuk bertanggung jawab, bukan lagi mengambil sikap kekanakan dan merasionalisasi dosa/kejahatan kita. Saya suka dengan perkataan DR. Larry Crab dalam bukunya, “Konseling yang Efektif dan Alkitabiah,” mengenai kemunafikan. Lebih baik munafik terhadap diri sendiri daripada munafik terhadap firman Tuhan. Orang Kristen seharusnya menjadi orang-orang yang munafik—yang menyangkal—terhadap dirinya sendiri, demi menghidupi firman Tuhan.

Selamat menapaki hari-hari di tahun 2012 ini. Biarlah kiranya hidup kita menjadi hidup yang senantiasa berkenan di hadapan Tuhan, hidup yang kudus, hidup yang lurus, dan hidup yang benar. Tuhan memberkati kita semua. Amin.