Laman

Cinta Itu Sehidup, Bukan Semati

Pada masa-masa natal dan tahun baru seperti sekarang ini, salah satu tradisi di keluargaku adalah berkumpul di desa dan pergi ke "sareyan," alias pemakaman. Jangan salah sangka, kami bukannya mau meminta berkah atau pesugihan lho, melainkan sekedar membersihkan makam "leluhur" kami. Aku masih ingat, bapak dan ibu biasa "memperkenalkan" kami, anak-anak mereka, dengan nama-nama yang ada di batu nisan.

"Itu kakek buyutmu, kakeknya bapak," lalu, "yang di sebelahnya itu nenek buyutmu," dan seterusnya. Aku sih cuma manggut-manggut saja. Dari antara para "leluhur" itu, yang paling tua yang pernah kukenal selama masih hidup paling cuma dua, yang pertama kakek buyut dari keluarga bapak, yang satunya lagi nenek buyut dari keluarga ibu. Ibunya ibu dan bapaknya bapak bahkan sudah meninggal waktu aku kecil.

Nah, yang paling kuingat dari makam-makam mereka adalah, biasanya mereka dimakamkan berdampingan dengan suami/istri mereka semasa hidupnya. Dan kalau tidak salah, itu hal yang sudah lazim di seluruh dunia kan? Bahkan aku pernah baca tentang tradisi di India, yang kalau sang suami mati, istrinya juga harus menemani, alias ikut dikremasi (dibakar) bersama jenazah suaminya. Ngeri banget!

Banyak orang suka dengan istilah "cinta sehidup-semati," sampai-sampai ketika mati pun inginnya dimakamkan bersebelahan dengan makam orang yang disayanginya. Tapi pagi ini aku mendapati sebuah fakta yang mengejutkan dari kisah kematian Yakub. Sebagaimana dikisahkan oleh Alkitab, "cinta mati"-nya Yakub adalah Rahel, anak Laban, sampai-sampai bekerja tujuh tahun demi mendapat Rahel pun dirasanya seperti beberapa hari saja.

Namun yang mengherankan adalah, kitab Kejadian 49:29-33 menceritakan dengan gamblang, bagaimana Yakub berpesan agar jenazahnya dikuburkan di tanah makam yang dibeli Abraham di Kanaan (waktu itu, Yakub ada di Mesir). Di tanah itu telah dikuburkan jenazah Abraham dan Sara, Ishak dan Ribka, serta Lea, istri pertama Yakub yang tidak dicintainya sebesar cintanya kepada Rahel (ay.31-32).

Kebetulan, Rahel meninggal dan dikuburkan di Betlehem (Kej. 35:19-20), sedangkan semua orang tadi dikuburkan di Mamre. Nah, mengapa Yakub tidak meminta untuk dikuburkan bersebelahan dengan Rahel, kekasih hatinya itu? Tidak cintakah Yakub kepada Rahel? Tentu saja cinta! Sampai-sampai ia membuat tugu di atas makam Rahel. Tapi sepertinya, bagi Yakub, cinta itu "cuma" untuk orang yang hidup. Kira-kira sama seperti janji pernikahan lah, "...sampai maut memisahkan kita."

Menurutku, apa yang dilakukan Yakub itu sangat beralasan. Yesus sendiri, ketika ditanyakan tentang siapakah yang akan menjadi suami dari seorang perempuan yang menikah dengan tujuh bersaudara (maksudnya bukan bersamaan, tapi bergiliran, karena jika kakak mati tidak meninggalkan keturunan, maka adiknya wajib menikahi janda kakaknya itu untuk memberikan keturunan atas nama kakaknya) di akherat, mengatakan bahwa "pada waktu kebangkitan orang tidak kawin ataupun dikawinkan, melainkan hidup seperti malaikat di sorga" (Mat. 22:30). Jadi, dengan kata lain, cinta itu "sehidup," bukan "semati."

Lagipula, sepertinya sih ada "pesan" atau "visi" yang ingin disampaikan Yakub lewat permintaannya untuk dikuburkan satu lokasi dengan kakek (Abraham) dan bapaknya (Ishak). Mungkin saja, itu merupakan penegasan kepada keturunannya, bahwa Allahnya Abraham, Ishak, dan Yakub adalah Allah yang memegang janji-Nya, dan bahwa Yakub beserta kedua belas anaknya adalah juga bagian dari janji itu. Kelak, jika anak-anak Israel berziarah ke makam tersebut, mereka akan mengingat dan menghayati kasih setia Tuhan atas mereka.

Para "peziarah" itu (baca: Abraham-Ishak-Yakub) telah mendapatkan perhentian sebagaimana yang dijanjikan Tuhan kepada mereka. Beberapa ratus tahun kemudian, kita tahu bagaimana Allah memperkenalkan diri kepada Musa sebagai "Allah ayahmu, Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub." Frasa "Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub" inilah yang dipakai oleh Yesus untuk menunjukkan bahwa Allah bukanlah Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup.

Cinta. Kita sepertinya harus berhati-hati dengan kata ini. Tak jarang, rasa cinta yang "berlebihan" kepada seseorang membuat kita mengabaikan kepentingan orang banyak, bahkan mengabaikan kehendak Allah. Saya tidak tahu apa jadinya jika Yakub meminta untuk dikuburkan di samping makam wanita yang sangat dicintainya, mungkin Israel akan menjadi bangsa yang tidak solid, tercerai-berai. Yakub mungkin menyadari, bahwa keturunannya kelak lebih perlu melihat tanda iman dan janji Tuhan lewat makam tiga leluhur mereka (Abraham-Ishak-Yakub) daripada tanda cintanya kepada Rahel.

Ya, Abraham, Ishak, ataupun Yakub mungkin bukan teladan yang sempurna, namun pergumulan hidup bahkan kematian mereka menunjukkan kesempurnaan Allah yang tidak pernah salah memilih umat-Nya dan tidak pernah lalai terhadap janji-janji-Nya. Pemeliharaan-Nya berlangsung dari awal sampai akhir hidup mereka, dan itulah yang akan terus menjadi penguatan bagi generasi berikutnya untuk tetap beriman dan berharap kepada Allah yang sama: Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub, Allahnya orang-orang yang hidup!

Bagaimana dengan hidupku? Bagaimana dengan hidupmu? Sudahkah hidup kita mencerminkan Allah yang hidup itu, Allah yang bukan sekedar "dongeng nenek-nenek tua" itu? Pasti ada masa-masa kita jatuh, pergi menjauh, namun kesetiaan Allah itu tak pernah melepaskan kita begitu saja kan? Mereka bukan tokoh fiksi yang hebat tanpa cela, melainkan orang-orang biasa saja yang berjuang untuk taat kepada pimpinan Allah. Sesekali mereka juga jatuh, namun di akhir hidup mereka, mereka membuktikan kasih setia Tuhan yang menggenapi janji-janji-Nya.

Kiranya kita memiliki hidup yang seperti itu. Kiranya hidup (dan mati) kita merupakan cermin kuasa dan kasih Allah yang dahsyat itu. Dan kiranya generasi-generasi setelah kita kelak menziarahi makam kita dan mengingat betapa Allah itu nyata dalam hidup kita. Biarlah mereka melihat betapa kasih kita kepada Allah jauh melebihi rasa cinta kita kepada siapapun. Amin. Tuhan memberkati!

Dua Sisi Mata Uang

Bisa beli kerupuk berapa truk ya? :)
Dalam salah satu perenungan saya tentang uang, saya mengambil kesimpulan sederhana, yakni uang bisa memperkaya seseorang. Akan tetapi, sebagaimana ia memiliki dua sisi, ada pula sisi lain dari uang, yakni bisa mempermiskin kemanusiaan seseorang. Manusianya semakin kaya, namun bersamaan dengan itu, kemanusiaannya merosot.

Sila kedua dari Pancasila mengamanatkan "Kemanusiaan yang adil dan beradab." Hal itu berarti bahwa kita sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (yang adil dan beradab). Sebagai warga negara Indonesia, kita diharapkan untuk bisa menjadi manusia seutuhnya, yakni manusia yang "berperikemanusiaan."

Uang, sama seperti produk buatan manusia lainnya, adalah benda yang netral. Ia sudah memiliki kegunaannya sendiri, yakni sebagai alat transaksi. Sebagai benda yang netral, uang bisa dipakai untuk kejahatan maupun kebaikan. Dan sebagaimana benda-benda materi lainnya, uang seharusnya digunakan untuk mendukung kemanusiaan.

Akan tetapi, ada saja orang yang "melanggar batas." Mereka adalah orang-orang yang "mencintai uang," dan karena kecintaannya terhadap uang tersebut, melakukan berbagai-bagai kejahatan. Dan apakah kejahatan itu, kalau bukan pengingkaran terhadap kemanusiaan, yang notabene selalu penuh kebaikan?

Demi mendapatkan uang banyak, orang seakan-akan berlomba-lomba korupsi. Berbagai proyek diluncurkan. Nilai proyek sengaja dibuat besar, namun dengan standar kualitas pas-pasan. Harapannya, selisih anggaran bisa "dimainkan." Kontraktor pun ikut serta dalam pusaran ini. Maka bersepakatlah mereka, membuat proyek-proyek milyaran dengan kualitas ratusan juta. Siapakah yang harus menanggung resikonya? Rakyat. Manusia. Masih ingat kasus jembatan Tenggarong?

Demi mendapat "uang rokok," aparat rela "menjual" kemanusiaan mereka dan menjadi (maaf) "anjing penjaga" perusahaan-perusahaan besar, dan siap "memangsa" siapapun yang mengancam keberadaan majikan mereka. Agar dapat tetap bekerja dan memperoleh gaji, seorang karyawan rela "menjual" kemanusiaannya dan menjadi "pesuruh" perusahaan: memanipulasi angka-angka. Demi mendapatkan uang besar agar bisa menjaga penampilan, seorang mahasiswi rela "menjual" kemanusiaannya kepada pria-pria hidung belang. Manusia yang terhormat terdegradasi menjadi sekedar "boneka seks bernyawa."

"Cinta uang adalah akar segala kejahatan," demikian tulis Paulus dalam salah satu suratnya. Jika kita mencintai manusia, maka kita akan menggunakan uang untuk menolong sesama manusia. Sebaliknya, jika kita mencintai uang, maka kita akan memanfaatkan sesama kita untuk memperoleh uang lebih banyak lagi, dan lagi, dan lagi....

GKI Yasmin Bukan Lapak Kaki Lima, Bung!


Saya bahkan sudah tak sanggup lagi tersenyum dengan kekonyolan pernyataan yang disampaikan oleh Mendagri Gamawan Fauzi hari ini terkait GKI Yasmin. Bagaimana tidak? Tadi pagi tersiar berita tentang beliau yang mengatakan bahwa sudah ada “titik terang” terhadap kasus di GKI Yasmin dan diharapkan akan selesai dalam minggu depan. Waktu pernyataan tersebut saya tanyakan kepada Bona Sigalingging (jubir GKI Yasmin) lewat akun Twitternya (@bonasays), dia sendiri menyatakan tidak tahu menahu, apa yang dimaksud Mendagri dengan istilah tersebut.

Lalu muncullah berita terbaru tentang “titik terang” tersebut. Ternyata, yang beliau maksudkan adalah penawaran 3 lokasi baru untuk GKI Yasmin, yang konon ketiganya sama luasnya dengan lokasi yang ada saat ini. Ia menambahkan bahwa dalam 1-2 hari mendatang, Kemendagri akan mengundang pihak terkait seperti Kementerian Agama, GKI Yasmin, dan Pemda setempat untuk mencapai perdamaian. GKI Yasmin kemudian akan dipersilakan untuk melihat-lihat lokasi yang ditawarkan.

Pembaca yang budiman, sebagaimana sudah diketahui bersama, permasalahan di GKI Yasmin bukanlah mengenai perseteruan antara GKI Yasmin dan Pemda setempat (Pemkot Bogor), melainkan mengenai ketidaktaatan Walikota Bogor, Diani Budiarto, untuk melaksanakan amar putusan Mahkamah Agung dan rekomendasi Ombudsman RI. Alangkah aneh jika seorang pejabat setingkat Menteri bisa salah memahami apa yang sebenarnya terjadi.

Yang lebih aneh lagi adalah, kasus GKI Yasmin ini dipandang bak kasus ketertiban umum biasa, sampai-sampai muncul solusi relokasi. GKI Yasmin bukanlah pedagang kaki lima yang menggelar dagangannya di trotoar, melainkan pemilik sah dari lokasi dan bangunan yang sedang “disandera” oleh Diani Budiarto. Oleh karena itu, sangatlah absurd jika solusi yang muncul justru adalah solusi relokasi. Tayangan “Telusur” di TVOne mengenai GKI Yasmin yang bisa dilihat rekamannya di YouTube juga mengungkap, bahwa sebenarnya masyarakat setempat sama sekali tidak keberatan dengan adanya GKI Yasmin, dan bahwa massa yang setiap hari Minggu melakukan protes bukanlah berasal dari lingkungan tersebut.

Jika demikian, bukankah jelas, bahwa bukan GKI Yasmin yang mengganggu ketertiban umum, melainkan massa pendemo yang berasal dari kampung antah-berantah itu? Mengapa bukan mereka saja yang ditawarkan relokasi demo? Berikan saja sebuah lapangan yang cukup luas, dan biarkan mereka berteriak-teriak di situ sampai siang, kelelahan, dan kemudian membubarkan diri. Merelokasi pendemo, meski terdengar janggal, justru lebih bisa diterima akal sehat daripada merelokasi GKI Yasmin.

Profesionalitas Potifar - Eksposisi Yusuf (4)

Potifar? Hmmm... namanya terkenal sebagai majikan nenek moyang bangsa Israel, Yusuf. Potifar adalah Kepala Pasukan Pengawal Raja, mungkin seperti komandan Paspampres kalau di Indonesia. Yang namanya kepala pengawal raja, pasti tanggung jawabnya besar sekali. Banyak tugas yang harus dikerjakan untuk memastikan keselamatan Firaun, sang raja Mesir.

Potifar mungkin termasuk orang yang hidupnya teratur. Meski memiliki banyak budak dan bawahan, namun ia tidak bisa begitu saja mempercayai mereka. Ia mengatur rumahnya dengan seksama. Hal itu dilakukannya selama bertahun-tahun, hingga ia melihat ada salah satu budaknya yang berbeda.

Bisa ditebak, Yusuflah nama budak itu. Dibandingkan dengan budak-budak yang lain, Potifar mungkin melihat ada "aura" tersendiri di dalam diri Yusuf. Alkitab mengisahkan, bahwa Potifar melihat segala pekerjaan yang ditugaskan kepada Yusuf selalu sukses. Selain itu, Yusuf juga mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik.

Bos mana sih, yang tidak senang dengan keberadaan anak buah yang berprestasi dan selalu berhasil dalam pekerjaannya? Kalaupun ada yang tidak suka dengan keberadaan Yusuf, pastilah itu "senior"-nya atau teman-teman sesama budak yang iri dengan dia.

Potifar akhirnya mendapatkan sosok yang bisa dipercaya. Yusuf telah bekerja bertahun-tahun di rumahnya dan tidak pernah berlaku curang. Ditambah lagi, kesibukannya makin menumpuk. Oleh karena itulah, ia mengambil sebuah langkah berani, menjadikan budak Ibrani itu untuk mengepalai semua budak yang dia miliki.

Sebagai seorang prajurit yang sudah senior, apalagi dipercaya raja untuk menjadi kepala pengawal, tentulah Potifar sudah memperhitungkan segala baik-buruk kebijakannya itu. Mengapa ia tidak mempercayakan rumahnya--misalnya--kepada anak buahnya yang sama-sama orang Mesir, namun justru mengangkat seorang budak asing yang bisa berpotensi untuk menyerang dia?

Salah satu kemungkinannya adalah, Potifar merasa cukup mengenal Yusuf dan Tuhan yang ia sembah. Alkitab menyaksikan bahwa Potifar melihat sendiri bagaimana Tuhan bekerja melalui Yusuf, membuat budak itu berhasil dalam tiap pekerjaannya. Selain itu, dia pastinya melihat bahwa Yusuf bukanlah orang yang berbahaya.

Ribuan tahun yang lalu di Mesir, kita membaca bahwa seorang kepala pengawal kerajaan telah menerapkan prinsip profesionalitas dalam dunia kerja. Ia tak memandang suku bangsa atau agama untuk mempertimbangkan pengangkatan seseorang ke jenjang yang lebih tinggi. Bagi dia, yang penting orang itu haruslah profesional dan dapat dipercaya. Profesionalitas mengedepankan kualitas karakter dan kinerja daripada atribut-atribut "bawaan lahir," seperti warna kulit atau agama.

Bagaimana dengan kita? Terkadang kita terjatuh dalam bagian ini. Kita menganggap, misalnya, bahwa semua orang seiman itu bisa dipercaya, tapi itu tidak selalu terjadi. Akibatnya, kita merekrut orang-orang yang kurang berprestasi, hanya karena dia seiman atau sewarna dengan kita. Ini tidak benar. Kita harus meneladani Potifar. Dalam dunia profesi, kita semestinya mengedepankan standar profesionalisme yang baik, yakni kualitas pekerjaan dan karakter yang teruji baik atau dapat dipercaya.

Salam profesional!

Kita dan Dosa - Eksposisi Yusuf (3)

Sebagaimana diceritakan dalam Alkitab, Yusuf memiliki wajah dan penampilan yang menarik, selain karakternya yang baik dan otaknya yang cerdas. Sosok pemuda idaman pemudi, bukan? Maka, tak begitu mengejutkan jika istri Potifar kemudian menaruh hati padanya. Mungkin faktor kesepian akibat sering ditinggal "berdinas" oleh sang suami membuat istri Potifar makin menaruh hati kepada Yusuf. Apalagi, Yusuf tentulah sering berpapasan atau bertatap muka dengannya. Witing tresno jalaran soko kulino, begitulah pepatah Jawa untuk rasa cinta yang tumbuh akibat sering berinteraksi.

Sayangnya kita tahu, dan semua orang atau budaya yang mengenal lembaga pernikahan tahu, bahwa cinta istri Potifar kepada Yusuf adalah cinta terlarang. Tapi istri Potifar tidak peduli. Ia adalah istri seorang Kepala Pengawal, mungkin juga dibesarkan dalam lingkungan kerajaan atau setidaknya berasal dari keluarga bangsawan yang belum pernah mendengar kata "tidak." Ia juga tak memiliki iman kepada Tuhan kudus, sehingga standar moralnya adalah keinginannya sendiri. Berkali-kali ia menggoda Yusuf untuk mau tidur dengannya, dan makin ditolak, ia pun makin "penasaran."

Hingga hari itu tiba. Pagi itu, semua orang di rumah sedang pergi ke luar. Yusuf datang seperti biasa untuk mengerjakan tugasnya. Kesempatan emas, demikian pikir wanita itu. Diapun bersiap-siap, berdandan dan menghias kamar tidurnya. Rasa penasarannya telah mencapai puncak. Nafsunya menggelegak. Sayangnya, sekali lagi, ia ditolak! Pemuda rupawan itu bukannya mengiyakan, malah kabur, meninggalkan baju yang tadi ia pegang erat. Kerinduannya berubah menjadi amarah yang bergejolak, dan ia pun berteriak!

Sambil membawa baju Yusuf sebagai "barang bukti," ia menceritakan kebohongan tentang pemuda yang tadinya diinginkannya dengan sangat. Skenario palsu pun dibuat. Yusuf--orang yang tidak bersalah--dikisahkannya sebagai penjahat. Hasilnya kita tahu, Yusuf segera ditangkap dan dimasukkan ke dalam tahanan. Tak ada pengadilan, tak ada kesempatan untuk membuat pembelaan. Hal yang wajar, mengingat statusnya sebagai budak belian.

Setelah itu, kita tidak mendapat informasi lagi tentang kehidupan istri Potifar. Tapi itu bukan hal yang penting. Yang perlu kita pelajari dari kisah istri Potifar ini adalah bahwa keinginan jahat yang dituruti akan membuahkan dosa, dan bahwa dosa itu tak hanya merugikan diri sendiri, namun orang lain juga. Jika kita tidak terbiasa untuk "mengerem" keinginan-keinginan daging kita, bisa jadi kita akan menjadi seperti istri Potifar. Kita bisa jadi memanfaatkan posisi dan kedudukan kita untuk menjatuhkan orang-orang yang tidak kita sukai--entah ke dalam dosa (perzinahan, dalam kasus istri Potifar), ataupun ke dalam penjara (kesusahan).

Satu hal kecil lagi, kira-kira bagaimana ya perasaan istri Potifar itu ketika si budak yang difitnahnya kemudian menjadi tangan kanan Firaun, raja Mesir, yang notabene adalah bos dari suaminya? Pasti dia takut sekali kalau-kalau kejahatannya diungkap oleh Yusuf! Tapi untungnya, Yusuf tidak mempermasalahkan hal itu. Nah, bagaimana nasibnya, seandainya Yusuf adalah orang yang pendendam? Hmmm....