Laman

Biarkan Jokowi Bekerja

Jokowi adalah fenomena. Gubernur baru Jakarta yang secara dramatis dicalonkan, bertarung, dan terpilih sebagai pemimpin baru Ibukota bersama Ahok ini nyaris tak pernah lepas dari sorotan kamera (dan mikrofon) para pewarta. Ya, Jokowi telah menjadi "media darling," dan itu bukan tanpa alasan. Secara ekonomi, pemberitaan tentang Jokowi dan Ahok memiliki potensi besar mendulang jumlah pembaca, baik secara cetak maupun daring.

Apa yang membuat Jokowi begitu disukai masyarakat? Saya pikir sudah melimpah jawabannya, tinggal di-googling saja. Yang jelas, ada satu hal yang menonjol dari ayah dua putri ini: giat bekerja.

Ya, orang-orang dan media massa mungkin menyebutnya dengan istilah yang sangat terkenal itu: "blusukan." Akan tetapi, tidak semua orang yang blusukan itu benar-benar sedang bekerja. Dalam konteks Jokowi, blusukan cuma salah satu metode (utama)nya dalam bekerja, strateginya memetakan permasalahan di lapangan.

Sejauh pengamatan di lapangan dan di dunia maya, ada satu perbedaan besar antara kondisi Ibukota sebelum dan sesudah Jokowi menjabat. Di era "pra-Jokowi," hampir semua warga Jakarta menyebut nama Foke tiap kali menemui banjir atau macet. Dalam konteks negatif tentunya. Masyarakat meminta Foke yang kala itu menjabat sebagai Gubernur untuk (lebih giat lagi) bekerja. Dalam bahasa yang lebih sederhana, ada keraguan bahwa Foke benar-benar bekerja, mengingat nyaris tak ada dampak nyata yang bisa dirasakan warga.

Hal yang berbeda sama sekali terjadi di era Jokowi. Macet dan (apalagi) banjir memang belum hilang dari daftar permasalahan Jakarta, namun setelah lebih dari satu tahun menjabat hingga saat ini, suara-suara masyarakat yang meminta pertanggung jawaban Gubernur hampir tak terdengar lagi. Mereka (dan saya) tahu, Gubernur kali ini bukan Gubernur-gubernuran, melainkan pemimpin Ibukota yang benar-benar bekerja, dan bahkan bekerja dengan giat.

Tentu saja, suara-suara sumbang selalu ada, bahkan di satu sisi, perlu ada. Ada pula kebijakan Jokowi yang saya pikir kurang tepat, seperti larangan memakai kendaraan pribadi ke kantor (atau kewajiban naik angkutan umum). Meski demikian, dukungan warga Jakarta (bahkan warga kota-kota lainnya di Indonesia!) terus mengalir kepada Jokowi. Beberapa kali saya mendapati komentar di media daring dari orang-orang di Kota X atau Provinsi Y yang menginginkan "tukar guling" kepala daerah dengan Jokowi.

Tak hanya di dalam negeri, Jokowi pun diberitakan di luar negeri. Sebuah portal berita India bahkan terang-terangan menjadikan Jokowi sebagai model Presiden India berikutnya. Malaysia pun menginginkan (sosok seperti) Jokowi. Pola kerjanya menjadi pembahasan di Universitas bergengsi di Amerika, Princeton University. Wakilnya, si Ahok, pun diwawancara Al Jazeera karena (barangkali) pertama kali di dunia, ada kepala daerah yang merekam dan mengunggah semua kegiatannya sehari-hari di Youtube Pemprov DKI. Jokowi benar-benar adalah fenomena.

Apesnya, masa jabatan Jokowi berhimpitan dengan jadwal pesta demokrasi di negeri ini: Pileg dan Pilpres 2014. Melejitnya popularitas Jokowi menjadi semacam petasan yang disulut di dekat telinga para capres yang telah mendeklarasikan diri itu. Apalagi, lembaga-lembaga survey yang bermunculan bak jamur di musim hujan itu memasukkan nama Jokowi ke dalam daftar capres--sekalipun Jokowi maupun PDIP belum pernah sekalipun bicara soal Pilpres. Ditambah pula dengan media yang dengan gegap gempita mengusung Jokowi dalam konteks Pilpres tersebut. Demi oplah dan rating Alexa tentunya.

Maka, semua mata dan telinga pun mengarah kepada Jokowi (dan PDIP). Semua ingin mendapatkan informasi dan pernyataan terbaru darinya. Jokowi lantas menjadi komoditas politik di negeri ini. Tim sukses (atau meminjam istilah wartawan istana, Tim Hore) para kandidat capres pun merasa perlu untuk "sedikit mengerem" popularitas Jokowi. Mereka tahu, jika benar terjadi Jokowi dijadikan sebagai kandidat calon presiden dari PDIP, perjuangan mereka akan mendekati sia-sia. Rakyat sudah terlanjur "kepincut" dengan Jokowi, yang dengan giatnya bekerja, menjanjikan perubahan nyata, daripada para kandidat capres yang notabene adalah "wajah-wajah lama" dalam kancah perpolitikan kita. Wajah-wajah lama yang tak begitu nyata kinerjanya.

Demikianlah Jokowi, mantan pengusaha mebel yang kemudian menjadi Walikota Solo, dan sekarang ini, Gubernur DKI Jakarta, "diberondong" dari berbagai sisi. Awak media tak henti-hentinya menanyakan kesiapannya menjadi calon presiden, pengamat-pengamat tak pernah jengah menilai Jokowi dalam konteks bangsa, dan lembaga-lembaga survey senantiasa menyertakan Jokowi sebagai salah satu kandidat capres setelah SBY, seolah-olah hasil survey mereka takkan valid tanpa ada nama Jokowi di dalamnya. Jokowi bak objek di bawah mikroskop yang sama-sama diamati.

Lantas bagaimana dengan Jokowi sendiri? Sejauh yang saya lihat, dia tak pernah ambil pusing dengan segala rumor atau perbincangan tentang kemungkinan dirinya dijadikan kandidat capres partainya. PDIP pun sejauh ini terkesan menjaga suasana kondusif saja untuk Pileg 9 April nanti. Jokowi tetap bekerja seperti biasa, bahkan lebih giat lagi. Ketika mereka yang menyerangnya dengan segala cara dan strategi mungkin sedang tertidur nyenyak, sang Gubernur ini misalnya, menyambangi dan memberikan bantuan kepada para pengungsi bencana banjir di wilayahnya. Ia tak ambil pusing dengan segala hasil survey yang melambungkan namanya. Yang jelas, ia diikuti oleh awak media, bukan mengundang mereka untuk mengikutinya.

Ya, Jokowi sejauh ini masih tetap sama, tetap giat bekerja, dan saya yakin masih bisa mempercayai ketulusan dan kerja giatnya untuk warga Jakarta. Ada sebuah pepatah lama yang mengatakan bahwa jika anda tidak bisa mengatakan sesuatu hal yang baik, ada baiknya anda diam. Saya rasa ungkapan ini tepat pula kita terapkan dalam konteks bencana banjir yang sedang melanda ibukota saat ini: Jika anda tak bisa atau tak ingin membantu Jokowi serta para relawan meringankan beban para pengungsi serta mengurai permasalahan pelik Jakarta, maka ada baiknya anda diam saja. Dan Biarkan Jokowi bekerja.

2 komentar:

  1. sedikit revisi mas,
    jokowi punya 3 anak, 1. gibran (L), 2. ayang (P) dan 3. esang (L)
    dan ya.. biarkan jokowi bekerja.. biarkan ia jadi contoh bgmana pemimpin itu seharusnya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Duh, ternyata saya kurang teliti risetnya. Terima kasih ya :D

      Hapus