Ungkapan di atas sudah jamak di berbagai jejaring sosial. Karena
mekanisme jejaring sosial dikelola secara massal oleh akun-akun yang tidak
saling mengenal, maka jika ada sebuah informasi atau pernyataan yang sukar
dipercaya atau tanpa sumber yang jelas, akun yang menyampaikan informasi
ataupun pernyataan tersebut biasanya diminta untuk menunjukkan bukti berupa rekaman
gambar ataupun video.
Misalnya, jika saya menceritakan sebuah informasi mengenai
keberadaan mahluk luar angkasa ataupun mahluk gaib, maka beban pembuktian ada
pada diri saya. Jika saya tidak bisa memberikan rekaman gambar ataupun video
untuk membuktikan pernyataan saya, maka informasi yang saya sampaikan tidak akan
sepenuhnya dipercayai. Komentator yang skeptis biasanya akan langsung menulis, no pic = hoax, yang kurang lebih
bermakna bahwa tanpa gambar, informasi saya dianggap sebagai berita bohong (hoax).
Akan tetapi, di era yang penuh persaingan ini, nampaknya
kita sebagai “warga” jejaring sosial perlu menyadari bahwa tak selamanya
rekaman gambar atau video itu menjamin kebenaran sebuah informasi ataupun
pernyataan seseorang. Di zaman komputer, orang bisa merekayasa gambar dan
bahkan video agar sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan. Gambar atau video
bisa sekaligus digunakan sebagai alat bukti dan alat fitnah. Yang kedua ini
yang berbahaya, karena bukankah fitnah lebih kejam daripada pembunuhan? Dalam
pembunuhan, korban adalah korban; artinya, ia berada dalam posisi yang mengundang
simpati publik.
Sangat berbeda dengan fitnah, karena hal itu adalah
pembunuhan terhadap karakter seseorang. Publik digiring untuk memiliki persepsi
yang berbeda 180 derajat terhadap korban, dan tentunya bukan sebagai pahlawan,
melainkan sebagai orang jahat. Setidaknya, jika korban fitnah adalah orang
jahat, maka fitnahan itu melipatgandakannya, sehingga dia nampak “amat sangat
jahat sekali.” Nah, di sini, beban pembuktian justru berada pada sang korban
untuk membuktikan bahwa rekaman gambar ataupun video yang dituduhkan kepadanya
itu sesungguhnya adalah tidak benar.
Berikut ini ada dua contoh gambar yang menyudutkan pihak
tertentu dan sempat menimbulkan kehebohan di dunia jejaring sosial, namun di
kemudian hari baru ketahuan bahwa itu adalah gambar rekayasa. Gambar pertama
adalah gambar tagihan restoran yang menampakkan jumlah tagihan dan tips yang sangat
kecil, dengan tambahan tulisan tangan, “cari kerja sungguhan.” Sedangkan gambar
kedua menampakkan sesosok anak kecil yang membawa kertas dan sedang diinjak
oleh seorang serdadu lengkap dengan senapan otomatis.
Gambar yang pertama berkaitan dengan sentimen “99 persen”
yang beredar di Wall Street hingga ke berbagai bagian dunia, termasuk Indonesia
(beberapa waktu lalu, ada gerakan menduduki gedung Bursa Efek Jakarta). Gerakan
99% ini ditujukan kepada para pialang di bursa saham yang dituding sebagai
pemicu kemerosotan ekonomi di AS dan negara-negara Eropa. Gambar tersebut
tentunya menimbulkan kebencian yang makin mendalam terhadap kaum “1 persen”
yang sedang “difitnah” tersebut. Namun tak lama kemudian, muncul bukti bahwa
ternyata jumlah tagihan, tips, dan tulisan tangan tersebut hanyalah hoax semata. Situs pengunggahnya pun
buru-buru “gulung tikar” begitu kebenaran gambar tersebut terbongkar.
Sementara itu, gambar kedua diunggah sebagai fitnahan
terhadap tentara Israel. Tentara Israel digambarkan sebagai sosok yang “super” kejam
dan tidak berperikemanusiaan. Siapapun yang melihat gambar itu sekilas pandang
pasti akan memikirkan hal yang sama. Namun beberapa waktu kemudian, gambar
sebenarnya dari foto itu pun terungkap. Ternyata gambar itu berasal dari
semacam pawai atau festival, dan peristiwa penginjakan itu hanyalah sebuah aksi
teatrikal.
Kita berada di zaman sarat informasi. Jutaan informasi tiap
hari seakan-akan berebut untuk memasuki kepala kita, dan semuanya itu tanpa ada
penyaring yang jelas. Kedewasaan dan kewaspadaan kitalah penyaringnya. Oleh
karena itu, adalah penting bagi kita untuk memiliki sikap skeptis terhadap
semua informasi yang kita terima. Skeptis ini berarti tidak mudah percaya
kepada satu sumber, kecuali ada sumber sahih lain yang mengkonfirmasi atau
menyanggahnya. Ini memang bukan hal yang mudah, tapi mau tidak mau harus kita
lakukan. Karena jika tidak, kita bisa terjebak dalam agenda pihak-pihak yang
belum tentu bermaksud baik. Ujilah segala sesuatu dan peganglah apa yang baik,
demikian nasehat seorang bijak yang hidup sekitar dua ribu tahun yang lalu. Nasehat
yang masih relevan hingga saat ini. Salam skeptis!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar