Kawan, sudah pernahkah kuceritakan kepadamu tentang sebuah
peristiwa yang membuatku malu? Tentang seorang kakek renta yang bernyanyi? Maafkan
jika engkau sudah pernah mendengarnya, tapi anggap saja engkau belum pernah
mendengarnya, sekali ini saja.
Peristiwa itu terjadi bertahun-tahun silam, tepatnya pada kebaktian
penghiburan sepeninggal nenekku. Di gereja tempat nenekku berjemaat, memang
sudah ada semacam tradisi yang baik, yakni menyelenggarakan kebaktian
penghiburan di rumah anggota jemaat yang meninggal.
Kebaktian itu tentu saja bukan untuk mendoakan keselamatan jiwa
nenekku, karena beliau sudah berada di dalam kasih karunia, dan kami tahu beliau
sudah tenang bersama Bapa. Kebaktian penghiburan itu, Kawan, diadakan sebagai
wujud solidaritas jemaat yang lain kepada keluarga yang ditinggalkan.
Di tengah-tengah berlangsungnya kebaktian, Kawan, terjadilah
peristiwa itu. Pada waktu bapak pendeta memberikan kesempatan kepada jemaat
yang hadir untuk memberikan kesaksian, berdirilah kakek renta yang aku tak tahu
namanya hingga kini, dan mulai bernyanyi.
Tidak ada iringan musik. Kami di desa, dan jemaat memang
terbiasa untuk memuji Tuhan secara acapela,
kecuali di gereja. Lagu yang dinyanyikan si kakek, aku sudah tak ingat lagi. Satu-satunya
hal yang kuingat, Kawan, adalah suaranya pas-pasan, kalau tidak boleh dibilang sumbang.
Semua jemaat diam mendengarkan, tak ada yang berbisik-bisik
membicarakan, apalagi menertawakan. Setelah selesai menyanyikan satu lagu,
kakek renta itupun duduk kembali ke tempatnya. Acara pun dilanjutkan kembali.
Mungkin peristiwa itu terdengar sepele bagimu, hanya kisah
tentang seorang kakek tua yang menyanyi dengan nada sumbang. Akan tetapi, kejadian
yang sederhana dan berlangsung singkat itu mengubah cara pandangku terhadap
pelayanan.
Meski bukan suara yang merdu, Tuhan pasti senang sekali
mendengar nyanyian kakek renta itu. Ketika aku mendengarnya bernyanyi, yang
menyeruak masuk ke dalam batinku adalah rasa malu. Aku malu, karena si kakek
yang mengajukan diri secara sukarela, sementara aku yang masih muda, seringkali
masih harus dipaksa untuk melayani.
Aku malu, karena kakek renta itu melayani tanpa dibebani oleh
standar-standar kesempurnaan buatan manusia. Di telinga manusia, mungkin suara
kakek itu kurang layak diperdengarkan, akan tetapi, Tuhan lebih mendengarkan
suara hati, bukankah demikian?
Ah, Kawan, aku jadi teringat sebuah kisah di negeri Israel kuno,
bagaimana Tuhan justru menyuruh Samuel untuk mengurapi anak Isai yang paling
bungsu sebagai raja Israel menggantikan Saul, Daud namanya. Tuhan mengingatkan
hamba-Nya itu bahwa Dia tidak menilai manusia berdasarkan penampakannya,
melainkan hati orang tersebut.
Itulah, Kawan, sekelumit kisah yang kemudian membuatku berubah. Sejak
malam itu, aku bertekad akan menjadi seperti kakek renta tersebut. Aku takkan
lagi ragu melayani Tuhan dengan apa yang aku miliki. Aku juga tak lagi merasa
terbebani dengan perfeksionisme manusiawi yang justru dapat membuatku
menunda-nunda dalam melayani Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar