Laman

Antara Visi dan Realita - Eksposisi Kisah Yusuf (1)

Siapa yang tidak pernah mendengar tentang kisah "heroik" dari Yusuf, budak Ibrani yang menjadi Perdana Menteri Mesir? Di Alkitab, kisah ini diceritakan dalam kitab Kejadian pasal 39. Secara singkat, diceritakan bahwa anak yang malang itu dijual oleh saudara-saudaranya kepada pedagang budak, yang kemudian membawanya untuk dijual di Mesir, lalu berakhir sebagai seorang budak di rumah Potifar, seorang kepala pengawal raja Firaun.

Anak muda yang belum pernah mengenal pekerjaan tangan itu tiba-tiba harus menjadi seorang budak yang tenaganya diperas habis-habisan untuk mengerjakan apapun yang diperintahkan tuannya. Budak tidak sama seperti pembantu yang memiliki hak atas hidupnya. Nyawa si budak bergantung penuh pada sang majikan. Budak juga tak boleh mengeluhkan pekerjaannya yang berat, apalagi meminta waktu istirahat. Dalam sebagian kasus, seorang budak juga tidak boleh terlihat sedih atau letih, pokoknya tidak boleh membawa mood yang jelek bagi tuannya.

Nah, Yusuf yang bisa dibilang masih remaja, yang konon di jaman sekarang disebut sebagai "ababil," alias ABG (Anak Baru Gedè) labil, ternyata meresponi penderitaan yang dia alami dengan luar biasa. Saya membayangkan jika berada di posisinya Yusuf tersebut, pastilah saya ogah-ogahan mengerjakan tugas-tugas yang dibebankan kepada saya dan mencari cara-cara untuk melarikan diri. Tapi, apa yang dilakukan oleh Yusuf? Alkitab memberikan keterangan bahwa ternyata dia mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik, bahkan dengan sangat baik, di dalam pimpinan dan berkat Tuhan.

Kita tidak tahu apakah yang membuat Yusuf bisa memiliki respon yang luar biasa "tenang" seperti itu. Mungkin Tuhan menemuinya di dalam mimpi selama perjalanan menuju Mesir. Mungkin juga responnya itu merupakan kristalisasi pergulatan imannya sepanjang perjalanan itu. Ia bermimpi bahwa orang tua dan saudara-saudaranya akan menyembah dia, tapi realitanya justru sangat berbeda: ia dijual oleh kakak-kakaknya dan terbuang ke negeri yang lain. Pastinya, Alkitab menyaksikan bahwa Yusuf tidak mengeluh atau mencoba melarikan diri.

Bagaimana dengan kita? Mungkin sebagian kita mendapat visi dari Tuhan untuk menjadi A atau B, namun sementara ini, faktanya seolah-olah bertolak belakang. Ini adalah waktu yang sangat tepat untuk mempergumulkan kembali panggilan hidup kita di hadapan Tuhan. Benarkah Dia menginginkan aku menjadi ini atau itu? Jika benar, apa janji-Nya yang mendasari panggilan itu? Atau, mungkinkah itu hanya ambisi pribadiku saja?


Selamat bergumul!

2 komentar:

  1. Balasan
    1. ada kok, di http://philipayus.blogspot.com/2011/09/berkualitas-dan-bertekun-eksposisi.html :)

      Hapus