Dalam sebuah
percakapan di meja makan dengan pak Gideon Yung beberapa waktu silam, penulis
tertarik dengan cerita beliau tentang sejarah terbentuknya ICAC—semacam KPK di
Hongkong—karena beliau adalah saksi mata (dan bahkan salah satu penggerak,
kalau penulis tidak salah ingat) gerakan mahasiswa yang memulai demonstrasi
yang kemudian mengubah wajah Hongkong dari wilayah yang “super korup” menjadi
salah satu kota paling bebas korupsi di Asia.
Waktu
itu, tutur pak Yung, korupsi begitu merajalela di Hongkong, mempengaruhi hampir
semua sektor dan semua lapisan masyarakat. Kalau di sini kita mengenal istilah
“uang rokok”, maka di Hongkong pada waktu itu, mereka mempunyai istilah “uang
teh”. Bahkan sopir ambulanspun takkan mau berangkat menjemput pasien gawat
darurat sebelum diberi uang teh tersebut. Demikianlah, korupsi begitu membudaya
dan memberatkan rakyat, terutama yang tak mampu mengakses layanan-layanan
publik.
Dampak
korupsi bukan tidak nyata, melainkan belum dikomunikasikan secara gamblang
kepada masyarakat. Orang-orang awam mungkin hanya tahu bahwa makin bertambah
tahun, harga-harga akan semakin mahal, apalagi harga bahan kebutuhan pokok
menjelang hari-hari raya. Padahal, mahal dan sulitnya mengakses kebutuhan pokok
itu acapkali bukan karena besarnya kesenjangan antara permintaan dan
ketersediaan, melainkan kebijakan oknum pejabat yang mengutamakan keuntungan
pribadi dan kroni-kroninya.
Selain
itu, rasanya kondisi yang kita alami sekarang di Indonesia hampir sama dengan
apa yang terjadi di Hongkong sebelum ICAC terbentuk pada tahun 70-an. Korupsi
sudah membudaya, alias sudah dianggap sebagai sebuah kewajaran. Seorang teman
mengisahkan, bagaimana ia dan istrinya harus menyerahkan sejumlah uang terlebih
dahulu kepada seseorang yang bertindak sebagai semacam makelar pekerjaan, hanya
untuk mendapatkan sebuah pekerjaan di bagian produksi di sebuah pabrik di
Karawang, Jawa Barat. Tentunya, mereka bukan “korban” pertama dan satu-satunya
dari budaya yang korup di situ.
Harga ketidakjujuran
No free lunch. Tak ada makan
siang yang gratis, begitu istilahnya. Dunia kita tak mengenal istilah anugerah.
Bahkan grasi yang semestinya cuma-cuma diberikan Presiden kepada narapidanapun
ternyata harus “dibeli” dengan harga yang sangat mahal—entah sepengetahuan
Presiden ataupun tidak. KPK dan para penggiat antikorupsi sepertinya juga
melihat betapa dalamnya kita terpuruk ke dalam pusaran korupsi, sampai-sampai
mereka memasyarakatkan istilah yang sesungguhnya ironis sekali: “Berani jujur,
hebat!”
Ya,
kejujuran menjadi begitu langka di negeri ini, sampai-sampai untuk melakukan
hal yang seharusnya biasa itupun sudah dikatakan sebagai “berani” dan “hebat”!
Dalam
bukunya yang berjudul “Kebenaran dan Transformasi: Sebuah Manifesto Bagi
Bangsa-bangsa yang Sedang Sakit” (TCI & LINK, 2009), Vishal Mangalwadi
memberikan contoh yang menarik tentang dampak kejujuran dan kepercayaan
terhadap harga barang dari pengalamannya membeli susu sapi di sebuah peternakan
di Belanda:
Kami masuk ke dalam ruang susu dan tak ada
seorangpun di sana yang menjual susu. Saya mengira Jan (temannya di Belanda)
akan membunyikan bel, tetapi ia hanya membuka keran, meletakkan buyung di
bawahnya dan mengisinya. Kemudian ia menjangkau ke atas jendela dan mengambil
sebuah mangkuk yang penuh berisi uang, mengambil uang dari dompet, meletakkan
uang senilai 20 gulden ke dalam mangkuk, menaruh kembaliannya ke dalam sakunya,
mengembalikan mangkuk itu, mengambil buyungnya dan kemudian melangkah pergi. Saya
terbengong-bengong…
Vishal
melihat betapa efisiennya sistem jual-beli tersebut, dan itu berkat kejujuran
dan kepercayaan yang dijunjung tinggi. Jika tak ada kepercayaan, tulis Vishal,
maka pemilik peternakan harus mempekerjakan penunggu toko, yang upahnya tentu
dimasukkan ke dalam variabel ongkos produksi, sehingga para pembeli susulah,
sebagai konsumen, yang harus membayarnya. Belum lagi Pemerintah yang harus
mempekerjakan pengawas kualitas susu, yang mungkin juga mau menerima suap dari
peternak sapi, yang mungkin juga tidak jujur dengan menambahkan air pada susu
yang dijual. Dampaknya jelas, penurunan kualitas susu dan kenaikan harga susu
yang signifikan. Susu yang seharusnya bisa dibeli oleh siapapun kemudian
menjadi sebuah barang mewah karena mahalnya. Jika sudah demikian, mana mungkin
mengharapkan generasi yang sehat dan pintar?
Kejujuran dan dunia pendidikan kita
Ungkapan
“berani jujur, hebat!” bahkan menjadi ironi di dunia pendidikan kita. Seorang
siswa yang bertobat lewat persekutuan di sekolah dan bergabung dalam kelompok kecil
di Semarang pada suatu ketika bercerita kepada penulis, bagaimana ia dipanggil
oleh guru BK di sekolah dan diberi “wejangan” tentang pentingnya kesetiakawanan
di dalam Ujian Nasional. Ia dianjurkan untuk ikut mencontek saja. Sekolah yang
seharusnya menjadi “kawah Candradimuka” untuk mencetak “Gatotkaca-gatotkaca”
yang akan menyelamatkan bangsanya, justru berubah fungsi 180 derajat menjadi
seperti sarang penyamun, tempat orang-orang belajar berbuat kejahatan. Generasi
seperti apakah yang hendak dihasilkan oleh sekolah-sekolah seperti itu?
Dalam
sebuah seminar mengenai pendidikan yang diselenggarakan oleh Kompas beberapa
waktu lalu, Prof. Jalaludin Rahmat dengan jeli meringkas penyakit pendidikan di
negara kita sebagai pendidikan yang mempertuhankan angka-angka. Institusi
pendidikan kita terlalu sibuk mengejar nilai pelajaran, namun lupa menanamkan
nilai-nilai kehidupan yang jauh lebih bermakna dan lebih luas serta lama
dampaknya.
Memang,
Pemerintah, dalam hal ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, nampaknya
memberikan perhatian besar terhadap pengembangan karakter anak didik lewat
penerapan kurikulum pendidikan antikorupsi. Akan tetapi, sungguhkah demikian?
Pada kenyataannya, meskipun MK telah memutuskan bahwa UN yang ada saat ini
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan mewajibkan evaluasi ulang terhadap
program tersebut, Pemerintah tetap saja bersikukuh menyelenggarakannya dari
tahun ke tahun.
Jika
Pemerintah saja “berani” melangkahi keputusan MK, yang tentu saja sebuah
tindakan yang tidak etis dan bahkan melanggar hukum, bagaimana mungkin kita
bisa percaya bahwa mereka sungguh-sungguh memperhatikan masalah karakter,
moral, atau etika?
Atau
mungkinkah Mendikbud tidak tahu seberapa besar implikasi kebijakan UN itu
terhadap tata kehidupan dunia pendidikan di negeri ini? Masakan tidak tahu?
Rasanya, Pemerintahlah yang lebih memilih untuk menutup mata, terhadap
nilai-nilai yang “dikatrol” sedemikian rupa sehingga tak mencerminkan tingkat
kecerdasan anak yang bersangkutan, atau terhadap guru-guru “lugu” yang
senantiasa berada di dalam dilema antara memelihara integritas dan nilai
pendidikan ataukah berkompromi demi kesuksesan anak didik dan akreditasi
sekolah.
Kecurangan yang tersistem
Ketika
penulis menjadi pembicara di sebuah sekolah menengah atas di Depok, seorang
murid mengangkat tangannya ketika penulis bertanya, siapa saja yang pernah
dituding sebagai orang yang munafik. Ketika diminta menceritakan pengalamannya
dituding sebagai orang yang munafik, dia mengatakan bahwa hal itu dialaminya
pada waktu mengikuti Ujian Nasional SMP, karena menolak terlibat dalam
contek-mencontek yang dilakukan oleh teman-teman sekelasnya. Sungguh ironis.
Yang membuatnya lebih ironis adalah, kegiatan contek-mencontek itu bukan lagi
merupakan kegiatan yang sembunyi-sembunyi dilakukan, melainkan telah
berkoordinasi dengan guru.
Kecurangan
sudah tersistem dan dianggap wajar, konon untuk mencapai tujuan yang lebih
mulia: nama baik sekolah dan kebahagiaan orang tua. Dan tak hanya berhenti
sampai di situ, mereka yang menolak bekerja sama justru dianggap sebagai
pengkhianat. Kita tentu belum lupa dengan kisah ibu Siami dan Alif putranya
yang diusir dari kampungnya karena dianggap mempermalukan kampung dan menyusahkan
teman-teman Alif di SD, karena laporan mereka mengenai adanya kecurangan di
sekolah ketika ujian nasional.
Bayangkan
saja jika anak-anak tersebut, biarpun mendapat berbagai teori tentang
antikorupsi, melihat berbagai kecurangan yang ada dan dianggap biasa di sekitar
mereka. Bayangkan, jika anak-anak itu beranjak dewasa dengan prinsip yang kacau
tentang kebenaran tersebut, yakni bahwa kebersamaan lebih penting daripada
kebenaran. Bukankah action speaks louder
than words, tindakan itu lebih keras berbicara dibandingkan dengan
kata-kata? Bagaimana mungkin prinsip-prinsip antikorupsi itu terinternalisasi dalam
diri anak-anak didik, tanpa adanya keteladanan di sekitar mereka? Bagaimana
bisa guru menanamkan nilai kejujuran, jika bahkan sejak masuk sekolah sudah ada
kecurangan dalam penerimaan siswa baru, hingga untuk meluluskan siswa-siswinya,
sekolah mengupayakan berbagai cara termasuk mendistribusikan kunci jawaban UN?
Memang,
mungkin tidak semua sekolah dan guru akan melakukan kecurangan-kecurangan seperti
itu. Akan tetapi, yang menjadi permasalahan di sini adalah, jika di sebagian
institusi pendidikan didapati berbagai modus kecurangan tersebut, maka hampir
bisa dipastikan bahwa hal yang sama bisa menular ke tempat-tempat lain. Jika
penanggung jawab lembaga pendidikan dan staf pendidik tak memiliki pondasi yang
kuat untuk menyelenggarakan pendidikan yang lurus, bisa-bisa yang terjadi
adalah rasionalisasi, alias mencari alasan-alasan pendukung agar
kecurangan-kecurangan yang dilakukan bisa “dimengerti.”
“PR” Kemdikbud
Kemdikbud
haruslah memastikan bahwa mereka memang memiliki kesungguhan untuk
membangkitkan generasi antikorupsi untuk memperbaiki negara ini. Program
pendidikan antikorupsi jangan sampai sekedar menjadi proyek katebelece yang ala kadarnya, sekedar
untuk memberikan kesan bahwa mereka peduli dengan pemberantasan dan pencegahan
korupsi, atau malah hanya menjadi kegiatan alias proyek baru untuk menambah
pundi-pundi pribadi oknum-oknum tertentu. Nilai-nilai antikorupsi yang hendak
ditanamkan haruslah bukan sekedar pengetahuan secara kognitif anak didik saja.
Lingkungan dan sistem pendidikan juga seharusnya dievaluasi dan disesuaikan
demi mendukung internalisasi nilai yang ingin ditanamkan.
Oleh
karena itu, subjek dari pendidikan antikorupsi seyogyanya bukanlah peserta
didik (siswa/mahasiswa) saja, melainkan para pendidik, para pejabat di semua institusi pendidikan, dan juga
pejabat-pejabat di Kemdikbud, terutama yang posisinya rawan disalahgunakan. Sistem
harus pula direvitalisasi. Birokrasi haruslah dibuat seefisien mungkin agar tak
menyisakan celah untuk penyalah gunaan. Akan lebih baik jika langkah awalnya
adalah mengevaluasi kembali pelaksanaan UN sebagaimana yang diputuskan oleh
Mahkamah Konstitusi. Lagipula, bukankah perubahan itu paling baik dimulai dari
diri sendiri?
Peran keluarga
Di
sisi lain, kebanyakan keluarga (baca: orang tua) di Indonesia sepertinya juga
belum memahami akan krusialnya peran mereka bagi upaya pemberantasan korupsi. Padahal,
semua koruptor itu bertumbuh di dalam keluarga-keluarga, sementara keteladanan
tentang tindak-pikir antikorupsi paling efektif diberikan melalui keteladanan
orang tua. Masih banyak yang berpikir bahwa fungsi orang tua sebatas mencukupi
kebutuhan jasmani anak, menyekolahkan, hingga mencarikan jodoh bagi anak.
Istilah yang menyebut anak sebagai “titipan Tuhan” secara sadar atau tidak
ditafsirkan sebagai tanggung jawab yang lebih berkonotasi sebagai “beban,”
bukannya sebagai anugerah karena dipercaya sebagai mitra Allah untuk “memenuhi
bumi” dengan orang-orang baik, jujur, dan takut akan Tuhan.
Tak
banyak pula keluarga yang melihat anak-anak dalam konteks kemasyarakatan
ataupun kebangsaan. Kebanyakan keluarga di Indonesia masih menempatkan anak
sebagai “aset” keluarga yang harus membahagiakan dan membanggakan orang tua
maupun keluarga besarnya. Jika sudah begitu, maka bagaikan meletakkan
mobil-mobilan di lintasan balap, demikianlah kebanyakan orang tua di negeri
kita meletakkan anak-anaknya dalam sebuah alur kompetisi. Anak yang pintar akan
sangat dibanggakan, sedangkan yang biasa-biasa saja akan terus dipacu supaya
jenius.
Sekolah
(dan tempat-tempat kursus) menjadi semacam karantina untuk menghasilkan output yang diinginkan keluarga. Cita-cita
anakpun bisa “diintervensi” jika dianggap tidak “bonafit” atau tak bisa
mengharumkan nama keluarga. Fenomena ini bahkan tak jarang terjadi di
keluarga-keluarga Kristen yang konon dipanggil sebagai garam dan terang yang
memberkati sekelilingnya. Anak-anakpun tumbuh dengan prioritas yang sempit:
membahagiakan dan membanggakan keluarga. Bagaimana caranya? Menjadi “orang”,
alias berhasil dalam menumpuk harta dan mendulang karir—tak peduli bagaimanapun
cara mencapainya.
Peran gereja dan lembaga pendamping gereja
Di
gereja, yang terjadi juga hampir sama. Meskipun acapkali menyerukan pentingnya
kesatuan Tubuh Kristus, pada kenyataannya masing-masing “merek” gereja menjadi
komunitas-komunitas yang eksklusif, yang meski mungkin tak terucap, memandang
gereja lain sebagai kurang beriman, kurang alkitabiah, dan sebagainya. “Segala
kemuliaan bagi Tuhan” sering diteriakkan, namun seolah-olah itu sekedar slogan.
Karena pada kenyataannya, “segala kemuliaan” itu “dibajak” oleh gereja atau
para pelayan Tuhan. Bukannya mencetak garam dan terang bagi masyarakat, gereja
sering tergoda untuk menggarami dan menerangi dirinya sendiri.
“Memperlebar
Kerajaan Allah” diartikan secara denotatif, yakni menambah jumlah kawanan
domba—yang entah didapat dari mana—dan memperluas wilayah “kerajaan” gereja—tak
peduli bagaimana cara melakukannya. Saling rebut jemaatpun tak terelakkan,
termasuk menempuh jalan pintas untuk mengakali aturan agar pembangunan gereja
segera dapat dilaksanakan. Sebuah gereja di Jakarta Timur—entah bagaimana
caranya—mendapat izin dari Gubernur DKI sebelum ini untuk memanfaatkan Ruang
Terbuka Hijau. Warga setempat membawa permasalahan ini ke PTUN dan memenangkan
kasus tersebut. Bagaimana gereja bisa turut berperan serta dalam pemberantasan
korupsi, jika ia sendiri masih suka berkompromi?
Di
gereja-gereja yang “lurus,” berapakah di antaranya yang memasukkan topik
kebangsaan, khususnya mengenai pemberantasan korupsi, di dalam “kurikulum”
pembinaan jemaatnya? Bagaimana pula dengan lembaga-lembaga kerohanian kristen
lainnya seperti Perkantas, LPMI, PPA, PMK/PAK, dan lain sebagainya, sudahkah
nasib bangsa ini menjadi pergumulan yang utama, terkhusus soal korupsi yang
merajalela? Berapa banyak buku rohani bertemakan pemberantasan korupsi yang
telah diterbitkan? Baik gereja maupun lembaga pendamping gereja, sudah adakah
jejaring bersama yang secara khusus mengampanyekan gerakan antikorupsi di
gereja-gereja hingga ke jalan-jalan raya? Seberapa intens diadakan seminar atau
diskusi mengenai “tips dan trik” agar bisa terjun ke dalam dunia bisnis,
politik, hukum, dan pemerintahan tanpa
harus tersandera sistem yang korup? Ataukah kita enggan meninggalkan nyamannya pola
hidup asketisme yang mengejar kesalehan dan keselamatan pribadi semata?
Menyeberanglah ke mari dan tolonglah kami!
Ada
sebuah ungkapan yang terkenal dalam bahasa Inggris, “All that is necessary for the triumph of evil is that good men do
nothing.” Kejahatan akan berkuasa ketika orang-orang baik tak berbuat
apapun untuk melawannya. Terang takkan berguna jika diletakkan di bawah
gantang. Garam juga takkan bermanfaat jika tak pernah ditaburkan ke dalam
masakan. Firman Tuhan sendiri memberikan jaminan kepada orang percaya mengenai
apa yang akan terjadi jika anak-anak-Nya bertindak proaktif dalam melawan tipu
muslihat iblis, “Karena itu tunduklah kepada Allah, dan lawanlah Iblis, maka ia
akan lari dari padamu!” (Yak. 4:7). Ketundukan kepada Allah disandingkan dengan
tindakan aktif untuk melawan iblis. Artinya, itu bukan pilihan, melainkan
keduanya harus dilakukan secara simultan. Kita tidak bisa memproklamirkan diri
tunduk kepada Allah, jikalau hanya sanggup berdiam diri ketika melihat iblis bekerja,
merusak perikehidupan masyarakat dan bangsa kita yang, seperti mimpi rasul
Paulus tentang penduduk Makedonia (Kis. 16:9), seakan-akan berseru kepada kita:
“Menyeberanglah ke mari dan tolonglah kami!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar